HUKUM
WARIS
( Tanggung
Jawab Ahli Waris untuk Membayar Utang Pewaris )
A. Pengertian Waris :
Kata waris berasal dari bahasa
Arab miras (bentuk pluralnya adalah mawaris), yang berarti harta
peninggalan orang yang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli waris. Ilmu
yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah
ilmu faraid.
Kata faraid
merupakan bentuk plural/jamak dari faridah, yang artinya bagian yang
telah dtentukan kadarnya. Jadi pengertian ilmu mawaris atau ilmu faraid adalah
ilmu untuk memahami pembagian harta pusaka dan ketentuan tiap-tiap orang yang
mempunyai hak tirkah (harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit).
B. Dasar Hukum Waris :
1. Al-Qur'an:[1]
ÉA%y`Ìh=Ï9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uèYx. 4 $Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ
"Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang Telah ditetapkan
". (An-Nisa' : 7)
2. Hadits :
ألْـحِـقُـوْا
الْـفَـرَائِـضَ بِـأهْـلِـهَـا فَـمَـا بَـقِـيَ فَـهُـوَ لأوْلَى رَجُـلٍ
ذَكَـرٍ. (مـتـفـق عـلـيـه)
"Berilah
orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing,
sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashabah yang lebih dekat, yaitu orang
laki-laki yang lebih utama ". (H.R. Bukhari – muslim)
3. Ijma' (kesepakatan para ulama) :
Ijma’ para
sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid fikih menjadi sumber hukum
atas permasalahan waris yang belum dijelaskan oleh nas-nas yang sharih.
Misalnya ; menentukan status kakek dan bagian yang diterima
bila bersama saudara-saudara yang meninggal. Juga menentukan bagian anak
perempuan dari anak laki-laki bila bersama anak perempuan atau dengan saudara
yang meninggal, masalah aul dan lain sebagainya.
C. Rukun – Rukun Waris[2]
:
Rukun-rukun waris ada tiga, yang mana jika salah satu dari
rukun waris ini tidak ada maka tidak akan terjadi pembagian warisan.
Diantaranya adalah :
1. Adanya
pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah harta
dan peninggalan lainnya yang dapat diwariskan.
2. Adanya
ahli waris, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang berhak untuk
menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan
kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Adanya
harta warisan, yaitu harta peninggalan milik pewaris yang ditinggalkan
ketika ia wafat. Harta warisan ini dapat berbagai macam bentuk dan jenisnya,
yang di dalamnya ada nilai materinya.
D. Syarat – Syarat Waris[3]
:
Syarat-syarat
waris ada tiga, diantaranya adalah:
1. Telah
meninggalnya pewaris baik secara nyata maupun secara hukum (misalnya dianggap
telah meninggal oleh hakim, karena setelah dinantikan hingga kurun waktu
tertentu, tidak terdengar kabar mengenai hidup matinya). Hal ini sering terjadi
pada saat datang bencana alam, tenggelamnya kapal di lautan, dan lain-lain. Seandainya
calon pewaris masih hidup, atau bahkan sudah sekarat, maka harta tersebut
sepenuhnya masih miliknya 100%, tidak boleh dibagikan tanpa seizinnya. Jika ada
pembagian harta dari orang yang hidup, maka itu adalah pembagian harta biasa
(hibah) yang tidak bisa disebut sebagai harta warisan.
2. Adanya ahli
waris yang masih hidup secara nyata pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli
waris telah diketahui secara pasti, termasuk kedudukannya terhadap pewaris dan
jumlah bagiannya masing-masing.
E. Tirkah
(peninggalan) Mayit[4] :
Hal-hal yang
bersangkutan dengan peninggalan si mayit ada 5 perkara :
1. Kewajiban
kepada Allah yang harus terlaksana, seperti nazar, zakat, diyat, kaffarat,
dan lain-lain.
2. Biaya proses perawatan jenazah
sampai selesai.
