PEMBAHASAN
A. Surah
Al-Baqarah Ayat: 234
Pada
ayat yang mulia ini Allah Ta’ala masih menjelaskan tentang masalah-masalah
rumah tangga, khususnya adalah bagi seorang istri yang suaminya meninggal
dunia, apa yang harus dia lakukan setelahnya dan berapa lama masa iddahnya.
Allah Ta’ala berfirman :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
“ dan orang-orang Yang meninggal dunia di antara kamu, sedang
mereka meninggalkan isteri-isteri hendaklah isteri-isteri itu menahan diri
mereka (beridah) selama empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
masa idahnya itu maka tidak ada salahnya bagi kamu mengenai apa Yang dilakukan
mereka pada dirinya menurut cara Yang baik (yang diluluskan oleh Syarak). dan
(ingatlah), Allah sentiasa mengetahui Dengan mendalam akan apa jua Yang kamu lakukan” (Al-Baqarah: 234)[1]
B. Tafsir
Ayat : 234
Maksudnya,
apabila suami meninggal, istrinya harus tinggal dan wajib menunggu selama empat
bulan sepuluh hari. Hikmahnya adalah untuk membuktikan kehamilan pada masa
empat bulan dan awal-awal bergeraknya (janin) pada bulan yang kelima; (dan
masih ada hikmah lain yang insya Allah akan disebutkan pada ‘pelajaran dari
ayat ini’,). Ayat yang umum ini dikhususkan dengan wanita-wanita yang hamil
karena iddah mereka adalah melahirkan bayinya, demikian juga hamba wanita sahaya
karena iddahnya adalah setengah dari iddah wanita merdeka yaitu dua bulan lima
hari.
FirmanNya, {
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ } “Kemudian
apabila telah habis iddahnya”,artinya, telah selesai masa iddahnya, { فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ } “maka tiada dosa bagimu,
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka”, artinya, untuk
berhias dan memakai wangi-wangian, { بِالْمَعْرُوفِ }“menurut yang
patut”. Maksudnya dalam bentuk yang tidak diharamkan dan tidak pula
dimakruhkan.
Ayat
ini menunjukkan kewajiban ihdad, (meninggalkan bersolek) dalam masa iddah atas
wanita yang ditinggal mati suaminya dan tidak selainnya dari wanita-wanita yang
diceraikan dan ditinggalkan (suaminya), dan ini merupakan kesepakatan para ulama.
{
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ } “Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat”,maksudnya, mengetahui perbuatan-perbuatan
kalian secara lahiriyahnya maupun batiniyahnya, yang tampak maupun yang
tersembunyi, maka pasti Allah akan membalasnya. Dan tentang mengarahkan
firmanNya kepada para wali dengan firmanNya, {فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي
أَنفُسِهِنَّ } “maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka”,merupakan dalil
bahwa wali itu memperhatikan wanita tersebut dan melarangnya dari hal-hal yang
tidak boleh dilakukan, dan memaksanya untuk melakukan yang wajib dan bahwasanya
ayat ini dihadapkan untuk wali dan menjadi tanggung jawabnya.[2]
C.
Surah At -Talaq Ayat 4:
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³t z`ÏB ÇÙÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾ÍnÍöDr& #Zô£ç ÇÍÈ
“ dan perempuan-perempuan dari kalangan kamu Yang putus asa dari
kedatangan haid, jika kamu menaruh syak (terhadap tempoh idah mereka) maka
idahnya ialah tiga bulan; dan (demikian) juga idah perempuan-perempuan Yang
tidak berhaid. dan perempuan-perempuan mengandung, tempoh idahnya ialah hingga
mereka melahirkan anak Yang dikandungnya. dan (ingatlah), sesiapa Yang bertaqwa
kepada Allah, nescaya Allah memudahkan baginya Segala urusannya”.
(Surah At-Talaq : 4)
D. Asbab Al- Nuzul
Dikemukakan oleh Muqatil di dalam
Tafsirnya, bahwa Khallad bin bin Amr bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang iddah wanita yang belum pernah haid. Maka turunlah ayat At-Thalaq : 4.
