SILA "CLICK NEW TAB FOR DETAIL POST" JIKA MENGHADAPI MASALAH MEMBACA ENTRI SILA EMAIL KAN PADA CAKERAWALA IBTISAM TERIMA KASIH

Apr 21, 2013

Tanggung Jawab Ahli Waris untuk Membayar Utang Pewaris



HUKUM WARIS
( Tanggung Jawab Ahli Waris untuk Membayar Utang Pewaris )
A.        Pengertian Waris :
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras (bentuk pluralnya adalah mawaris), yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli waris. Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah ilmu faraid.
Kata faraid merupakan bentuk plural/jamak dari faridah, yang artinya bagian yang telah dtentukan kadarnya. Jadi pengertian ilmu mawaris atau ilmu faraid adalah ilmu untuk memahami pembagian harta pusaka dan ketentuan tiap-tiap orang yang mempunyai hak tirkah (harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit).
B.  Dasar Hukum Waris :
            1.         Al-Qur'an:[1]
ÉA%y`Ìh=Ï9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang Telah ditetapkan ". (An-Nisa' : 7)
2.         Hadits :
ألْـحِـقُـوْا الْـفَـرَائِـضَ بِـأهْـلِـهَـا فَـمَـا بَـقِـيَ فَـهُـوَ لأوْلَى رَجُـلٍ ذَكَـرٍ. (مـتـفـق عـلـيـه)
"Berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashabah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama ". (H.R. Bukhari – muslim)

3.   Ijma' (kesepakatan para ulama) :
Ijma’ para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid fikih menjadi sumber hukum atas permasalahan waris yang belum dijelaskan oleh nas-nas yang sharih.
Misalnya ; menentukan status kakek dan bagian yang diterima bila bersama saudara-saudara yang meninggal. Juga menentukan bagian anak perempuan dari anak laki-laki bila bersama anak perempuan atau dengan saudara yang meninggal, masalah aul dan lain sebagainya.
C.        Rukun – Rukun Waris[2] :
Rukun-rukun waris ada tiga, yang mana jika salah satu dari rukun waris ini tidak ada maka tidak akan terjadi pembagian warisan. Diantaranya adalah :
 1.        Adanya pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah harta dan peninggalan lainnya yang dapat diwariskan.
2.         Adanya ahli waris, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.         Adanya harta warisan, yaitu harta peninggalan milik pewaris yang ditinggalkan ketika ia wafat. Harta warisan ini dapat berbagai macam bentuk dan jenisnya, yang di dalamnya ada nilai materinya.
D.        Syarat – Syarat Waris[3] :
            Syarat-syarat waris ada tiga, diantaranya adalah:
 1.        Telah meninggalnya pewaris baik secara nyata maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal oleh hakim, karena setelah dinantikan hingga kurun waktu tertentu, tidak terdengar kabar mengenai hidup matinya). Hal ini sering terjadi pada saat datang bencana alam, tenggelamnya kapal di lautan, dan lain-lain. Seandainya calon pewaris masih hidup, atau bahkan sudah sekarat, maka harta tersebut sepenuhnya masih miliknya 100%, tidak boleh dibagikan tanpa seizinnya. Jika ada pembagian harta dari orang yang hidup, maka itu adalah pembagian harta biasa (hibah) yang tidak bisa disebut sebagai harta warisan.
2.         Adanya ahli waris yang masih hidup secara nyata pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.         Seluruh ahli waris telah diketahui secara pasti, termasuk kedudukannya terhadap pewaris dan jumlah bagiannya masing-masing.