3. Pelunasan hutang.
Apabila seseorang meninggal dunia dan
masih meninggalkan hutang, maka hutangnya dibayarkan dari harta yang
dimilikinya sebelum dibagikan kepada ahli warisnya. Apabila hartanya sudah
tidak ada, maka para ahli warisnyalah yang harus menanggungnya. Karena
Rasulullah saw bersabda, “Roh (jiwa) seorang mu’min masih terkatung-katung
(sesudah wafatnya) sampai hutangnya didunia dilunasi. (HR. Ahmad). Jika
terjadi kondisi jumlah hutangnya lebih besar dari harta warisan yang ada, maka
ahli warisnya harus berusaha melunasinya dari harta warisan yang ada ditambah
dengan harta mereka sendiri sebagai bentuk tanggung jawab ahli waris terhadap
kerabatnya yang telah wafat tersebut. Jika memang hartanya masih belum
mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada kerabatnya yang lain. Jika memang
masih belum mencukupi juga, maka bisa meminta bantuan kepada kaum muslimin
lainnya, atau bahkan meminta bantuan kepada pemerintah atau negara dari harta
baitul mal (kas negara). Demikian pendapat yang
dipilih oleh golongan Syafi’iyyah. Sedangkan, menurut ketentuan yang ada
didalam Kompilasi Hukum Islam – merupakan rumusan tertulis Hukum Islam
yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia – pada pasal
157 berbunyi :“Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban
pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Jadi,
para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena
tidak mencukupi harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan harta
milik pribadi. Dengan demikian maka prosedur pembayaran hutang pewaris yang
melampaui jumlah harta peninggalan ialah menurut pengurangan yang seimbang.
Contoh kasus :
Pewaris X mempunyai hutang kepada A
sebesar Rp.50.000,- ; kepada B sebesar Rp.30.000,- ; dan C sebesar Rp.20.000,-.
Jumlah harta peningalan pewaris sebesar 200.000. Ongkos-ongkos selama sakit dan
ongkos kematian sebesar Rp. 160.000,-.Berdasar rumus di atas maka penyelesaian
hutang-hutang tersebut diatur sebagai berikut :
A= 50.000 / 100.000 x (200.000-160.000)
= Rp.20.000,-
B= 30.000 / 100.000 x (200.000-160.000)
= Rp. 12.000,-
C= 20.000 / 100.000 x (200.000-160.000)
= Rp.8.000,-
Dan pelunasan hutang ini lebih
diperioritaskan dari pada pelaksanaan wasiat berdasarkan nas hadits yang
diriwayatkan oleh al-Hakim, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW memutuskan untuk
mendahulukan penyelesaian hutang sebelum melaksanakan wasiat.
4. Wasiat, maksimal 1/3 harta dan
tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang sudah menerima furudh/ashabah
(lihat Bab Wasiat).
5. Harta Waris. sebelum harta
waris ini dibagikan, terlebih dahulu ahli waris harus memenuhi hak-hak si mayit
secara urut dari hak yang pertama sampai keempat dengan menggunakan harta
peninggalan dari si mayit, kemudian baru sisa harta waris dapat dibagikan
kepada ahli warisnya sesuai ketentuan.
Para ulama mazhab sepakat bahawa
tirkah (harta peninggalan mayit) beralih
pemilikannya kepada ahli waris sejak kematiannya sepanjang tidak ada hutang
atau wasiat. Mereka juga bersepakat tentang beralihnya pemilikan atas kelebihan
hutang dan wasiat kepada ahli waris.
Hanafi mengatakan: Bagian yang nilainya
sama dengan jumlah hutang, tidak di masukkan dalam mmilik ahli waris. Berdasar
itu, apabila harta peninggalan tertelan hutang, maka ahli waris tidak menerima
apa-apa. Akan tetapi mereka berhak meminta pembebasan dari pemilik piutang atas
hutang yang lebih besar dari jumlah tirkah. Sedangkan bila harta peninggalan
tidak habis oleh hutang maka para ahli waris menerima sisanya yang tidak
terkena hutang itu.
Syafi’I dan mayoritas ulama mazhab
Hambali mengatakan[5]:
Pemilikan ahli waris adalah masih tetap ada dalam tirkah.