Berkenaan dengan peristiwa tersebut, sebagai jawaban pertanyaan itu. Yaitu 3
bulan masa iddah wanita yang belum pernah haid atau wanita menopause. Iddah
wanita yang tidak haid menurut kesepakatan ulama Fiqh, iddah wanita yang telah
berhenti haid karena usia lanjut (menopause) atau anak kecil yang belum
haid diperhitungkan berdasarkan bulan. Yaitu selama tiga bulan.
Iddah wanita hamil adalah
sampai ia melahirkan, hal ini didasarkan pada Surat At- Thalaq : 4 yang artinya
: “…dan wanita- wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai
mereka melahirkan kandungannya….” Ayat ini juga didukung oleh
sabda Nabi SAW kepada Suaibah Al-Aslamiyah yang diriwayatkan al-Jama’ah
(mayoritas ahli hadis), bahwa ia dizinkan Rasulullah SAW untuk melaksanakan
perkawinan setelah ia melahirkan anaknya. Akan tetapi apabila wanita hamil itu
kematian suami, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang apakah ia tetap
beriddah dengan iddah hamil atau iddah kematian suami. Jumhur ulama fiqh
menyatakan bahwa iddah wanita hamil yang kematian suami adalah sampai ia
melahirkan, sekalipun kelahiran itu belum mencapai waktu empat bulan sepuluh
hari. Bahkan menurut mereka, sekalipun wanita itu melahirkan beberapa saat
setelah kematian suami. Alasannya yaitu firman Allah SWT dalam Surat At-Thalaq
: 4 di atas. Disamping itu, Suaibah al-aslamiyah, sebagaimana disebutkan dalam
hadis, melahirkan beberapa malam setelah suaminya wafat. Lalu ia mendatangi
Rasulullah SAW untuk meminta izin menikah lagi dengan lelaki lain. Rasulullah
SAW mengizinkan dan Suaibah pun melangsungkan pernikahannya(HR. Jama’ah)
Akan tetapi, Ali Bin Abi Thalib
dan Ibn Abas berpendapat bahwa wanita hamil yang kematian suami iddahnya adalah
iddah yang terlama dari iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari dan iddah
wanita hamil yaitu sampai melahirkan. Apabila wanita itu melahirkan melahirkan
sebulan setelah suaminya wafat, maka iddah yang dipakai adalah empat bulan
sepuluh hari. Apabila wanita itu telah melewati masa empat bulan sepuluh hari
belum juga melahirkan, maka iddahnya sampai melahirkan. Alasan yang mereka
kemukakan adalah adalah firman Allah SWT dalm Surat Al-Baqarah : 234 yang
menyatakan bahwa wanita- wanita yang kematian suami iddahnya adalah empat bulan
sepuluh hari tanpa membedakan apakah wanita itu hamil atau tidak. Kemudian
dalam Surat At-Thalaq : 4, Allah SWT menyatakan bahwa wanita hamil itu iddahnya
adalah sampai melahirkan. Ayat terakhir inipun menurut mereka bersifat
umum untuk wanita hamil yang dicerai hidup dan wanita hamil yang tercerai
mati. Oleh sebab itu, menurut mereka kedua ayat ini harus dikompromikan
dengan cara membatasi ayat kedua (at-thalaq : 4) hanya untuk wanita hamil
yang dicerai hidupdan anaknya belum lahir juga setelah menjalani waktu empat
bulan sepuluh hari. Sementara itu ayat pertama tetap bersifat umum untuk wanita
yang tidak hamil dan wanita hamil. Dengan demikian, menurut mereka dengan cara
ini kedua ayat di atas sama- sama bisa diamalkan.
E. Pengertian
Iddah
Iddah : perhitungan. Yaitu masa
tunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian
dengan suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, dengan tujuan mengetahui
keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.