E.        Tirkah (peninggalan) Mayit[4] :
            Hal-hal yang bersangkutan dengan peninggalan si mayit ada 5 perkara :
1.         Kewajiban kepada Allah yang harus terlaksana, seperti nazar, zakat, diyat, kaffarat, dan lain-lain.
2.         Biaya proses perawatan jenazah sampai selesai.
3.         Pelunasan hutang.
Apabila seseorang meninggal dunia dan masih meninggalkan hutang, maka hutangnya dibayarkan dari harta yang dimilikinya sebelum dibagikan kepada ahli warisnya. Apabila hartanya sudah tidak ada, maka para ahli warisnyalah yang harus menanggungnya. Karena Rasulullah saw bersabda, “Roh (jiwa) seorang mu’min masih terkatung-katung (sesudah wafatnya) sampai hutangnya didunia dilunasi. (HR. Ahmad). Jika terjadi kondisi jumlah hutangnya lebih besar dari harta warisan yang ada, maka ahli warisnya harus berusaha melunasinya dari harta warisan yang ada ditambah dengan harta mereka sendiri sebagai bentuk tanggung jawab ahli waris terhadap kerabatnya yang telah wafat tersebut. Jika memang hartanya masih belum mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada kerabatnya yang lain. Jika memang masih belum mencukupi juga, maka bisa meminta bantuan kepada kaum muslimin lainnya, atau bahkan meminta bantuan kepada pemerintah atau negara dari harta baitul mal (kas negara). Demikian pendapat yang dipilih oleh golongan Syafi’iyyah. Sedangkan, menurut ketentuan yang ada didalam Kompilasi Hukum Islam – merupakan rumusan tertulis Hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia – pada pasal 157 berbunyi :“Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Jadi, para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan harta milik pribadi. Dengan demikian maka prosedur pembayaran hutang pewaris yang melampaui jumlah harta peninggalan ialah menurut pengurangan yang seimbang.

Contoh kasus :
Pewaris X mempunyai hutang kepada A sebesar Rp.50.000,- ; kepada B sebesar Rp.30.000,- ; dan C sebesar Rp.20.000,-. Jumlah harta peningalan pewaris sebesar 200.000. Ongkos-ongkos selama sakit dan ongkos kematian sebesar Rp. 160.000,-.Berdasar rumus di atas maka penyelesaian hutang-hutang tersebut diatur sebagai berikut :
A= 50.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp.20.000,-
B= 30.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 12.000,-
C= 20.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp.8.000,-
Dan pelunasan hutang ini lebih diperioritaskan dari pada pelaksanaan wasiat berdasarkan nas hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW memutuskan untuk mendahulukan penyelesaian hutang sebelum melaksanakan wasiat.
4.         Wasiat, maksimal 1/3 harta dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang sudah menerima furudh/ashabah (lihat Bab Wasiat).
5.         Harta Waris. sebelum harta waris ini dibagikan, terlebih dahulu ahli waris harus memenuhi hak-hak si mayit secara urut dari hak yang pertama sampai keempat dengan menggunakan harta peninggalan dari si mayit, kemudian baru sisa harta waris dapat dibagikan kepada ahli warisnya sesuai ketentuan.
Para ulama mazhab sepakat bahawa tirkah  (harta peninggalan mayit) beralih pemilikannya kepada ahli waris sejak kematiannya sepanjang tidak ada hutang atau wasiat. Mereka juga bersepakat tentang beralihnya pemilikan atas kelebihan hutang dan wasiat kepada ahli waris.

Hanafi mengatakan: Bagian yang nilainya sama dengan jumlah hutang, tidak di masukkan dalam mmilik ahli waris. Berdasar itu, apabila harta peninggalan tertelan hutang, maka ahli waris tidak menerima apa-apa. Akan tetapi mereka berhak meminta pembebasan dari pemilik piutang atas hutang yang lebih besar dari jumlah tirkah. Sedangkan bila harta peninggalan tidak habis oleh hutang maka para ahli waris menerima sisanya yang tidak terkena hutang itu.

Syafi’I dan mayoritas ulama mazhab Hambali mengatakan[5]: Pemilikan ahli waris adalah masih tetap ada dalam tirkah.