Membayar hutang mayit didahulukan
daripada wasiat meskipun wasiat didahulukan penyebutannya dalam ayat. Ini
karena ucapan ali yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi,
“Aku melihat Rasulullah saw mulai
menguruskan utang mayit daripada wasiat”
Hikamah didahulukannya adalah
perhatian islam terhadapt utang itu, tidak mengabaikannya. Sebab, utang mirip
dengan warisan yang harus diambil tanpa kompensasi. Pendahuluan utang daripada
wasiat adalah jelas. Sebab, pembayaran utang adalah kewajiban orang yang
berutang yang mana dia dipaksa untuk membayarnya pada saat dia hidup. Wasiat
adalah ibadah sunnah. Fardhu kewajiban adalah lebih kuat.
Utang yang harus dibayarkan menurut
hanafiyyah adalah yang ada sisi tuntutan dari hamba (manusia). Adapun
utang-utang kepada Allah, seperti zakat, dan kafarah maka para ahli waris tidak
wajib membayarnya kecuali jika orang yang meninggal telah berwasiat untuk
membayarnya.
Bagaimanapun, utang ada empat macam:
1. Utang-utang yang berkaitan dengan
benda seperti utang yang berkaitan dengan barang gadaian, jika si mayit tidak
mempunyai apa-apa selain barang gadaian itu. Saya telah menjelaskan bahwa utang
itu menurut Hanafiyyah adalah didahulukan pengafanan dan perawatan jenazah.
Adapon dalam undang-undang, utang diakhirkan daripada perawatan jenazah demi
mengambil pendapat Hanabilah.
2. Utang-utang untuk Allah seperti
zakat, kafarah dan nazar gugur dengan kematian menurut Hanafiyyah. Para ahli
waris tidak berkewajiban membayarkannya untuk mayit kecuali dengan perwakilan
dari si mayt. Yaitu, si mayit berwasiat agar utang-utang kepada Allah itu
dibayarkan untuknya dari peninggalannya. Oleh karena itu dibayarkan dari
sepertiga hartanya sahaja. Mayorita ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafiiyyah
dan Hanabilah mengatakan utang-utang ini adalah wajib dibayrkan dan berkaitan
dengan peninggalan mayit, dibayarkan meskipon mayit tidak berwasiat. Pendapat
ini lebih sohih, sebab di dalamnya ada unsur pembebasan tanggungan.
3. Utang-utang hamba atau utang-utang
mayit yang menjadi tanggungannya pada saat dia sehat didahulukan daripada utang
pada waktu dia sakit. Utang-utang pada waktu sehat ada dalam posisi salam
meskipun berbeda-beda penyebabnya, seperti utang, mahar, sewa dan semua yang
harus menjadi tanggungan sebagai ganti sesuatu yang lain. Utang pada waktu
sehat adalah yang ada dengan bukti, atau pengakuan pada saat die sehat. Utamg
pada waktu dia sakit adalah sakit keras yakni mati.
4. Utang-utang pada waktu sakit yang
menjadi kewajiban mayit melalui jalan pengakuan yang tidak dilalui oleh orang
lain. Mayoritas ulama tidak membedakan antara utang-utang pada waktu sehat dan
utang pada waktu sakit. Malakiyyah berpendapat peninggalan mayit yang mulai
diurus adalah benda seperti gadaian. Kemudian bilik perawatan, kemudian
pembayaran utang-utang dan barulah wasiat. Pembayaran utang dari harta mayit
didahulukan daripada wasiat, artinya utang mayit terhadap orang lain, baik
telah jatuh temponya atau tidak. Setelah didahulakn denda haji Tamatu’ baik dia
berwasiata atau tidak. Kemudia zakat fitrah yang tidak dibayarkan,
kafarat-kafarat yang keabsahannya disaksikan menjadi tanggungannya atau dia
hanya berwasiat sahaja.
5. Syafiiyyah mengatakan utang-utang
yang menjadi tanggungan mayit dibayarkan dari ra’sul mal (harta si mayit
sebelum dibagi-bagi) baik si mayit mengizinkan pembayarannya atau tidak,
kewajiban kepada Allah atau manusia sebab itu adalah hak-hak yang menjadi
kewajibannya. Utang kepada Allah seperti zakat, kafarat, haji didahulukan
daripada utang kepada anak Adam menurut pendapat yang paling shahih.