Setelah terjadinya perceraian
antara seorang wanita dengan suaminya, maka wanita tersebut dilarang melakukan
perkawinan dengan lelaki lain selama waktu tertentu yang ditetapkan syarak. Dalam
masa iddah ini, suami istri yang telah bercerai itu dapat berpikir apakah
perkawinan itu lebih baik dipertahankan, sehingga suami kembali kepada istrinya
(rujuk), jika perceraian yang terjadi adalah talak raj’i (talaq satu atau dua),
atau perceraian itu lebih baik, sehingga suami itu tidak rujuk lagi pada
istrinya. Di samping itu, masa tunggu juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah
rahim wanita itu berisi janin atau tidak, sehingga apabila ternyata wanita itu
hamil, maka nasab anak tersebut dapat diketahui dengan jelas.
Ulama fiqh menyatakan bahwa
iddah bagi wanita yang kematian suami dijadikan syarak sebagai masa penghormatan
pihak istri terhadap suami yang meninggal, dengan demikian menurut Ulama Fiqh,
iddah merupakan ketentuan syarak yang harus dijalani para wanita yang bercerai
dengan suaminya.
F. Kandungan Hukum
1. Apakah Ayat ini bias dijadikan
nasikh ayat yang menerangkan tentang iddah setahun itu?
Jumhur
ulama’ berpendapat: bahwa ayat ini adalah nasikh bagi ayat al-Qur’an surat
al-Baqarah:240 yang menjelaskan iddah wafat Selama setahun penuh yang kemudian
dimansukh dengan empat bulan sepuluh hari.
Sebagian
berpendapat: tidak ada satupun ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh (terhapus).maka
ayat tersebut hanya sebagai pengurangan dari setahun, dan yang demikian ini
bukanlah nasikh-mansukh namanya tetapi suatu keringanan .
Al-Qurtubi
berkata : pendapat kedua ini keliru sekali ,dan beliau berpendapat bahwa iddah
empat bulan sepuluh hari adalah penghapus bagi iddah setahun.
2. Iddah perempuan hamil yang ditinggal
mati suaminya.
Menurut
jumhur iddah nya sampai melahirkan,karena berpegang pada firman Allah swt.
surat at-Thalaq ayat:4, yang menjelaskan tentang batas iddah orang hamil itu
sampai melahirkan dan ayat ini sekaligus mentakhsish keumuman surat al-Baqarah ayat
234.
Menurut
Ali ibnu abbas r.a ada dua masa iddah orang yang hamil yakni jika hamil tua dan
melahirkan anak sebelum habis masa 4 bulan 10 hari ,maka iddahnya 4 bulan 10
hari. Tapi jika hamil muda dan masa 4
bulan 10 hari telah lewat dan dia belum melahirkan maka masa iddahnya sampai
dia melahirkan dengan kata lain beliau mengamalkan beliau mengamalkan kedua
ayat tadi dan beliau berpendapat bahwa dalam hal ini ijma’(kompromi) itu lebih
tepat dari pada memilih salah satu.
3. Apa yang dimaksud dengan
berkabung dan berapa lama masa berkabung perempuan atas suaminya.
Syariat
Islam mewajibkan perempuan yang ditinggal mati suaminya selama masa iddah(4
bulan 10 hari) dan untuk keluarga mayit diperkenankan(bukan wajib) berkabung
selama tiga hari,lebih dari itu hukumnya haram.
Demikianlah
keterangan dari hadis yang diriwayatkan oleh Zainab binti ummu salamah.
“Berkabung” ialah tidak berhias,tidak
memakai wangi-wangian, tidak bercelak,tidak menampakkan diri untuk dipinang
orang yang berlaku bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya,sebagai
penghormatan pada suami dan rasa berduka cita atas meninggalnya suami.