Membayar hutang mayit didahulukan daripada wasiat meskipun wasiat didahulukan penyebutannya dalam ayat. Ini karena ucapan ali yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi,
“Aku melihat Rasulullah saw mulai menguruskan utang mayit daripada wasiat”
Hikamah didahulukannya adalah perhatian islam terhadapt utang itu, tidak mengabaikannya. Sebab, utang mirip dengan warisan yang harus diambil tanpa kompensasi. Pendahuluan utang daripada wasiat adalah jelas. Sebab, pembayaran utang adalah kewajiban orang yang berutang yang mana dia dipaksa untuk membayarnya pada saat dia hidup. Wasiat adalah ibadah sunnah. Fardhu kewajiban adalah lebih kuat.
Utang yang harus dibayarkan menurut hanafiyyah adalah yang ada sisi tuntutan dari hamba (manusia). Adapun utang-utang kepada Allah, seperti zakat, dan kafarah maka para ahli waris tidak wajib membayarnya kecuali jika orang yang meninggal telah berwasiat untuk membayarnya.

Bagaimanapun, utang ada empat macam:
1.      Utang-utang yang berkaitan dengan benda seperti utang yang berkaitan dengan barang gadaian, jika si mayit tidak mempunyai apa-apa selain barang gadaian itu. Saya telah menjelaskan bahwa utang itu menurut Hanafiyyah adalah didahulukan pengafanan dan perawatan jenazah. Adapon dalam undang-undang, utang diakhirkan daripada perawatan jenazah demi mengambil pendapat Hanabilah.
2.      Utang-utang untuk Allah seperti zakat, kafarah dan nazar gugur dengan kematian menurut Hanafiyyah. Para ahli waris tidak berkewajiban membayarkannya untuk mayit kecuali dengan perwakilan dari si mayt. Yaitu, si mayit berwasiat agar utang-utang kepada Allah itu dibayarkan untuknya dari peninggalannya. Oleh karena itu dibayarkan dari sepertiga hartanya sahaja. Mayorita ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafiiyyah dan Hanabilah mengatakan utang-utang ini adalah wajib dibayrkan dan berkaitan dengan peninggalan mayit, dibayarkan meskipon mayit tidak berwasiat. Pendapat ini lebih sohih, sebab di dalamnya ada unsur pembebasan tanggungan.
3.      Utang-utang hamba atau utang-utang mayit yang menjadi tanggungannya pada saat dia sehat didahulukan daripada utang pada waktu dia sakit. Utang-utang pada waktu sehat ada dalam posisi salam meskipun berbeda-beda penyebabnya, seperti utang, mahar, sewa dan semua yang harus menjadi tanggungan sebagai ganti sesuatu yang lain. Utang pada waktu sehat adalah yang ada dengan bukti, atau pengakuan pada saat die sehat. Utamg pada waktu dia sakit adalah sakit keras yakni mati.
4.      Utang-utang pada waktu sakit yang menjadi kewajiban mayit melalui jalan pengakuan yang tidak dilalui oleh orang lain. Mayoritas ulama tidak membedakan antara utang-utang pada waktu sehat dan utang pada waktu sakit. Malakiyyah berpendapat peninggalan mayit yang mulai diurus adalah benda seperti gadaian. Kemudian bilik perawatan, kemudian pembayaran utang-utang dan barulah wasiat. Pembayaran utang dari harta mayit didahulukan daripada wasiat, artinya utang mayit terhadap orang lain, baik telah jatuh temponya atau tidak. Setelah didahulakn denda haji Tamatu’ baik dia berwasiata atau tidak. Kemudia zakat fitrah yang tidak dibayarkan, kafarat-kafarat yang keabsahannya disaksikan menjadi tanggungannya atau dia hanya berwasiat sahaja.
5.      Syafiiyyah mengatakan utang-utang yang menjadi tanggungan mayit dibayarkan dari ra’sul mal (harta si mayit sebelum dibagi-bagi) baik si mayit mengizinkan pembayarannya atau tidak, kewajiban kepada Allah atau manusia sebab itu adalah hak-hak yang menjadi kewajibannya. Utang kepada Allah seperti zakat, kafarat, haji didahulukan daripada utang kepada anak Adam menurut pendapat yang paling shahih.
6.      Hanabilah mengatakan harta yang tersisa selepas biaya perawatan si mayit dengan baik, digunakan untuk membayar utang-utangnya baik dia berwasiat atau tidak. Dimulai dengan yang berkaitan dengan harta itu seperti utang dengan gadai, denda jinayah, yang menjadi tanggungan pelaku kejahatan dan sebagaianya, kemudian utang-utang bebas yang menjadi tanggungan, baik utang-utang itu kepada Allah seperti zakat mal dan sedekah fitrah, kafarat, haji wajib dan nazar. Atau, utang yang berupa utang murni, harga, sewa, ju’alah (upah yang dijanjikan kepada seseorang untuk suatu pekerjaan) yang masih dalam tanggungan dan sebagainya, diyat setelah berlalu satu tahun, denda (kompensasi) jinayat, barang-barang yang di ghasab, harga-harga barang yang rusak dan sebagainya. Hal ini berdasarkan hadith di atas bahwa Rasulullah memutuskan pengurusan utang sebelum wasiat. Jika hartanya sedikit, mereka yang mempunyai piutang ahli waris akan membagi antar mereka.
7.      Jika utang itu termasuk dalam hak Allahmaka jika si mayit berwasiat tentang itu, harus dipenuhi dari sepertiga daripada sisa hartanya setelah utang yang notabene menjadi hak hamba. Jika dia tidak berwasiat maka tidak wajib.[6]
8.      Orang yang meninggalkan solat dan si mayit berwasiat untuk memberikan makan fakir miskin sebagai gantinya dari sepertiga harta si mayit. Untuk setiap solat setengah sha’ gandum. Demikina juga solat witir sebab itu juga kewajiban menurut  Abu Hanifah.
9.      Jika si mayit tidak menjalankan puasa Ramadhan karena bepergian atau sakit, semenyara dia mampu untuk menqhadanya sampai meninggal dan dia berwasiat untuk memberi makan, para ahli warisnya wajib untuk memberikan makan dari sepertiga harta mayit, setiap hari setengah sha’ gandum.
10.  Jika dia berwasiat untuk menjalankan haji maka dilakukan dari sepertiga hartanya sahaja.