6. Hanabilah mengatakan harta yang
tersisa selepas biaya perawatan si mayit dengan baik, digunakan untuk membayar
utang-utangnya baik dia berwasiat atau tidak. Dimulai dengan yang berkaitan
dengan harta itu seperti utang dengan gadai, denda jinayah, yang menjadi
tanggungan pelaku kejahatan dan sebagaianya, kemudian utang-utang bebas yang
menjadi tanggungan, baik utang-utang itu kepada Allah seperti zakat mal dan
sedekah fitrah, kafarat, haji wajib dan nazar. Atau, utang yang berupa utang
murni, harga, sewa, ju’alah (upah yang dijanjikan kepada seseorang untuk suatu
pekerjaan) yang masih dalam tanggungan dan sebagainya, diyat setelah berlalu
satu tahun, denda (kompensasi) jinayat, barang-barang yang di ghasab,
harga-harga barang yang rusak dan sebagainya. Hal ini berdasarkan hadith di
atas bahwa Rasulullah memutuskan pengurusan utang sebelum wasiat. Jika hartanya
sedikit, mereka yang mempunyai piutang ahli waris akan membagi antar mereka.
7. Jika utang itu termasuk dalam hak
Allahmaka jika si mayit berwasiat tentang itu, harus dipenuhi dari sepertiga
daripada sisa hartanya setelah utang yang notabene menjadi hak hamba. Jika dia
tidak berwasiat maka tidak wajib.[6]
8. Orang yang meninggalkan solat dan si
mayit berwasiat untuk memberikan makan fakir miskin sebagai gantinya dari
sepertiga harta si mayit. Untuk setiap solat setengah sha’ gandum. Demikina
juga solat witir sebab itu juga kewajiban menurut Abu Hanifah.
9. Jika si mayit tidak menjalankan puasa
Ramadhan karena bepergian atau sakit, semenyara dia mampu untuk menqhadanya
sampai meninggal dan dia berwasiat untuk memberi makan, para ahli warisnya
wajib untuk memberikan makan dari sepertiga harta mayit, setiap hari setengah
sha’ gandum.
10. Jika dia berwasiat untuk menjalankan
haji maka dilakukan dari sepertiga hartanya sahaja.
F. Sebab-Sebab Menjadi Ahli Waris :
1. Pernikahan, hanya dengan
akad nikah yang sah, maka suami
bisa mendapat harta warisan
istrinya dan istri pun
bisa mendapat warisan
dari suaminya.
2. Keturunan (nasab), yaitu kerabat
dari arah atas
seperti kedua orang
tua, dari arah bawah / keturunan seperti anak, ke arah samping seperti
saudara, paman serta anak-anak mereka.
3. Perwalian/wala’ (sebab
memerdekakan budak ). Maula / mu'tiq (tuan/majikan yang
memerdekakan budak) dapat menjadi ahli waris bagi mantan budaknya (‘atiq)
yang sudah ia merdekakan apabila mantan budak itu meninggal tidak mempunyai
ahli waris sama sekali baik secara nasab (keturunan) maupun pernikahan.
G. Sebab-Sebab Menggugurkan Ahli Waris :
1. Membunuh, orang yang membunuh
tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya meskipun yang dibunuh ayahnya
sendiri.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
SAW.: "Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun."
(HR Abu Daud).
Ada perbedaan di kalangan fuqaha (ahli fikih) tentang
penentuan jenis pembunuhan :
·
Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat
menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar
kafarat.
·
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang
disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
·
Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan
segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya
memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya
membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman
mati pada umumnya.
·
Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang
mengharuskan pelakunya di-qishash, membayar diyat, atau membayar
kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 173 dinyatakan, “Seorang terhalang menjadi ahli
waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena:
a. dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan
secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat”.
2. Berlainan agama. Seorang muslim tidak dapat mewarisi
harta warisan orang non muslim walapun ia adalah orang tua atau
anak, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW.
dalam sabdanya : "Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir,
dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam." (HR
Bukhari dan Muslim).
3. Budak, tidak dapat
mewarisi harta keluarganya yang meninggal karena ia tidak berkuasa atas harta
bendanya. Sedangkan kekuasaan atas budak dan harta bendanya berada dalam tangan
tuannya.
Hadits Rasulullah SAW, “Siapa yang
menjual seorang hamba (budak) sedangkan dia memiliki harta, maka hartanya
tersebut menjadi milik pembelinya, kecuali bila hamba tersebut mensyaratkannya
(yakni membuat perjanjian dahulu dengan pembelinya supaya hartanya tidak
menjadi milik tuannya yang baru tersebut).” (HR. Ibnu Majah).