4. Untuk apa iddah itu. ?
Para ulama menganalisa beberapa tujuan
iddah adalah sebagai berikut:
a) Untuk
mengetahui bara’atur rahim, sehingga tidak terjadi percampuran nasab antara
satu dengan lainnya.
b) Sebagai
suatu ibadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah terhadap muslimah-muslimah.
c) Menunjukkan
rasa duka hati atas kematian seorang suami sebagai tanda atas kelebihan dan
kebaikan suami.
d) Memberi
kesempatan suami-istri yang bercerai untuk mengembalikan hidup baru,dengan
jalan ruju’.
e) sebagai
pujian atas kebesaran persoalan pernikahan.
G. Macam- Macam Iddah
Ulama Fiqh mengemukakan bahwa wanita beriddah adakalanya disebabkan
kerena dicerai
suaminya (talaq satu, dua dan
tiga) dan adakalanya karena kematian suami. Dintaranya ada 10
kasus iddah.
Macam- macam Kasus Iddah
|
Lamanya Iddah
|
Cerai Hidup - belum berkumpul
|
Tidak ada iddah
|
Cerai mati – belum berkumpul
|
4 bulan 10 hari / 130 hari
|
Cerai Hidup – Sudah Berkumpul
- Keadaan Hamil
|
Sampai kandungan lahir
|
Cerai Mati - Sudah
Kumpul – Keadaan Hamil
|
Melahirkan kandungan dengan 4
bulan 10 hari.
|
Cerai Hidup – Sudah Berkumpul
– Keadaan Haid
|
Iddah 3 kali suci
|
Cerai Mati – Sudah Berkumpul
– Keadaan Haid
|
4 bulan 10 hari
|
Cerai Hidup – sudah berkumpul
– Belum Pernah Haid
|
3 bulan
|
Cerai Mati – sudah berkumpul
– Belum Pernah Haid
|
4 bulan 10 hari
|
Cerai Hidup – sudah berkumpul
– Sudah Lepas Haid
|
3 bulan
|
Cerai Mati – sudah berkumpul
- Sudah Lepas Haid
|
4 bulan 10 hari
|
H. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Masa Iddah
Para fuqaha telah menyepakati
ada beberapa hak dan kewajiban bagi wanita yang sedang beriddah, yaitu sebagai
berikut.
1) Tidak boleh dipinang oleh
lelaki lain, baik secara terang- terangan maupun sindiran. Akan tetapi untuk
wanita yang menjalani iddah kematian suami, pinangan dapat dilakukan dengan
sindiran. Dengan dasar QS. Al-Baqarah : 235 yang artinya: “dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita- wanita itu dengan sindiran ……..”
(“wanita-wanita itu” dalam ayat ini ditafsirkan sebagai wanita kematian suami).
2) Dilarang keluar rumah. Jumhur
ulama fiqh selain madzhab Syafi’i, sepakat menyatakan bahwa wanita yang
menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak,
seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari.
3) Berhak untuk tinggal selama
menjalani masa iddahnya di rumah suaminya, hal ini di dasarkan pada Surat
At-thalaq ayat 1.
4) Menurut kesepakatan fuqaha,
wanita yang menjalani iddah akibat talaq raj’i (talaq satu atau talaq dua) atau
dalam keadaan hamil, suaminya wajib menyediakan seluruh nafkah yang dibutuhkan
wanita tersebut. Tetapi jika iddahnya adalah karena kematian suami maka tidak
wajib nafkah, karena kamatian menghapuskan seluruh akibat perkawinana.
5) Wanita itu wajib berihdad,
yaitu tidak menggunakan alat- alat kosmetik untuk mempercantik diri selama
empat bulan sepuluh hari.
6) Wanita dalam masa iddah talaq
raj’i berhak mendapatkan harta warisan, sedangkan wanita yang menjalani iddah
talaq tiga atau talaq bain, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari
suaminya yang wafat.
I. Kewajiban Suami Terhadap Nafkah
Istri Dalam Masa Iddah
Para ulama ahli fiqh sepakat
bahwa perempuan yang ditalaq raj’I masih berhak mendapat nafkah dan tempat
tinggal. Tetapi masih diperselisihkan mengenai talaq tiga.
