PENGANTAR
Penulis
memilih terapi realitas William Glasser sebagai bahan pembahasan dalam buku ini
karena beberapa alasan.
1.
Pendekatan
ini ( sama halnya dengan terapi rasional – emotif Ellis ) menunjukkan perbedaan
yang besar dengan sebahagian besar pendekatan konseling dan psikoterapi.
2.
Terapi
realitas telah meraih popularitas di kalangan konselor sekolah, para guru dan
pimpinan sekolah dasar dan sekolah
menengah, dan para pekerja rehabilitasi.
3.
Terapi
realitas menyajikan banyak masalah dasar dalam konseling yang menjadi dasar
pertanyaan – pertanyaan seperti : Apa kenyataan itu ? Haruskah terapis mengajar
pasiennya ? Apa yang harus diajarkan ? Model apa yang harus disediakan oleh
terapi ?.
Terapi
realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena, dalam penerapan
–penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengondisian operan yang tidak
ketat. Menurut hemat penulis, salah sebab mengapa Glasser maraih popularitas
adalah keberhasilannya dalam menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi tingkah
laku ke dalam model praktek yang relative sederhana dan tidak berbelit – belit.
KONSEP
– KONSEP UTAMA
Pandangan
tentang Sifat Manusia
Terapi realitas berlandaskan premis
bahwa ada suatu kebutuhan psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu
kebutuhan akan identitas yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan
keunikan, keterpisahan, dan ketersendirian. Kebutuhan akan identitas
menyebabkan dinamik – dinamik tingkah laku, dipandang sebagai universal pada
semua kebudayaan.
Menurut terapi realitas, akan sangat
berguna apabila menganggap identitas dalam pengertian “ identitas keberhasilan
“ lawan “ identitas kegagalan “. Dalam
pembentukan identitas, masing – masing dari kita mengembangkan keterlibatan –
keterlibatan dengan orang lain dan dengan bayangan sendiri, yang dengannya kita
merasa relatis berhasil atau tidak berhasil. Orang lain memainkan peranan yang
berarti dalam membantu kita menjelaskan dan memahami identitas kita sendiri.
Ciri
– ciri Terapi Realitas
Sekurang
– kurangnya ada delapan cirri yang menentukan terapi realitas sebagai berikut.
1.
Terapi
realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Ia berasumsi bahwa bentuk –
bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibah dari
ketidakbertanggungjawaban. Pendekatan ini tidak berurusan dengan diagnosis –
diagnosis psikologis. Ia mempersamakan gangguan mental dengan tingkah laku yang
tidak bertanggung jawab dan mempersamakan kesehatan mental dengan tingkah laku
yang bertanggung jawab.
2.
Terapi
realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih – alih pada perasaan –
perasaan dan sikap – sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan – perasaan dan
sikap – sikap itu penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah –
laku sekarang. Terapi realitas juga tidak bergantung pada pemahaman untu
mengubah sikap – sikap tetapi menekan bahwa perubahan tingkah laku.
3.
Terapi
realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepda masa lampau. Karena masa
lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah
hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang.
4.
Terapi
realitas menekankan pertimbangan – pertimbangan nilai. Terapi realitas
menempatkan pokok kepentigannya pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah
lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya.
5.
Terapi
realitas tidak menekan transderensi. Ia tidak memandang konsep tradisonal
tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferinsi
sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi
realitas mengimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni
bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah atau ibu
klien.
6.
Terapi
realitas menekankan aspek – aspek kesadaran, bukan aspek – aspek ketaksadaran.
Teori psikoanalitik, yang berasumsi bahwa pemahaman dan kesadaran atas proses –
proses ketaksadaran sebagai suatu prasyarat bagi perubahan kepribadian,
menekankan pengungkapan konflik – konflik tak sadar melalui teknik – teknik seperti analisis
transferensi, analisis mimpi, asosiasi – asosiasi bebas, dan analisis
resistensi.
7.
Terapi
realitas menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna
menguah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan
melaksanakan rencan – rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada
klien dan perusakan hubungan terapeutik. Ia menentang penggunaan pernyataan –
pernyataan semacam itu merupakan hukuman.
8.
Terapi
realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser ( 1965, hlm. 13 )
didefinisikan sebagai “ kemampuan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan sendiri
dan melakukan dengan cara tidak mengutangi kemampuan orang lain dalam kebutuhan
– kebutuhan mereka “. Belajar tanggung jawab adalah proses seumur hidup.