H. Harta Bawaan dan Harta Gono Gini :
Sebelum harta
peninggalan dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, hendaknya terlebih dahulu
diteliti asal harta tersebut, apakah harta itu merupakan harta pribadi
masing-masing pihak yang terpisah satu sama lain atau merupakan harta serikat (gono
gini) dari suami istri sesudah pernikahan.
Adapun, Properti
suami atau istri dibedakan statusnya menjadi dua :
a. Harta
pribadi (bawaan), yang merupakan milik masing-masing suami istri.
Harta ini diperoleh dari dua jalan,
yaitu ;
1.
Warisan dari keluarga masing-masing pihak.
2.
Hibah (pemberian)
atau usaha sendiri.
Harta kekayaan yang diperoleh dari
dua jalur ini merupakan properti pribadi masing-masing pihak, baik sebelum
maupun sesudah pernikahan. Apabila mereka meninggal, harta tersebut
dapat diwarisi oleh ahli warisnya termasuk anak, istri atau suami.
b.
Harta gono gini
Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, gono gini diartikan sebagai harta perolehan bersama selama
bersuami isteri. Dalam Kompilasi Hukum Islam
yang berlaku dalam lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini disebut dengan
istilah “harta kekayaan dalam perkawinan”. Definisinya (dalam pasal 1 ayat f)
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri
selama dalam ikatan perkawinan berlangsung (tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapa). Dari
definisi tersebut, dapat disimpulkan harta gono gini adalah harta benda yang
diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan dan menjadi hak kepemilikan
berdua di antara suami isteri.
Dalam
perspektif fikih Islam, sebagian ulama menganggap harta gono-gini sebagai harta
syirkah kepemilikan (syirkah milk/syirkah amlak). Adapun definisi
syirkah kepemilikan ini adalah kepemilikan bersama atas suatu barang di antara
dua orang atau lebih yang terjadi karena adanya salah satu sebab kepemilikan
(seperti jual-beli, hibah, wasiat, dan waris), atau karena adanya percampuran
harta benda yang sulit untuk dipilah-pilah dan dibedakan. Syirkah kepemilikan ini misalkan ada satu
pihak yang menghibahkan suatu harta kepada dua orang, lalu keduanya
menerimanya. Maka kepemilikan harta itu dalam fikih Islam disebut syirkah
kepemilikan (syirkah milk/ syirkah amlak).
2. Batasan
Harta Isteri
Berdasarkan pengertian harta gono gini
diatas, maka harta yang sudah dimiliki oleh suami atau isteri sebelum menikah,
demikian pula mahar bagi isteri, juga warisan, hadiah, dan hibah milik isteri
atau suami, tidak termasuk harta gono gini. Bahkan dalam Islam harta yang
diperoleh isteri dari hasil kerjanya sendiri tidak termasuk harta gono gini,
karena harta tersebut adalah hak milik isteri. Hal itu berdasarkan firman Allah yang berbunyi ;
4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# u ÇÌËÈ
“Bagi para laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka
usahakan.” (QS
An-Nisaa` : 32)
Jadi,
apabila isteri bekerja dan memperoleh harta, maka isteri punya hak penuh atas
hartanya itu. Jika isteri mau menggunakan harta itu untuk keperluan keluarga,
maka itu dianggap sebagai sedekah yang punya dua pahala, yakni pahala sedekah
dan pahala berbuat baik kepada keluarga. Hal ini pernah dinyatakan Rasulullah
kepada isteri Abdullah bin Mas’ud yang menyedekahkan hartanya untuk sang suami
karena ia tergolong laki-laki miskin (HR Bukhari-Muslim).
Jelaslah,
bahwa harta yang menjadi hak isteri, adalah harta yang sudah dimiliki oleh
isteri sebelum pernikahan. Misalnya, harta pemberian orang tua isteri. Termasuk
juga hak milik isteri adalah mahar dari suami, demikian pula warisan, hadiah,
dan hibah yang diberikan oleh suatu pihak kepada isteri. Semua itu adalah harta
isteri, bukan harta gono gini. Demikian juga harta yang diperoleh isteri dari
hasil kerjanya sendiri. Walau pun setelah akad nikah.