Abu Hanifah berkata : ia punya
hak nafkah dan tempat tinggal seperti perempuan yang ditalaq raj’I. karena dia
wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya. Sedangkan di rumah ini dia
terkurung, karena suami masih ada hak kepadanya. Jadi dia berhak mendapat
nafkah.
Ahmad berkata : ia tidak berhak
mendapat nafkah dan tempat tinggal, sebagaimana hadits Fatimah bin Qais: bahwa
ia telah ditalaq tiga oleh suaminya. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya
(Fatimah) : Engkau tidak ada hak nafkah daripadanya (suami).
Syafi’I dan Malik berkata : Ia
mendapat hak dan tempat tinggal, tetapi tidak mendapat nafkah, kecuali kalau
hamil. Karena Aisyah dan Ibnu Musayyab menolak hadits Fatimah di atas.
J. Hikmah Tasyri’
Allah
mewajibkan iddah bagi prempuan muslimah demi melindungi kehormatan keluarga
serta menjaga dari perpecahan dan percampuran nasab.
Memperbaiki
kebiasaan orang-orang jahiliah dalam masa berkabung dan menjadikan
berkabung sebagai lambang kebersihan bukan kekotoran dan yang aslinya
selama satu tahun menjad 4 bulan 10 hari.[3]
K.
Pelajaran dari Ayat:
Penjelasan
mengenai masa iddah seorang istri yang suaminya meninggal dunia, yaitu empat
bulan sepuluh hari, dan di dalam sunnah (hadits) di jelaskan bahwa masa iddah
wanita hamba sahaya (budak) adalah separuhnya, yaitu dua bulan lima hari.
Wajibnya
ihdad (berkabung) bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia. Yaitu
dengan tidak berhias (seperti celak, lipstik, dan sejenisnya), tidak boleh
memakai wewangian, dan tidak boleh menawarkan diri untuk di khithbah (dilamar).
Dan dalam masa iddahnya tersebut hendaknya ia selalu didalam rumah suaminya
yang ia dan bekas suaminya tinggal bersama disana, tidak keluar dari rumah itu
kecuali keadaan sangat darurat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang artinya,“Tidak halal bagi seorang wanita yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk berihdad (berkabung) atas mayyit
lebih dari tiga malam kecuali atas suaminya (yang meninggal) yaitu empat bulan
sepuluh hari.” (hadits muttafaq ‘alaih).
Wajib
melakukan iddah (menunggu masa iddah) atas seorang istri yang suaminya
meninggal dunia, sesuai ayat, “(hendaklah para istri itu) menangguhkan
dirinya (ber’iddah)”, ayat ini adalah berbentuk khabar (informasi) yang
bermakna perintah.
Wajibnya
beriddah atas seorang istri yang suaminya meninggal dunia darinya, baik istri
tersebut kecil, atau dewasa, muda atau tua. Berdasarkan keumuman ayat tersebut,
istrinya yang dewasa (tua) maka wajib berihdad (berkabung), dan bagi seorang
ostri yang masih kecil (belum baligh) maka walinyalah yang menjauhkanya dari
hal-hal yang dijauhi oleh istri yang telah dewasa (ketika masa berkabung).
Wajibnya
beriddah atas seorang istri yang suaminya meninggal dunia darinya, baik dia
telah melakukan hubungan suami istri dengannya ataupun belum, berdasarkan
keumuman ayat diatas, selain itu bahwa istri telah resmi menjadi seorang istri
bagi suaminya adalah hanya hanya dengan melakukan aqad nikah saja, berbeda
dengan thalak (cerai); adapun thalak sebelum melakukan hubungan suami istri,
(dan khalwah/berdua-duaan, menurut sebagian ulama) sejak dari awal aqad nikah
maka tidak ada iddah baginya, sebagaimana ayat, “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya….” (QS. Al-Ahzab :
49).
Kewajiban
atas seorang wanita menunggu dirinya selama masa iddah, yaitu dengan tidak
menikah, dan tidak menawarkan diri untuk menikah.