F.         Sebab-Sebab Menjadi Ahli Waris :
1.         Pernikahan, hanya  dengan  akad  nikah  yang sah, maka  suami  bisa mendapat  harta  warisan  istrinya  dan  istri pun  bisa  mendapat  warisan  dari suaminya.
2.         Keturunan (nasab), yaitu  kerabat  dari  arah  atas  seperti  kedua  orang  tua, dari arah bawah / keturunan seperti anak, ke arah samping seperti saudara, paman serta anak-anak mereka.
3.         Perwalian/wala’ (sebab memerdekakan budak ). Maula / mu'tiq (tuan/majikan yang memerdekakan budak) dapat menjadi ahli waris bagi mantan budaknya (‘atiq) yang sudah ia merdekakan apabila mantan budak itu meninggal tidak mempunyai ahli waris sama sekali baik secara nasab (keturunan) maupun pernikahan.
G.        Sebab-Sebab Menggugurkan Ahli Waris :
1.         Membunuh, orang yang membunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya meskipun yang dibunuh ayahnya sendiri.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.: "Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun." (HR Abu Daud).
Ada perbedaan di kalangan fuqaha (ahli fikih) tentang penentuan jenis pembunuhan :
·                     Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
·                     Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
·                     Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.
·                     Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya di-qishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 173 dinyatakan, “Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.         dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b.         dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”.
2.         Berlainan agama. Seorang muslim tidak dapat mewarisi harta warisan orang non muslim walapun ia adalah orang tua atau anak, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW. dalam sabdanya : "Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam." (HR Bukhari dan Muslim).
3.         Budak, tidak dapat mewarisi harta keluarganya yang meninggal karena ia tidak berkuasa atas harta bendanya. Sedangkan kekuasaan atas budak dan harta bendanya berada dalam tangan tuannya.
Hadits Rasulullah SAW, “Siapa yang menjual seorang hamba (budak) sedangkan dia memiliki harta, maka hartanya tersebut menjadi milik pembelinya, kecuali bila hamba tersebut mensyaratkannya (yakni membuat perjanjian dahulu dengan pembelinya supaya hartanya tidak menjadi milik tuannya yang baru tersebut).” (HR. Ibnu Majah).