Kecuali jika isteri menggunakan hartanya
itu untuk keperluan keluarga dan dijadikan hak milik bersama (syirkah amlak).
Misalnya uang yang semula milik isteri diberikan kepada suami, lalu suami
menggabungkan uang isteri tersebut dengan uang suami yang selanjutnya uang
gabungan itu dibelikan rumah untuk keperluan keluarga dan dijadikan sebagai hak
milik bersama. Dalam hal ini rumah tersebut menjadi harta gono
gini.
3. Pembagian
Harta Gono Gini
Harta gono-gini adalah hasil kekayaan
yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang keduanya bekerja untuk
kepentingan hidup berumah tangga. Bekerja di sini berarti luas sehingga tugas
istri yang hanya memelihara dan mendidik anak tetap dianggap bekerja meskipun
tidak menghasilkan uang. Begitu juga, apakah suami bekerja atau tidak, sama
saja statusnya. Jadi semua harta yang diperoleh secara bersama dalam ikatan
perkawinan dibagi dua. Masing-masing mendapat 50 persen dari harta gono-gini
tersebut.
Oleh karena, apabila salah seorang suami
atau istri meninggal, terlebih dahulu dipisahkan harta peninggalannya menjadi 3
bagian ; satu bagian yang menjadi milik istri, satu bagian milik suami, dan
yang satunya menjadi harta gono gini ; Lalu salah satu suami atau istri yang
masih hidup lebih dahulu mengambil separoh bagian harta gono gini ini, kemudian
separohnya lagi digabung dengan satu bagian harta milik yang meninggal. Dari
seluruh peninggalan harta yang meninggal inilah, yang selanjutnya dibagikan
kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan ilmu faraid,
termasuk suami atau istri yang masih hidup.
Pembagian fifty-fifty dalam pasal
97 dalam Kompilasi Hukum Islam bukanlah ketentuan yang sifatnya
wajib secara syar’i. Sebab tidak ada nash dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits yang
menerangkan bahwa pembagiannya harus seperti itu, yakni suami dan isteri
masing-masing mendapatkan setengah (50 %). Pembagian harta gono gini dapat juga
dilakukan atas dasar kesepakatan dan kerelaan dari kedua pihak (suami-istri)
yang bercerai. Misalnya, suami isteri sepakat membagi harta dengan prosentase
suami mendapat sepertiga, sedangkan isteri mendapat dua pertiga. Atau
sebaliknya misalkan suami mendapatkan dua pertiga sedang isteri mendapat
sepertiga. Atau prosentase lainnya sepanjang telah disepakati dalam perdamaian.
Jadi, tidak wajib masing-masing mendapat
setengah, tetapi masing-masing mendapatkan bagian sesuai dengan kesepakatan
yang terjadi dalam perdamaian. Tetapi, jika suami-isteri yang akan bercerai
berperkara mengenai harta gono-gini ke Pengadilan Agama, maka ada ketentuan
khusus yang diberlakukan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 97 ada
ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat
seperdua (bagian 50 %) dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
I. Hukum Menunda Pembagian Harta Waris
Pembagian harta warisan harus segera
dilaksanakan setelah pewaris meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika
ada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan, misalnya karena rumahnya belum
laku dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil, atau ada ahli waris
yang banci, atau ada ahli waris yang hilang/tertawan, maka ada bagian yang
dibekukan untuk sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan adalah
sepenuhnya milik para ahli warisnya, jangan sampai karena lama tidak dibagikan,
akhirnya muncul kecurigaan dan perselisihan dari para ahli waris. Oleh karena
itu tidak boleh menunda/menahan harta milik mereka, karena sesungguhnya mereka
bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.
Daftar Pustaka
Al-Quran Al-Karim
Kh. Asyhari Abta dan Drs. Djunaidi Abd.
Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Pustaka Hikmah Perdana, Surabaya 2005
Muhammad
Muhyidin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Mazhab, Pustaka Al-Kauthar
Jakarta 2009
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Gema Insani jilid 10, Jakarta 2011
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,
Lentera Jakarta 2011
Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Fiqih Tujuh Mazhab,
Pustaka Setia, Bandung 2007
0 comments:
Post a Comment