Bahwasanya
apabila ternyata ketika suaminya wafat terbukti bahwa aqad nikah yang mereka
lakukan bathil (rusak) maka istrinya tidak beriddah dengan iddah karena
meninggalnya suaminya tersebut. Misalnya ketika suaminya wafat ternyata istrinya
yang ditinggalkan tersebut adalah adiknya dari sepersusuan; karena nikah
seperti itu adalah bathil (rusak) maka‘wujuduhu kal ‘adam’ (adanya
suaminya tersebut seperti tidak adanya), sehingga tidak beriddah denganya.
Demikian menurut penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Bahwa
masa iddah seorang istri yang suaminya meninggal dunia adalah empat bulan
sepuluh hari, baik apakah ia dalam kondisi haidh, atau tidak haidh; dan
dikecualikan dari hal itu adalah bagi istri yang suaminya meninggal sedang dia
dalam keadaan hamil; maka masa iddah adalah sampai ia melahirkan, sebagaimana
ayat,
وَأُوْلاَتُ
اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل
لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا {4}
“….Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq : 4). Dan tidak ada masa iddah
bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia kecuali dua macam masa iddah
tersebut.
Hikmah
Allah dengan menentukan jumlah masa iddah bagi seorang istri yang suaminya
meninggal dunia dengan empat bulan sepuluh hari, dan menyertakan hukum dengan
jumlah ini bukan dengan tiga masa quru’ (haid atau suci) sebagaimana pada
umumnya wanita-wanita yang ditalaq; karena masa terpendek yang memungkinkan
bergeraknya janin adalah empat bulan; dan ditambah sepuluh hari untuk
meyakinkan; demikian kata sebagian ahli ilmu.
Akan
tetapi menurut Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menilai, “Setelah diperhatikan
lebih teliti ternyata alasan tersebut terdapat kelemahan, karena wanita yang
suaminya meninggal dunia bermacam-macam, terkadang ada yang belum digauli (berhubungan
suami istri), ada masih kecil yang tidak memungkinkan untuk hamil; ada pula
yang sudah manopouse; maka untuk kehati-hatian dengan masa iddah selama empat
bulan sepuluh hari; mungkin pula dapat diketahui kosongnya rahim sebelum masa
ini selesai. Maka jelas sekali dengan hal ini bahwa hikmah dari hal itu adalah
sesuatu yang lain.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Iddah adalah masa tunggu
bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan
suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, dengan tujuan mengetahui keadaan
rahimnya atau untuk berpikir bagi suami. Menurut kesepakatan ulama Fiqh,
iddah wanita yang telah berhenti haid karena usia lanjut (menopause) atau
anak kecil yang belum haid diperhitungkan berdasarkan bulan. Yaitu selama tiga
bulan.
Iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan, hal ini didasarkan
pada Surat At- Thalaq : 4 yang artinya : “…dan wanita- wanita hamil,
waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya….”“Dan jika istri- istri mereka yang sudah ditalaq itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” Dengan
demikian, Allah SWT telah menetapkan adanya tempat tinggal dan nafkah bagi
wanita yang hamil.
B.
Kritik dan Saran
Makalah
ini kami susun sesuai dengan silabus mata kuliah Muq. Tafsir Ahkam. Makalah ini
juga dimaksudkan agar pembaca dapat dengan mudah memahami pembahasan mengenai Hukum
Iddah.
Kami
sangat menyedari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan dan
kelemahan serta masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami mohon kritik dan
saran dari pembaca agar kami dapat menyempurnakan pada makalah-makalah
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali As Shobini Muhammad,
2001. Tafsir Ayatul Ahkam. Jakarta : Darul Khutub
Tafsir Al-Quran Al-Karim Oleh Syaikh
Muhammad Bin Shaleh Al-Utsaimin, Daibnul Jauzi
http://Ngajialquran.Wordpress.Com/2010/12/25/Tafsir
Al-Baqarah Ayat 234 Masa Iddah Seorang Istri Yang Suaminya Meninggal Dunia
0 comments:
Post a Comment