H.        Harta Bawaan dan Harta Gono Gini :
Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, hendaknya terlebih dahulu diteliti asal harta tersebut, apakah harta itu merupakan harta pribadi masing-masing pihak yang terpisah satu sama lain atau merupakan harta serikat (gono gini) dari suami istri sesudah pernikahan.


Adapun, Properti suami atau istri dibedakan statusnya menjadi dua :
a.         Harta pribadi (bawaan), yang merupakan milik masing-masing suami istri.
            Harta ini diperoleh dari dua jalan, yaitu ;
            1.  Warisan dari keluarga masing-masing pihak.
            2.  Hibah (pemberian) atau usaha sendiri.
            Harta kekayaan yang diperoleh dari dua jalur ini merupakan properti pribadi masing-masing pihak, baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Apabila mereka meninggal, harta tersebut dapat diwarisi oleh ahli warisnya termasuk anak, istri atau suami.

b.                  Harta gono gini

1.         Pengertian Gono Gini[7]
      Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, gono gini diartikan sebagai harta perolehan bersama selama bersuami isteri. Dalam Kompilasi Hukum Islam  yang berlaku dalam lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini disebut dengan istilah “harta kekayaan dalam perkawinan”. Definisinya (dalam pasal 1 ayat f) adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung (tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa). Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan harta gono gini adalah harta benda yang diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan dan menjadi hak kepemilikan berdua di antara suami isteri.
           Dalam perspektif fikih Islam, sebagian ulama menganggap harta gono-gini sebagai harta syirkah kepemilikan (syirkah milk/syirkah amlak). Adapun definisi syirkah kepemilikan ini adalah kepemilikan bersama atas suatu barang di antara dua orang atau lebih yang terjadi karena adanya salah satu sebab kepemilikan (seperti jual-beli, hibah, wasiat, dan waris), atau karena adanya percampuran harta benda yang sulit untuk dipilah-pilah dan dibedakan. Syirkah kepemilikan ini misalkan ada satu pihak yang menghibahkan suatu harta kepada dua orang, lalu keduanya menerimanya. Maka kepemilikan harta itu dalam fikih Islam disebut syirkah kepemilikan (syirkah milk/ syirkah amlak).      


2.         Batasan Harta Isteri
Berdasarkan pengertian harta gono gini diatas, maka harta yang sudah dimiliki oleh suami atau isteri sebelum menikah, demikian pula mahar bagi isteri, juga warisan, hadiah, dan hibah milik isteri atau suami, tidak termasuk harta gono gini. Bahkan dalam Islam harta yang diperoleh isteri dari hasil kerjanya sendiri tidak termasuk harta gono gini, karena harta tersebut adalah hak milik isteri. Hal itu berdasarkan firman Allah yang berbunyi ;
4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# u  ÇÌËÈ  
“Bagi para laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS An-Nisaa` : 32)
Jadi, apabila isteri bekerja dan memperoleh harta, maka isteri punya hak penuh atas hartanya itu. Jika isteri mau menggunakan harta itu untuk keperluan keluarga, maka itu dianggap sebagai sedekah yang punya dua pahala, yakni pahala sedekah dan pahala berbuat baik kepada keluarga. Hal ini pernah dinyatakan Rasulullah kepada isteri Abdullah bin Mas’ud yang menyedekahkan hartanya untuk sang suami karena ia tergolong laki-laki miskin (HR Bukhari-Muslim).
Jelaslah, bahwa harta yang menjadi hak isteri, adalah harta yang sudah dimiliki oleh isteri sebelum pernikahan. Misalnya, harta pemberian orang tua isteri. Termasuk juga hak milik isteri adalah mahar dari suami, demikian pula warisan, hadiah, dan hibah yang diberikan oleh suatu pihak kepada isteri. Semua itu adalah harta isteri, bukan harta gono gini. Demikian juga harta yang diperoleh isteri dari hasil kerjanya sendiri. Walau pun setelah akad nikah.
Kecuali jika isteri menggunakan hartanya itu untuk keperluan keluarga dan dijadikan hak milik bersama (syirkah amlak). Misalnya uang yang semula milik isteri diberikan kepada suami, lalu suami menggabungkan uang isteri tersebut dengan uang suami yang selanjutnya uang gabungan itu dibelikan rumah untuk keperluan keluarga dan dijadikan sebagai hak milik bersama. Dalam hal ini rumah tersebut menjadi harta gono gini.     
     