Meskipun kita semua memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai seta
kebutuhan untuk memiliki rase berguna, kita tidak memiliki kemampuan bawaan
untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan itu.
PROSES
TERAPEUTIK
Tujuan
– tujuan Terapeutik
Sama
dengan kebanyakan system psikoterapi, tujuan umum terapis realitas adalah
membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Pada dasarnya, otonomi adalah
kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan
lingkungan dengan dukungan internal. Kematangan ini menyiratkan bahwa orang –
orang mampu bertangguh jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka
seta mengembangkan rencana – rencana yang bertanggung jawab dan realistis guna
mencapai tujuan – tujuan mereka. Terapi realitas membantu orang – orang dalam
menetukan dan memperjelas tujuan – tujuan mereka. Selanjutnya, ia membantu mereka
dalam menjelaskan cara – cara mereka sendiri. Terapis membantu klien menemukan
alternatif – alternatif dalam mencapai tujuan – tujuan klien menunjukkan bahwa
klien mampu melaksanakan rencana – rencananya secara mandiri dan tidak perlu
lagi diberi treatment.
Fungsi
dan peran Terapis
Tugas dasar terapis adalah
melibatkan diri dengan klien dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan.
Glasser ( 1965 ) merasa bahwa, ketika terapis menghadapi para klien, dia
memaksa mereka itu untuk memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan menempuh
“ jalan yang bertanggung jawab “. Terapis tidak membuat pertimbangan –
pertimbangan nilai dan putusan – putusan bagi para klien, sebab tindakan
demikian akan menyinkirkan tanggung jawab yang mereka miliki. Tugas terapis
adalah bertindak sebagai pembimbing yang membantu klien agar bisa menilai
tingkah lakunya sendiri secara realitas.
Beberapa orang yang telah membaca buku
– buku Glasser mengembangkan anggapan yang keliru bahwa terapis harus berfungsi
sebagai seorang moralis. Glasser ( 1972 ) yang menyatakan bahwa prinsip
evaluasi tingkah lakunya telah sering disalahartikan, menyangkal peran sebagai
moralis.
Sebahagian orang menerima dan
yang lainnya menolok Terapi Realitas
Karena mereka salah paham
tentang prinsip ini. Kedua kelompok
Orang itu percaya bahwa
Terapis Realitas bertindak sebagai seorang
Moralis, yang sesungguhnya
bukan ; ia tidak pernah mengatakan
Kepada siapa pun bahwa yang
dilakukannya salah dan bahwa
Ia harus berubah. Terapis
tidak menilai tingkah laku itu ;
Ia membimbing pasien untuk
mengevaluasi tingkah lakunya sendiri
Melalui keterbitannya dan
dengan membuka tingkah laku yang
Sebenar secara terang –
terangan.
Pengalaman
Klien dalam Terapi
Para klien dalam terapi realitas
bukanlah orang – orang yang telah belajar menjalani kehidupan secara
bertanggung jawab, melainkan orang – orang yang termasuk tidak bertanggung
jawab. Meskipun tingkah lakunya tidak layak, tidak realitas, dan tidak
bertanggung jawab, tingkah laku para klien itu masih merupakan upaya untuk
memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasar mereka akan cinta dan rase berguna.
Tingkah laku mereka itu pun merupakan upaya untuk memperoleh identitas meskipun
boleh jadi “ identitas kegagalan “. Perhatian terapeutik diberikan kepada orang
yang belum belajar atau kehilangan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang
bertanggung jawab.
Para klien diharapkan berfokus kepada
tingkah laku mereka sekarang alih – alih kepada perasaan – perasaan dan sikap –
sikap mereka. Terapis manantang para klien untuk memandang secara kritis apa
yang mereka perbuata dengan kehidupan mereka dan kemudian membuat pertimbangan
– pertimbangan nilai yang menyangkut keefektifan tingkah laku mereka dalam
mencapai tujuan – tujuan. Karena para klien bisa mengendalikan tingkah lakunya
lebih mudah daripada mengendalikan perasaan – perasaan dan pikirannya, maka
tingkah laku mereka itu menjadi focus terapi. Jika seorang klien mengeluh bahwa
dirinya cemas, terapis bisa bertanya kapada klien, “ apa yang anda lakukan
untuk membuat diri sendiri cemas?” fokusnya bukanlah perasaan cemas, melainkan
membantu klien agar memperoleh kesadaran atas apa yang dilakukannya sekarang
yang menjadikan dirinya cemas. Pemeriksaan dan evaluasi atas apa yang dilakukan
oleh klien secara sinambung dilakukan selama terapi.
Hubungan
antara Terapis dan Klien
Sebelum terjadi terapi yang efektif,
keterlibatan antara terapis dan klien harus berkembang. Para klien perlu
mengetahui bahwa orang yang membantu mereka, yakni terapis, menaruh perhatian
yang cukup kepada mereka, menerima dan membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan
– kebutuhan mereka di dunia yang nyata. Berikut tinjauan ringkas atas prinsip –
prinsip atau konsep – konsep yang spesifik yang menyajikan kerangka bagi proses
belajar yang terjadi sebagai hasil dari hubungan antara terapis dank lien atau
antara guru dan siswa, yang dikemukakan oleh Glasser ( 1965, 1969 ) serta
Glasser dan Zunin ( 1973 ).
1.
Terapi
realitas berlandaskan hubungan atau keterlibatan pribadi antara terapis dan
klien. Terapis, dengan kehangatan, pengertian, penerimaan, dan kepercayaannya
atas kesanggupan klien untuk mengembangkan suatu identitas keberhasilan, harus
mengomunikasikan bahwa dia menaruh perhatian. Melalui keterlibatan pribadi
dengan terapis, klien belajar bahwa lebih banyak hal dalam hidup ini daripada
hanya memusatkan perhatian kepada kegagalan, kesusahan, dan tingkah laku yang
bertanggung jawab.
2.
Perencanaan
adalah hal yang esensial dalam terapi realitas. Situasi terapeutik tidak terbatas
pada diskusi – diskusi antara terapis dan klien. Mereka harus membentuk rencana
– rencana yang, jika telah terbentuk, harus dijalankan; dalam terapi realitas
tindakan adalah bagian yang esensial. Kerja yang paling penting dalam proses
terapeutik di antaranya adalah membantu klien agar mengenali cara – cara yang
spesifik untuk mengubah tingkah laku kegagalan menjadi tingkah laku
keberhasilan. Rencana – rencana harus dibuat realitas dan ada dalam batas –
batas motivasi dan kesanggupan – kesanggupan masing – masing klien.
3.
Komitmen
adalah kunci utama terapis realitas. Setelah para klien membuat pertimbangan –
pertimbangan nilai mengenali tingkah laku mereka sendiri dan memutuskan rencana
– rencana tindakan, terapis membantu mereka dalam membuat suatu komitmen untuk
melaksanakan rencana – rencana itu dalam kehidupan sehari – hari mereka.
Pertanyaan – pertanyaan dan rencana – rencana tidak ada artinya sebelum ada
keputusan untuk melaksanakannya. Glasser dan Zunin ( 1973, hlm. 302 )
menyatakan bahwa “ ciri utama orang – orang yang memiliki identitas kegagalan
adalah bahwa mereka memiliki keengganan yang kuat untuk mengikatkan dirinya
sendiri “. Oleh karena itu, dengan menjalani rencana – rencana iu para klien
diharapkan bisa memperoleh rasa berguna.
4.
Terapi
realitas tidak menerima dalil. Jelas bahwa tidak semua komitmen klien bisa
terlaksana. Rencana – rencana bisa gagal. Akan tetapi, jika rencana – rencana
gagal, terapis realitas tidak menerima dalih. Ia tidak tertarik untuk mendengar
alasan – alasan, penyalahan, dan keterangan – keterangan klien tentang mengapa
rencanya gagal. Glasser menegaskan bahwa terapis jangan menyalahkan atau
mencela klien atas kegagalannya, juga jangan menjadi “ detektif “ untuk mencari
seabab – sebab kegagalan itu.
Teknik
– teknik dan Prosedur – prosedur Utama
1.
Terlibat
dalam permainan peran dengan klien;
2.
Menggunakan
humor;
3.
Mengonfrontasikan
klien dan menolok dalih apapun;
4.
Membantu
klien dalam merumuskan rencana – rencana yang spesifik bagi tindakan
5.
Bertindak
sebagai model dan guru;
6.
Memasang
batas – batas dan menyusun situasi terapi;
7.
Menggunakan
“ terapi kejutan verbal “ atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan
klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistic;
8.
Melibatkan
diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.