3.         Pembagian Harta Gono Gini
Harta gono-gini adalah hasil kekayaan yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumah tangga. Bekerja di sini berarti luas sehingga tugas istri yang hanya memelihara dan mendidik anak tetap dianggap bekerja meskipun tidak menghasilkan uang. Begitu juga, apakah suami bekerja atau tidak, sama saja statusnya. Jadi semua harta yang diperoleh secara bersama dalam ikatan perkawinan dibagi dua. Masing-masing mendapat 50 persen dari harta gono-gini tersebut.

Oleh karena, apabila salah seorang suami atau istri meninggal, terlebih dahulu dipisahkan harta peninggalannya menjadi 3 bagian ; satu bagian yang menjadi milik istri, satu bagian milik suami, dan yang satunya menjadi harta gono gini ; Lalu salah satu suami atau istri yang masih hidup lebih dahulu mengambil separoh bagian harta gono gini ini, kemudian separohnya lagi digabung dengan satu bagian harta milik yang meninggal. Dari seluruh peninggalan harta yang meninggal inilah, yang selanjutnya dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan ilmu faraid, termasuk suami atau istri yang masih hidup.

Pembagian fifty-fifty dalam pasal 97 dalam Kompilasi Hukum Islam  bukanlah ketentuan yang sifatnya wajib secara syar’i. Sebab tidak ada nash dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits yang menerangkan bahwa pembagiannya harus seperti itu, yakni suami dan isteri masing-masing mendapatkan setengah (50 %). Pembagian harta gono gini dapat juga dilakukan atas dasar kesepakatan dan kerelaan dari kedua pihak (suami-istri) yang bercerai. Misalnya, suami isteri sepakat membagi harta dengan prosentase suami mendapat sepertiga, sedangkan isteri mendapat dua pertiga. Atau sebaliknya misalkan suami mendapatkan dua pertiga sedang isteri mendapat sepertiga. Atau prosentase lainnya sepanjang telah disepakati dalam perdamaian.

Jadi, tidak wajib masing-masing mendapat setengah, tetapi masing-masing mendapatkan bagian sesuai dengan kesepakatan yang terjadi dalam perdamaian. Tetapi, jika suami-isteri yang akan bercerai berperkara mengenai harta gono-gini ke Pengadilan Agama, maka ada ketentuan khusus yang diberlakukan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 97 ada ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua (bagian 50 %) dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

I.          Hukum Menunda Pembagian  Harta Waris
Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setelah pewaris meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan, misalnya karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, jangan sampai karena lama tidak dibagikan, akhirnya muncul kecurigaan dan perselisihan dari para ahli waris. Oleh karena itu tidak boleh menunda/menahan harta milik mereka, karena sesungguhnya mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.


Daftar Pustaka
                        Al-Quran Al-Karim
                        Kh. Asyhari Abta dan Drs. Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Pustaka Hikmah Perdana, Surabaya 2005
                        Muhammad  Muhyidin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Mazhab, Pustaka Al-Kauthar Jakarta 2009
                        Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani jilid 10, Jakarta 2011
                        Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Lentera Jakarta 2011
                        Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Fiqih Tujuh Mazhab, Pustaka Setia, Bandung 2007



[1] Al-Quran Al-Karim
[2] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani jilid 10, Jakarta 2011
[3] Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Fiqih Tujuh Mazhab, Pustaka Setia, Bandung 2007
[4] Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Fiqih Tujuh Mazhab, Pustaka Setia, Bandung 2007
[5] Kh. Asyhari Abta dan Drs. Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Pustaka Hikmah Perdana, Surabaya 2005
[6] Kh. Asyhari Abta dan Drs. Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Pustaka Hikmah Perdana, Surabaya 2005
[7] Muhammad  Muhyidin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Mazhab, Pustaka Al-Kauthar Jakarta 2009

0 comments: