SILA "CLICK NEW TAB FOR DETAIL POST" JIKA MENGHADAPI MASALAH MEMBACA ENTRI SILA EMAIL KAN PADA CAKERAWALA IBTISAM TERIMA KASIH

Feb 17, 2016

VALIDITAS HADIS TENTANG TARIAN YANG DIJADIKAN HUJAH UNTUK MELEGITIMASI TARIAN SAMBIL BERZIKIR


VALIDITAS HADIS TENTANG TARIAN YANG DIJADIKAN HUJ UNTUK MELEGITIMASI TARIAN SAMBIL BERZIKIR
(STUDI TAKHRIJ DAN FAHMIL HADIS DALAM MUSNAD IMAM AHMAD)
SKRIPSI



MOTTO

53. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Latar persoalan tersebut memicu penulis untuk mengemukakan tentang pondasi dua dalil hadis yang digunakan oleh golongan sufistik atau pengamal ajaran tarekat dan tasawuf dizaman yang serba canggih ini bagi mempertahankan gerakan berzikir tersebut yang dinilai dari sudut kacamata kelompok ini sebagai sesuatu yang berpahala. Penulis sendiri telah melacak beberapa laman sesawang blog yang popular juga cenderung ke arah kesufian bagi mendapatkan dalil yang digunakan mereka. Bahkan blog-blog tersebut juga bisa dipertanggungjawabkan jika terbukti apa yang ditulis mereka salah. Mengenai hal tersebut penulis ingin mengetahui apakah kualitas hadis yang digunakan mereka dalam berhujah itu benar-benar valid dari sudut sanad perawi-perawinya, penulis juga ingin mengetahui apakah kefahaman sebenar dari matan hadis tersebut dan apakah sesuai pula syarah terhadap hadis tersebut dengan pemikiran dan pemahaman kaum sufi sendiri.

Hasil yang penulis temukan adalah hadis pertama yang digunakan sebagai dalil ternyata tidak terdapat matan sejenisnya di dalam „kutub asyarah‟, tiada syawahid dan muttabi‟, bahkan hadis tersebut jatuh pada tahap dha'if dan tidak bisa dibuat hujah. Hadis kedua pula terdapat satu muttabi' yang mendukung hadis tersebut dan kedua-dua jalan periwayatan bagi hadis kedua ini shahih. Dari sudut pemahaman hadis, secara tekstual dan kontekstual, ulama terbahagi kepada dua kelompok, kelompok pertama berfahaman sesuai dan secocok dengan pemahaman kaum sufi namun meletakkan beberapa syarat tertentu, manakala kelompok ulama yang kedua tidak sejalan dengan pemahaman tersebut dan menganggapnya sebagai perbuatan baru yang diada-adakan.

Akhirnya penulis merekomendasikan kepada umat Islam untuk dapat saling ber-tasamuh yakni berlapang dada pada hal-hal yang berlaku khilaf dikalangan para alim ulama. Masing-masing mempunyai hujah dan dalil tersendiri. Namun berdasarkan penelitian penulis, hadis pertama itu tidak layak untuk dijadikan hujah untuk melegitimasikan tarian sambil berzikir. Penulis mengakhiri tinta abstrak ini dengan meminjam kata-kata Imam Ibnu Kathir di dalam kitab tafsirnya, “Seandainya perkara tersebut baik, sudah pasti mereka (para sahabat, tabi‟, tabi‟ tabi‟in) mendahului kita”.


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ................................................ ii
NOTA DINAS ................................................................................................ iii
PENGESAHAN ............................................................................................. iv
MOTTO ......................................................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN .......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
C. Batasan Masalah ............................................................................ 6
D. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
E. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8
G. Metode Penelitian........................................................................... 9
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 11
BAB II METODOLOGI PENELITIAN HADIS
A. Gambaran Umum Kitab Musnad Imam Ahmad
1. Biografi Ringkas Imam Ahmad ..................................................... 12
2. Kualitas Hadis Dalam Musnad Ahmad .......................................... 14
3. Jumlah Hadis Dalam Musnad Ahmad ............................................ 17
4. Perhatian Ulama Terhadap Musnad Ahmad ................................... 18
B. Metodologi Penelitian Hadis
1. Definisi ......................................................................................... 21
2. Metode-Metode Takhrij ................................................................ 23
xi
3. Langkah-Langkah Penelitian Dan Fahmil Hadis ........................... 29
BAB III HASIL PENELITIAN SANAD HADIS
A. Definisi I‟tibar ................................................................................ 32
B. Penelitian Sanad Hadis Pertama ..................................................... 35
C. Penelitian Sanad Hadis Kedua ........................................................ 61
BAB IV HASIL PENELITIAN FAHMIL HADIS
A. Penelitian Kefahaman Hadis Pertama ............................................ 80
B. Penelitian Kefahaman Hadis Kedua ............................................... 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 101
B. Saran ............................................................................................. 102
C. Rekomendasi ................................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Di zaman modern ini, telah muncul pelbagai blog-blog yang berunsur dan cenderung ke arah keagamaan yang mana dengan adanya penulis-penulis blog ini telah memberikan sumbangan besar kepada proses penyebaran dakwah Islam itu sendiri. Wujudnya blog-blog keagamaan seperti ini dapat membawa pesan Islam itu kepada seluruh manusia di seluruh pelosok dunia, muda atau tua, kecil atau dewasa, lelaki atau perempuan, tiada batas. Tulisan ilmu berwajah agama yang ditulis melalui jari penulis-penulis blog kepada manusia modern ini terjadi tanpa batasan baik waktu, tempat dan tenaga, semua lapisan masyarakat dapat mengakses hasil tulisan dari para penulis blog ini. Bak kata pepatah, dunia berada di ujung jari kita.

Di kalangan para penulis blog keagamaan tersebut, ada sebahagian kelompok penulis blog yang menggunakan ayat-ayat al-Quran atau hadis-hadis tertentu berkaitan tarian yakni dalam bahasa arab disebut رقص dan Ø­َجَÙ„َ sebagai dalil dalam membahas keharusan tarian bagi membela suatu bentuk tarian khusus yang telah dipelopori oleh Maulana Jalaluddin ar-Rumi atau gerakan tarian berputar (whirling dervish).Yakni dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam sambil para penari menyatu dibawah rinduan kasih kepada Allah Azza Wajalla. Tarian zikrullah itu dalam arti kata tarian khusus yang lahir daripada rasa kesyahduan dan mahabbah atau kecintaan kepada Allah, dengan ketenangan munajat dan ber-taladdud (bergembira karena zikrullah).
Firman Allah SWT. sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Ali Imran ayat 191:

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau, lindungilah Kami dari azab neraka”.

Ayat di atas telah dijadikan dalil oleh penulis blog, Muhd Shubhi, pada judul tulisannya yaitu, „Zikir Sambil Menari Itu Boleh‟, yang mana menjadi hujah atau sandaran dalil membolehkan gerakan tarian berputar dilaksanakan dan mengklaim bahwa apa pun bentuk tarian tersebut tidak salah. Penulisnya juga turut menyatakan bahawa : “Ayat ini memberi isyarat kepada zikrullah boleh dilakukan dalam pelbagai keadaan dan gaya. Ummul Mukminin Aisyah pernah melaporkan bahawa Rasulullah saw. berzikrullah (berzikir kepada Allah) dalam semua keadaan. Sedang berjalan, menaiki kenderaan, di atas kenderaan, berbaring, duduk dan macam-macam lagi pernah dilaksanakan oleh Rasulullah saw.”

Penulis blog ini juga menggunakan pendapat Dato Dr. Haron Din, (salah seorang tokoh agama terkenal di Malaysia) dalam sisipan artikel tulisan tokoh tersebut sebagai penguat pendapatnya.
Pada tulisan lain, penulis blog kedua, yaitu, Ibnu Rasyid al-Syarkusi, pada bab „Hakikat Zikir dan Tarian Sufi‟, menyandarkan kebolehan tarian dalam berzikir ialah
melalui firman Allah S.W.T yang sama seperti yang tertera di atas dan menambah dalil lain melalui surah An-Nisa ayat 103 :

Artinya : “Selanjutnya apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.5

Penulis blog ini menggunakan dalil dari ayat al-Quran untuk membenarkan tarian dalam berzikir. Sementara itu, para penulis ini juga menggunakan hadis sebagai penguat pendapat mereka. Di antara hadis yang mereka gunakan adalah sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Musnad Imam Ahmad sendiri yaitu ;

Artinya ;“Diriwayatkan oleh Anas r.a bahwa orang-orang Habashah menyajikan seni mereka di depan nabi dan "mereka menari (Yarqasun)" sambil mengatakan:
Muhammadun abdun Solih, Nabi bertanya:. Apa yang di katakan? Mereka berkata: Muhammadun abdun sholih”.

Hadis di atas ditinggal tanpa status kualitasnya. Bahkan terus para penulis blog ini menjadikan hadis tersebut sebagai hujah dalam beramal sedangkan dalam disiplin ilmu agama, asas untuk menggunakan hadis baik untuk beramal atau berhujah dengannya ialah tingkat kualitas hadis tersebut mestilah shahih, yaitu hadis bersambung terus sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang yang adil yang cukup kuat ingatannya dari orang yang seumpamanya pula berturut-turut sampai ke penghujung sanad yang terhindar dari mengganjil dan cacat yang memburukkan7 ataupun hasan, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang adil namun kurang ingatannya sedikit, bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak mengganjil. Juga hadis tanpa status lain yang telah penulis lacak digunakan sebagai dalil zikir sambil menari bagi blog-blog ini adalah sebagai berikut ; Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Aswad bin „Amir : Telah mengkhabarkan kepada kami Isra‟el, dari Abu Ishaq, dari Hani‟ bin Hani‟, dari „Ali r.a, ia berkata : Aku, Ja‟far, dan Zaid mendatangi Nabi s.a.w., Beliau berkata kepada Zaid : “Engkau adalah maulaku”. Lalu Zaid pun melompat-lompat karena gembira. Beliau berkata kepada Ja‟far : “Engkau mirip denganku dan akhlaqku”. Maka ia (Ja‟far) pun melompat-lompat di belakang Zaid. Dan beliau s.a.w. berkata kepadaku : “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu”. Lalu aku pun melompat-lompat di belakang Ja‟far.” Zikir merupakan salah satu ibadah yang berhubung dengan Allah S.W.T . Adapun ibadah zikir sambil menari seperti ini harus mempunyai pondasi dalil yang kuat. Tidak boleh hanya sembarangan mematok dalil bahkan bersikap gopoh dalam mengambil hadis-hadis di dalam kitab hadis lalu ditafsir sesuai dengan kefahaman dan hawa nafsu sendiri. Beralih kepada dalil dari sudut hadis pula, yang menarik perhatian penulis untuk mengkaji lebih mendalam tentang kualitas matan dan sanad hadis tentang tarian ialah bahawasanya para penulis blog ini menggunakan hadis yang sama dalam mempertahankan hujah kebolehan zikir sambil menari ini. Mereka mengambil hadis tersebut daripada Musnad Imam Ahmad tanpa menperjelaskan dengan lebih terperinci apakah status kualitas hadis tersebut shahih, hasan sebagaimana yang dijelaskan tadi atau dho‟if, yakni hadis yang kekurangan satu syarat atau beberapa syarat hadis sebagaimana syarat dalam hadis shahih. Hadis tersebut ditinggal tanpa status atau kualitas didalam blog mereka juga tanpa penjelasan yang ilmiah dan terperinci.

Hadis itu sendiri adalah sumber patokan hukum dan rujukan terpenting dalam agama Islam setelah al-Quran yang mana disiplin ilmunya telah disusun dengan begitu sistematik oleh para ulama hadis dan mereka yang mengkajinya bahkan dari latar belakang hadis yang di ambil dari periwayatan Imam Ahmad di dalam musnadnya dalam membahas seputar hadis-hadis berkaitan tarian sambil berzikir , dari sisi rantai sanadnya dan kualitasnya apakah shahih, hasan atau dho‟if. Apakah hadisnya maqbul, yaitu hadis yang diterima yakni hadis shahih dan hadis hasan yang diterima sebagai hujah agama atau mardud, yakni lawannya dan apakah juga hadis tersebut mutawatir, yakni apa yang  diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad atau hanya ahad, yaitu hadis yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Bagaimana kefahaman di sebalik hadis ini sebagaimana yang dihuraikan oleh para ulama muhaddisin dan mereka yang mempunyai kepakaran mengenai hadis tentangnya hingga membawa pernyataan bahwa apakah hadis tersebut berstatus boleh diamalkan, yakni ma‟mul bihi atau ghair ma‟mul bihi.

Dengan ini saya ingin mengkaji lebih dalam tentang keshahihan hadis yang dibuat hujah oleh para penulis blog tersebut baik dari segi sanad mahupun matan dan saya tuangkan dalam bentuk tulisan ilmiah atau skripsi dengan judul “Validitas Hadis Tentang Tarian Yang Dijadikan Hujah Untuk Melegitimasi Tarian Sambil Berzikir” (Studi Takhrij dan Fahmil Hadits Dalam Musnad Imam Ahmad)”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, maka penulis mengangkat rumusan masalah sebagai obyek pembahasan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana metode penelitian dan pemahaman hadis?
2. Bagaimana kualitas sanad hadis tentang tarian dalam Musnad Imam Ahmad ?
3. Bagaimana pemahaman matan hadis tentang tarian ?

C. BATASAN MASALAH

Berdasarkan judul yang penulis angkat, dengan ini penulis akan hanya membahas tentang dua hadis yang dijadikan dalil oleh golongan pro-sufisme bagi berkaitan tarian dengan kata kunci yang dinyatakan di dalam bahasa arab sebagai dan melalui jalur kitab Musnad Imam Ahmad. Hal ini adalah karena ingin memudahkan penulis dan para pembaca untuk lebih fokus dalam menelusuri isi penting berkenaan bahasan hadis tentang tarian di dalam Musnad ini dan menggelakkan kesalahfahaman terhadap karya ilmiah ini. Tambahan pula, menurut temuan penelitian penulis, di antara kitab muktabar dalam bidang hadis (kutub asyarah) berkenaan tarian ini, hadis tarian yang mengandung kata-kata kunci tersebut berikut hanya satu-satunya terdapat di dalam kitab hadits melalui jalur kitab Musnad Imam Ahmad sahaja.

D. TUJUAN PENELITIAN

Berpondasikan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian penulis ialah ;
1. Untuk mengetahui metode penelitian dan pemahaman hadis ?
2. Untuk menjelaskan bagaimana kualitas sanad hadis tentang tarian dalam kitab Musnad Imam Ahmad ?
3. Untuk memahami berkaitan matan hadis tentang tarian ?

E. KEGUNAAN PENELITIAN

a) Sebagai platform wacana dalam perkembangan ilmu pengetahuan berkaitan hadis dan syarahnya.
b) Sebagai pedoman dalam memahami corak sebenar tentang proses penelitian hadis.
c) Sebagai bahan bacaan ilmiah, rujukan mahupun kritikan terbuka khusus kepada para mahasiswa, para peneliti, dosen dan kepada masyarakat umumnya melalui penghasilan karya ilmiah yang objektif.
d) Sebagai melengkapi pensyaratan guna untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di bawah jurusan Tafsir Hadits Fakultas Usuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

F. TINJAUAN PUSTAKA

Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam latar belakang masalah, penulisan ini justeru akan difokuskan pada kerangka pembahasan tentang “Validitas Hadis Tentang Tarian Yang Dijadikan Hujah Untuk Melegitimasi Tarian Sambil Berzikir.” Mayoritas dari skripsi yang penulis jumpai dan menelitinya, banyak yang membahas kerangka yang sama dengan penulis iaitu perihal takhrij hadits. Ada di antaranya sebagaimana hasil tulisan Mahasiswa Usuluddin bernama Zulfikar iaitu “Kredibilitas Sanad Hadis-Hadis dalam kitab I’anah Thalibin”( Studi Kritik Sanad Hadits-Hadits Dalam Bab Ba’i) yang mana di dalam tulisannya, mengutarakan hadis-hadis berkaitan jual beli lalu mengeluarkan rantaian perawinya dan meneliti setiap perawinya tetapi belum cukup mantap pada pandangan penulis karena rujukannya terhadap rijal hadits itu hanya sebatas beberapa buah kitab dan hasil penelitiannya tidak menggambarkan sebagaimana judulnya.

Begitu juga dengan karya ilmiah berjudul “Validitas Hadis Berkaitan Shalat Tasbih” oleh Mahasiswa Usuluddin bernama Zahidin, di dalamnya membahas tentang hadis-hadis seputar shalat sunat tasbih yang mana ganjaran bagi hadis shalat sunat tasbih solat sunat ini lebih banyak dan besar daripada ganjaran shalat sunat dhuha kegemaran Rasulullah SAW hingga menimbulkan minat mahasiswa tersebut untuk membahas lebih dalam.

Selain itu, skripsi berjudul “Studi Kualitas Sanad Hadis Tentang Keutamaan Shalat Dhuha dalam Kitab Sunan Abu Daud” oleh Muhammad Qamarul Hafiz bin Mohamad Adam yang membahas masalah-masalah seputar fadhilat serta ganjaran istimewa bagi mereka yang mengerjakan shalat dhuha secara rutin. Penulis skripsi itu juga men-takhrij hadis tentang keutamaan shalat dhuha tersebut yang mana bagi penulis, kritikan ilmiah terhadap skripsi ini ialah sama dengan yang kritik sebelumnya walaupun disisi lain terdapat unsur positif yang baik seperti penjelasan mahasiswanya tentang metodologi penelitian hadis amat menarik perhatian penulis.

Persamaan penulis dengan temuan pustaka ketiga-tiga skripsi tersebut hanya menyangkut hal takhrij hadis dari segi rantaian sanad. Adapun tulisan-tulisan ilmiah yang mengkaji tentang keabsahan atau kualitas hadis tentang zikir secara menari ini tidak penulis temui melainkan yang paling hampir dengan judul penulis yaitu skripsi berjudul “Ayat-Ayat Tentang Zikir dalam Tarekat Qadariah wan Naqsyahbandi” (Implimentasi Dalam Kehidupan Pengamal Tarekat Qadariah) oleh Sohibul Burhan, yang mana ianya menyangkut berkaitan zikir-zikir yang digunakan di dalam tarekat tersebut.
Namun penelitian tersebut bercorak lapangan dan tidak men-takhrij sanad sebagaimana tiga skripsi sebelumnya, umumnya lebih kepada tafsir. Oleh karena itu untuk melengkapkan proses pengumpulan data, penulis mencoba mengkaji beberapa buku lain untuk mengetahui lebih mendalam tentang permasalahan ini terutama buku-buku yang berkaitan dengan judul penulis iaitu “Validitas Hadis Tentang Tarian Yang Dijadikan Hujah Untuk Melegitimasi Tarian Sambil Berzikir.”

G. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian pustaka (Library Reasearh) dan secara kasar terbahagi kepada dua garis data ;

1. Data Primer dan Data Sekunder

a) Data Primer : Oleh karena penelitian ini menyangkut validitas hadis tentang tarian atau , maka tidak dapat tidak, mesti merujuk dari kitab asal yaitu Musnad Imam Ahmad. Ianya sebagai sumber utama dalam kajian ini. b) Data Sekunder : Untuk mengkaji rantaian sanad hadis dari segi perawinya, maka penulis membutuhkan kitab rijal hadits muktabar seperti Tahzibu Tahzib, Tahzibu al-Kamal, Mizanul I‟tidal, Lisanul Mizan, Jarh wa Ta‟dil dan kitab-kitab lain yang dirasakan perlu dan bermanfaat. Berkaitan kefahaman tentang hadis, penulis akan merujuk kitab syarah bagi hadits tentang tarian yang terdapat Musnad Imam Ahmad, kitab-kitab yang bersangkutan judul penelitian termasuk al-Quran dan tafsirnya, juga bahan jurnal dan sebagainya yang berkaitan antara satu sama lain.

2. Teknik Pengumpulan Data

Penulis berusaha memperoleh data dan fakta melalui penelitian terhadap dokumentasi atau lebih dikenal dengan penelitian kepustakaan (Library Research). Antara metode pengumpulan data termasuklah dengan cara membaca, menela‟ah, dan menganalisa patokan-patokan isi penting dari kitab-kitab berkaitan dengan masalah telah penulis rumuskan di rumusan masalah termasuk laman sesawang atau internet. Setelah itu, segala data yang diperoleh akan penulis memilah-milahkan sesuai kebutuhan penulis dan kesesuaian dan berkaitan dengan judul penelitian.

3. Analisa Data

Setelah selesai proses pengumpulan data, kesemua data tersebut akan dianalisa sesuai metode takhrij sebagai berikut ;

i. Melakukan I‟tibar.
ii. Meneliti Peribadi Periwayat dan Metode Periwayatannya.
a) Kaidah Keshahihan sanad sebagai acuan.
b) Segi-segi peribadi periwayat yang diteliti.
c) Sekitar jarh & ta‟dil terhadap para perawi.
d) Ittisal sanad yang diteliti.
e) Meneliti syuzuz dan illat.
iii. Menyimpulkan hasil penelitian sanad.
Dan untuk metode fahmil matan hadits, sekitar bentuk matan hadis dan cakupannya ;
i. Memperhati kualitas sanad.
ii. Mencermati susunan redaksional matan.
iii. Meneliti dan memahami substansi matan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk sistematika penulisan, maka penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab. Penelitian diawali dari Bab  yang membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab 11, membahas tentang latar belakang Imam Ahmad yang tentu juga menyangkut bahasan tentang riwayat hidup Imam Ahmad bin Hanbal, karya-karyanya, kualitas hadits dalam kitab Musnadnya, jumlah hadits dalam Musnad dan perhatian para ulama tentang kitab Musnad Imam Ahmad. Penulisan seterusnya akan diarahkan lebih kepada sebagai menjawab persoalan pertama didalam rumusan masalah yaitu menjelaskan berkenaan metodologi penelitian takhrij dan fahmil hadits.
Bab 111, Penulis akan memfokuskan pengkajian terhadap status kualitas sanad hadits berdasarkan jarh & ta‟dil para ulama muhaddisin terhadap para perawinya. Hal ini adalah sebagai menjawab persoalan kedua yang terdapat di dalam rumusan masalah.
Bab 1V, penulisan akan diarahkan kepada menjawab persoalan terakhir yaitu dengan menelusuri kefahaman hadis secara tekstual dan kontekstual berkenaan tarian itu pada bab berikutnya dari sudut pemikiran para alim ulama dan setelah menjelaskan pandangan mereka terhadap hadis tersebut, barulah penulis membuat kesimpulan ringkas terhadap kefahaman hadis yang sebenarnya dikehendaki berdasarkan hadis yang dijadikan dalil membenarkan zikir tarian tersebut.
Bab V, yaitu bab terakhir merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang kesimpulan penuh terhadap kualitas sanad, matan dan kefahaman sebenar dari kedua-dua hadis yang terdapat didalam kitab Musnad Imam Ahmad yang dijadikan dalil bagi melegitimasi zikir tarian, serta kata penutup bagi mengakhiri penelitian.

BAB II
GAMBARAN UMUM KITAB MUSNAD IMAM AHMAD

1. Biografi Ringkas Ahmad Ibnu Hanbal (164 H - 241 H)

Pengarang kitab ini bernama asli Imam Ahlus Sunnah, Abu 'Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin 'Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin 'Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa'labah bin 'Ukabah bin Sho'ab bin 'ali bin Bakr bin Wail bin Qasith bin Hind bin Afsha bin Du'ami bin Judailah bin Asad bin Rabi'ah bin Nazzar bin Ma'ad bin Adann Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi rahmatullah 'alaihi.

Imam Ahmad di dalam bidang ilmu fiqih dikenal sebagai salah satu imam mazhab yang empat yang terkenal dengan gelaran Imam Hambali. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi‟ul Awal tahun 164 Hijrah (750 M). Berdasarkan riwayat, tempat kediaman kedua ibu bapanya adalah di Marwin, wilayah Khurasan, tetapi sewaktu beliau masih di dalam kandungan, kedua ibu bapanya kebetulan mengunjungi Baghdad dan tiba-tiba ibunya melahirkan kandungannya sewaktu tempoh berkunjung ke Baghdad itu.13 Berkata Sholeh bin Al Imam Ahmad : “Saya telah mendengar ayah ku berkata : Saya dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah pada awal-awal bulan Rabi'ul Awwal. Ayah beliau meninggal sewaktu beliau masih kecil, dan beliau dibesarkan oleh ibunya.”

Dan ada pula yang menyebutkan beliau dilahirkan pada tahun 165 Hijriyah.
Imam Ahmad sangat mencintai hadis Nabi, sehingga beliau tidak segan-segan melakukan perjalanan-perjalanan jauh untuk mencari sebuah hadis. Beliau tidak memperdulikan penderitaan yang akan dialaminya dalam mencapai maksud tersebut. Di samping itu, ia sangat membenci orang-orang yang mengakui muslim tetapi perbuatannya banyak menyalahi sunnah Nabi. Ia tidak segan-segan menegur mereka.

Sebahagian besar pencarian ilmunya dilakukan di Baghdad. Ia selalu berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain untuk mencari riwayat, sehingga ia istimewa dalam pengetahuan tentang atsar sahabat dan tabi‟in, disertai kecermatannya yang prima dan kehatian-hatiannya yang sempurna. Ia mempunyai banyak karangan, diantaranya kitab al-Ilal, kitab az-Zuhd, kitab al-Asyribah, tafsir an-Nasikh wal Mansukh dan kitab Fadha‟il ash-Shahabah.

Justeru bermula di Kota Baghdad, beliau mulai mencurahkan perhatiannya untuk belajar dan mencari hadis secara maksimal, semenjak ia berumur 16 tahun (179 H). Ia menghafal lebih satu juta hadis sepanjang hidupnya. Ia juga salah seorang pelopor dalam sejarah Islam yang mengkombinasikan antara ilmu hadis dan fiqh. Namun kiranya belumlah cukup ilmu-ilmu yang didapatnya dari ulama-ulama Baghdad ini sehingga ia harus berkirim surat kepada ulama-ulama hadis di beberapa negeri, untuk kepentingan yang sama, yang kemudian diikuti dengan perantauannya ke Kota Mekkah, Madinah, Syam, Yaman, Bashrah dan lain-lain.

Ahmad bin Hanbal mendapatkan guru hadis kenamaan, antara lain : Sufyan ibnu Uyainah, Ibrahim ibnu Sa‟ad, Yahya ibnu Qathan. Adapun ulama-ulama besar yang pernah mengambil ilmu darinya antara lain, Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Abi ad-Dunya dan Ahmad bin ibnu Abi al-Harawimy. Ia sendiri adalah salah seorang murid juga sebagai guru as-Syafie yang paling setia, yang hampir tidak pernah berpisah dengan beliau ke manapun sang guru berpergian. Menurut riwayat Abdul Rahman bin Abu Hatim rahimahullah berkata ; “Aku mendengar ayahku berkata : „Ahmad bin Hanbal lebih besar dari Imam asy-Syafie rahimahullah karena Imam Syafie belajar lebih banyak hal mengenai hadis kepada Ahmad bin Hanbal.”

Salah satu keistimewaan Ahmad ibnu Hanbal, sebagaimana dikatakan Abu Zur‟ah, adalah bahwa beliau mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang semuanya sudah dikuasai di luar kepala. Imam Syafi‟e di saat meninggalkan Kota Baghdad menuju ke Mesir, memberikan pujian kepada beliau dengan kata-kata yang realis, “ Kutinggalkan Kota Baghdad dengan tidak meninggalkan apa-apa selain meninggalkan orang yang lebih bertaqwa dan lebih alim dalam ilmu fiqh yang tiada taranya yaitu, Ibnu Hanbal.” Sebagaimana halnya setiap orang itu tidak lepas daripada bencana, beliau juga demikian halnya. Ia dituduh bahwa dialah yang menjadi sumber pendapat bahwa al-Quran itu adalah makhluk, sehingga mengakibatkan penyiksaan dan harus meringkuk di penjara atas tindakan pemerintah di waktu itu.

Imam Ahmad berpulang ke rahmatullah pada hari Jumaat, 241 Hijrah (855 M) di Bahdad dan dikebumikan di Marwaz. Sebagian ulama menerangkan bahwa saat meninggalkannya, jenazahnya diantar oleh sekitar 800 000 orang laki-laki dan 60000 orang perempuan dan satu kejadian menakjubkan saat itu pula, 20 000 orang kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi telah memeluk agama Islam.

Makamnya paling banyak dikunjungi orang. Beliau meninggalkann dua orang putera, Shalih, menjabat qadhi di Isfahan (w.266 H), dan Abdullah (w.270 H) yang juga ikut menambahkan isi kitab Musnad tersebut.

2 . Kualitas Hadis Dalam Musnad

Kitab ini merupakan salah satu kitab hadis yang ditulis pada permulaan abad ketiga Hijrah. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, bahwa awal abad ketiga, memang sudah dimulai adanya usaha untuk membersihkan hadis-hadis dari fatwa-fatwa ulama yang tidak termasuk hadis. Namun demikian, masih juga ditemukan kelemahan, karena pada periode ini belum adanya usaha pemisahan antara hadis dha‟if dan hadis shahih. Termasuk masih terdapatnya hadis-hadis maudhu‟ yang disusupkan oleh golongan-golongan yang hendak merosakkan Islam. Lebih jauh periode ini juga belom dikenal kaidah-kaidah keshahihan hadis. Sedang kitab-kitab hadis shahih merupakan kitab-kitab yang disusun pada pertengahan abad ketiga Hijrah.

Menurut pendapat pelbagai ulama, memang dalam kitab Musnad Ahmad terdapat hadis-hadis yang tidak saja shahih, hasan bahkan dha‟if. Lebih jauh bahkan terdapat muhaddisin yakni para ulama hadis yang menghukumi beberapa hadisnya sebagai hadis yang mau‟dhu yaitu hadis yang diada-adakan terhadap Nabi SAW baik berupa perkataan,perbuatan, penetapan maupun lain-lainnya dengan sengaja. Walaupun demikian al-Hafidz Ibnu Hajar telah menyusun sebuah kitab dengan nama ; al-Qaul al-Musaddad fi al-Dzabbi‟an al-Musnad. Kitab ini berisikan pembuktian tidak dipalsukannya hadis-hadis yang menurut ulama hadits merupakan maudhu‟. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa umumnya hadis-hadis tersebut baik dan tidak ada satu pun hadis yang dapat dipastikan sebagai hadits maudhu‟ kecuali beberapa orang meski ada kemungkinan kuat untuk membantahnya.

Abu Musa al-Madiny meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa seseorang pernah mengajukan pertanyaan kepadanya tentang hadis. Ia memberikan jawaban : “ Perhatikanlah hadis tersebut apakah terdapat dalam Musnad, jika tidak terdapat maka tidak dapat dijadikan hujah”. Dengan perkataan tersebut menjurus kepada pemahaman bahwa Imam Ahmad meyakini sendiri tentang kualitas yang baik terhadap hadis yang terdapat di dalam kitabnya. Walaupun demikian, bukan berarti dengan komentar beliau itu menggeser kepopuleran dua kitab bergelar Shahihain. (Kitab Shahih Bukhari dan Kitab Shahih Muslim).

Setelah para ulama meneliti Kitab Musnad dengan cara membandingkan dengan kitab-kitab hadis yang telah ada, mereka mempunyai beberapa kelompok yang berlainan pendirian tentang kehujahan hadis yang terdapat dalam kitab ini. Para ulama tergolong kepada tiga pendapat dalam menilai hadis-hadis Musnad Imam Ahmad : Pertama, segala hadis yang terdapat didalamnya dapat dijadikan hujah. Pendirian ini berdasarkan pada perkataan Imam Ahmad sendiri sewaktu ditanyakan kepadanya tentang nilai suatu hadis, yaitu : “ Lihatlah, apakah hadis tersebut ada di dalam Musnad, jika tidak ada dalam Musnad, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujah”.

Kedua, di dalam Musnad terdapat hadis yang shahih dan ada yang dha‟if dan ada yang maudhu‟. Ibnu al-Jauzy menerangkan di dalam kitab Musnad ada 29 buah hadits maudhu‟. Kemudian al-Iraqy menambah 9 buah lagi. Al-Iraqy berkata : “ Adanya hadis dha‟if di dalam al-Musnad adalah suatu hal yang dapat dipastikan, bahkan di dalamnya ada hadis maudhu‟ yang telah dikumpul dalam suatu juz. Abdullah putera Ahmad telah menambah beberapa tambahan yang di dalamnya ada hadis yang dha‟if dan ada yang maudhu‟”.

Ketiga, di dalam al-Musnad terdapat hadis shahih, hadis dha‟if yang mendekati hasan. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama seperti az-Zahabi, Ibnu Hajar al-Asqalany, Ibnu Taimiyyah dan as-Suyuti.

Berdasarkan tiga pendapat yang disebutkan, dapat disimpulkan bahwa tidak ada khilaf tentang nilai-nilai hadis yang terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad. Orang yang mengatakan bahwa sebagian hadisnya dha‟if adalah dengan melihat tambahan-tambahan yang ditambahkan oleh Abu Bakar al-Qathi‟iy dan Abdullah ibnu Ahmad. Orang yang mengatakan bahwa semua hadis menjadi hujah tidak berlawanan dengan pendapat yang mengatakan bahwa di dalamnya terdapat hadis dha‟if, karena hadis dha‟if yang berkisar antara hasan lizatihi yakni sebagaimana yang telah dijelaskan didalam definisi hadis hasan tadi dan hasan lighairihi yaitu hadis yang padanya sanad itu tidak sunyi dari orang yang tidak dikenal peri keadaannya atau buruk hafalannya dan sesamanya, akan tetapi disyaratkan tiga syarat, yang pertama tidak banyak lupa dan sedikit salahnya, kedua bukan orang fasiq yakni mereka yang melakukan dosa besar, ketiga hadisnya diketahui ada satu atau beberapa sanad lain yang meriwayatkannya dan benar-benar serupa dalam lafaz dan maknanya dengan hadis pertama atau serupa dalam maknanya saja,21 di dalam musnad dapat dijadikan hujah.

3 . Jumlah Hadis Dalam Musnad

Musnad Ahmad adalah suatu kitab yang melengkapi dan menghimpunkan kitab-kitab hadis yang selainnya suatu kitab yang dapat memenuhi segala yang diperlukan oleh seorang Muslim dalam urusan agama dan dunianya.

Ahmad menempuh jalan yang sudah ditempuh oleh ulama-ulama semasanya,yakni menyusun hadis secara Musnad. Metode ini, walaupun tidak sesuai dengan masa sekarang, adalah jalan yang mudah ditempuh oleh ulama-ulama abad ke-3 yang besar perhatian mereka untuk menghafal suatu surat dari al-Quran. Musnad Ahmad melengkapi 40 000 hadis dengan berulang, 30 000 hadis dengan tidak berulang-ulang. Namun demikian masih ada juga hadis yang tidak ditampung oleh al-Musnad itu.
Musnad yang kita temui sekarang bukanlah semua dari riwayat Ahmad sendiri, tetapi sebahagian isinya adalah tambahan-tambahan yang ditambahkan oleh putra Ahmad yang bernama Abdullah dan yang ditambah oleh Abu Bakar al-Qathi‟iy. Putra Ahmad telah menambahkan ke dalam Musnad Ahmad kira-kira 10 000 hadis. Selain itu, sebagaimana Ja‟afar al-Qathi‟iy yang meriwayatkan Musnad Ahmad dari Ahmad putra Abdullah memasukkan beberapa tambahan. Abdullah merupakan orang yang bertanggungjawab menertibkan Musnad ayahnya, lalu terjadilah kesalahan-kesalahan dalam pentahqiqan itu. Sedangkan Ahmad sendiri meninggal sebelum sempat meneliti kembali apa yang dilakukan oleh putranya itu.

4 . Perhatian Ulama Terhadap Musnad Ahmad

Cukup banyak ulama memberikan perhatian terhadap kitab al-Musnad. Perhatian tersebut terdiri dari berbagai bentuk, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka masing-masing. Di antara mereka yang mengumpulkan lafaz-lafaz yang gharib yang terdapat di dalamnya dan memaknakannya. Di antara yang berbuat demikian antara lain Ghulam ibn Tsa‟lab (w.345 H). Ada yang meringkaskannya, yaitu Ibnu Mulaqqin asy-Syafi‟iy (w.804 H). Kemudian ada yang mensyarahkannya, yaitu as-Siddiy (w.1199 H).

Akhir-akhir ini al-Musnad telah diterbitkan berdasarkan bab-bab fiqh yang disusun oleh Ahmad bin Abdul Rahman bin Muhammad al-Banna yang terkenal dengan as-Sa‟aty, yang selesai dikerjakan pada tahun 1351 H, dan dijadikan tujuh bahagian. Kitab ini dinamakan al-Fathur Rabbany. Kitab ini disyarahkan dalam suatu kitab yang lain yang dinamakan dengan Bulughul Amanie.

Selain itu, sebagai suatu manifestasi besarnya perhatian ulama terhadap Musnad Ahmad adalah kita temukan kitab-kitab yang menertibkan kitab ini dalam berbagai versi. Usaha tersebut dilakukan agar para peminat hadis lebih mudah mendapatkan hadis sesuai dengan perkembangan zaman. Di antara mereka adalah al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Abdullah al-Maqdisi al-Hanbaly yang telah menertibkan kandungan kitab Musnad berdasarkan huruf abjad.

Di samping itu, usaha yang sangat besar dilakukan oleh al-Muhaddis Ahmad Muhammad Syakir. Beliau mentakhrijkan hadis Musnad dan menomorinya serta membuat fihris untuk maudhu‟-maudhu‟nya. Namun hal yang sangat disayangkan, beliau meninggal sebelum sempat menyempurnakan usaha tersebut. Adapun hasil yang telah berhasil dilakukan telah dicetak sebanyak 15 juz yang isinya mendekati sepertiga dari Musnad Ahmad. Jumlah hadis yang telah dicetak dalam kitab hadis tahqiqan Muhammad Syakir ini berjumlah 8099 hadis.

Dalam abad ke-14 H seorang ulama yang terkenal juga telah mengambil bagian dalam memberi perhatian kepada kitab Musnad yang bernama Syeikh Ahmad bin Abdur Rahmanal-Banna yang terkenal dengan nama as-Saaty. Beliau telah menertibkan kitab Musnad Ahmad menurut bab fiqh dan mensyarahkankan hadis-hadisnya yang dianggap perlu disyarahkan, serta mentahqiqkan hadis-hadisnya dengan mengisyaratkan pula kepada tambahan-tambahan yang dilakukan oleh Abdullah bin Ahmad. Kitab ini diberi nama “al-Dathur Rabbani li Tartibi Musnad ibn Hanbal as-Syaibani” yang terdiri dari tujuh bahagian besar. Perhatian para ulama hadis dalam berbagai cara yang diperlihatkan tersebut mengindikasikan besarnya perhatian mereka terhadap kitab Musnad Imam Ahmad. Sejarah telah membuktikan bahwa Imam Ahmad merupakan salah satu imam hadis yang telah memberi sumbangan yang cukup besar dalam usaha melestarikan dan menjaga kemurnian hadis. Ketenaran Imam Ahmad pada sisi yang lain sebagai salah satu imam mazhab yang empat dalam bidang fiqh Islam yang dikenal dengan nama Imam Hanbaly atau dengan Mazhab Hanbaly.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab Musnad Ahmad merupakan kitab Musnad paling terkenal di antara kitab-kitab hadis lainnya yang muncul pada akhir abad kedua awal abad ketiga, dimana pada awal abad ini juga munculnya usaha pemilahan antara hadis dha‟if dan hadis shahih, termasuk masih terdapat juga hadis-hadis maudhu‟, di samping belum dikenal kaidah-kaidah keshahihan hadis.

Kitab Musnad Ahmad memiliki keunggulan yang lebih tinggi dari berbagai seginya. Keunggulan tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah mulai dipraktekkan oleh ulama-ulama hadis pada masa tersebut. Pada masa setelahnya, muncul berbagai ulama hadis yang lebih memperketatkan lagi penyaringan hadis, seperti yang dipraktekkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lainnya. Demikian perbahasan tentang kitab hadis Imam Ahmad ibnu Hanbal. Dari uraian tersebut dapat dipetik berbagai nuansa dan kualitasnya. Corak-corak penulisan kitab hadis sangat dipengaruhi oleh setting sosial suatu masyarakat di mana seorang tokoh akan memanfaatkan waktu yang terbaik, misalnya Ahmad dengan ciri abad kedua, ia telah menciptakan sebuah karya terbaik untuk saat tersebut. Semoga jasa-jasa mereka mendapat balasan dari Allah.

B. METODOLOGI PENELITIAN HADIS

1. Definisi Metodologi Penelitian Hadis

Setelah al-Quran, sumber rujukan kedua terpenting bagi umat Islam adalah sunnah, hadis atau khabar oleh Junjungan Besar Nabi Muhammad SAW. sendiri yang mana meliputi keseluruhan perbuatan percakapan dan pengakuan baginda nabi sepanjang beliau menjadi rasul sehingga wafat baginda nabi.
Secara etimologi, hadits merangkumi tiga arti,pertama berarti baru (jadid) lawan dari yang lama (qadim). Bentuk jama‟nya adalah hidats,hudatsa, huduts. Kedua kata hadits berarti yang dekat (qarib) lawan bagi yang jauh (ba‟id). Dan yang ketiga, hadits berarti berita (khabar), iaitu sesuatu yang dibicarakan atau dipindahkan dari seseorang. Justeru, inilah pemaknaan asal dari kata hadis Rasulullah SAW.
Hadis yang bermaksud berita ini dihubungkan, dengan kata tahdits yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti mengabarkan.27 Dalam al-Quran terdapat ayat yang menggunakan kata hadits yang berarti khabar sebagaimana tersebut ;

34. Maka cobalah mereka yang semisalnya dengannya jika mereka adalah orang-orang yang benar.(Q.S. al-Thur :34)28

Adapun menurut pengertian ahli hadis, hadits itu sendiri berarti apa sahaja yang disandarkan kepada beliau baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan mahupun sifat-sifat beliau.29 Syeikh Manna‟ al-Qathan juga telah menukilkan dengan lebih lengkap pengertian hadits menurut ahli hadis dan ulama usul fiqh , yaitu bagi ulama ahli hadis, hadits berarti apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.30Bagi ulama usul fiqh pula, hadis berarti perkataan, perbuatan dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian. Jadi penyatuan dari hal ini dapat kita huraikan bahawa walaupun berbeda di sudut istilah,tetapi tetap juga ada posisi yang bersamaan di antara para alim ulama ini.

Juga tambahan definisi hadis menurut Prof. Dr. M.M. Azami, yang mana dia mengutipnya dari Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab Tadrib ar-Rawi, iaitu hadis itu bukan sahaja sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama hadis di atas, bahkan turut mencakup perkataan, pekerjaan dan ketetapan sahabat dan tabi‟in.31 Berdasarkan penjelasan di atas, secara umumnya penulis lebih cenderung kepada definisi ulama ahli hadis yaitu yang dimaksudkan dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.32 Justeru, hadits dari baginda nabi itu sendiri menjadi pondasi yang penting dalam agama ini. Bahkan penelitian tentang hadis nabi amat diperlukan.

Menurut Profesor Dr. Sugiyono, metode penelitian secara definisi ialah merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan M. Nazir menjelaskan bahwa penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris, research. Justeru, metode penelitian hadis dapat didefinisikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadis sebagai sumber hukum islam untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadis dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadis tersebut.

2. Metode Takhrij Hadis

Menurut Syaikh Manna al-Qaththan, terdapat empat dasar metode takhrij yang mana penulis ringkaskan sebagai berikut ;

a) Metode pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadis dari sahabat. Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadis yaitu ;

i. Al-Masanid ( musnad-musnad ) : Dalam kitab ini dinyatakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut di dalam kitab al-masanaid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.

ii. Al-Ma‟ajim ( mu‟jam-mu‟jam ) : Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh ( guru-guru ) atau bangsa ( tempat tinggal ) sesuai kamus ( hijaiyah ). Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya.

iii. Kitab-kitab al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap.

b) Metode kedua, takhrij dengan cara mengetahui permulaan lafaz dari hadis. Cara ini dapat dibantu dengan :

i. Kitab-kitab yang berisi hadis-hadis yang dikenal oleh orang banyak, misalnya ; “Ad-Durar al-Muntatsirah fil Ahaditsi al-Musytaharah” karya Suyuti, “Al-Laali al-Mantsurah fi al-Ahadits al-Masyhurah” karya Ibnu Hajar, “Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayaani Katsiirin min al-Ahadits al-Musytahirah „alal alsinah” karya As-Sakhawy, “Tamyiizu at-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru „ala Alsinati An-Nas min al-Hadits” karya Ibnu Ad Dabi‟ Asy-Syaibany, “Kasyful Khafa‟ wa Muziilu al-Ilbas „amma Isytahara min al-Ahadits „ala Alsinati an-Nas” karya al-„Ajluni.36
ii. Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya : “al-Jami‟u Ash-Shaghir min Ahadits al-Basyir an-Nadzir” karya as-Suyuti.
iii. Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya : “Miftah Ash-Shahihain” karangan at-Tauqadi, “Miftah at-Tartibi li Ahadits Tarikh al-Khatib” karya Sayyid Ahmad al-Ghumari, “Al-Bughiyah fi Tartibi Ahadits al-Khilyah” karya Sayyid Abdul Aziz al-Ghumari, “Fihris li Tartibi Ahadits Shahih Muslim” karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, “Miftah Muwattha‟ Malik” karya Muhammad Fuad Abdul Baqi.
c) Metode ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadis. Metode ini dapat dibantu dengan kitab “al-Mu‟jam al-Mufahras li
36 Ibid hlm 192.
25
Alfaadzi al-Hadits an-Nabawi”, berisi sembilan kitab hadis yang paling terkenal, yaitu, Kutubuss Sittah, Muwattha‟ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis, DR. Vensick ( wafat 1939 M ), guru bahasa Arab di Universiti Leiden, Belanda dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkan kitab ini Muhammad Fuad Abdul Baqi‟.37
d) Metode keempat, takhrij dengan cara mengetahui topik perbahasan hadis. Jika telah diketahui topik dan obyek pembahasan hadis, maka bisa dibantu dalam takhrijnya dengan karya-karya hadis yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab “Miftah Kunuz As-Sunnah” yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Disusun oleh seorang orientalis berbangsa Belanda, DR. Arinjan Vensick. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 buah kitab hadits yang mahsyur, yaitu :
i. Shahih Bukhari
ii. Shahih Muslim
iii. Sunan Nasa‟i
iv. Sunan Abu Dawud
v. Jami‟ Tirmizi
vi. Sunan Ibnu Majah
vii. Muwattha‟ Malik
viii. Musnad Ahmad
ix. Musnad Abu Dawud ath-Thayalisi
x. Sunan ad-Darimi
xi. Musnad Zaid bin Ali
xii. Sirah Ibnu Hisyam
xiii. Maghazi al-Waqidi
37 Ibid hlm 192.
26
xiv. Thabaqat Ibnu Sa‟ad38
Manakala Abdul Wahid39 pula menawarkan metode yang hampir serupa tetapi agak terperinci. Bahkan antara sarjana ilmuan yang turut bersependapat dengan Abdul Wahid ialah Abu Muhammad „Abd al-Muhdi dan Mahmud al-Thahhan.40 Terdapat lima metode yang ditempuh untuk takhrij menurut beliau yaitu ;
a) Takhrij menurut lafaz pertama hadis : Metode ini terletak pada kata-kata yang pertama sekali terdapat di dalam matan hadis, bukan kata-kata pertama yang terdapat dalam sanad hadit. Bila menggunakan kitab takhrij jenis ini diperlukan agar terlebih dahulu dapat dimengertikan permulaan matan suatu hadis. Antara kitab yang menggunakan metode ini ialah, Kitabal Jami‟ as-Saghir, Kitab Faid al-Qadir, Kitab Faid al-Kabir dan lain-lain.
b) Takhrij menurut kata-kata dalam matan : Metode takhrij kedua ini adalah dengan cara menebak salah satu lafaz dalam suatu hadis, apakah terletak di awal, pertengahan atau akhir. Kunci kemudahan dalam menebak untuk kitab takhrij jenis ini ialah dengan memperkirakan kata-kata yang dianggap paling langka atau tidak terlalu sering digunakan. Apabila menggunakan kata-kata yang kurang tepat maka sangat sulit mencapai kepada tujuan hadits yang dituju. Antara kitab yang menggunakan metode ini ialah Mu‟jam al-Mufahras.
c) Takhrij melalui perawi hadits pertama : Metode ketiga ini bertumpu kepada sanad hadis yang meriwayatkan hadis tersebut dari kalangan sahabat sebagai perawi pertama. Dengan kata lain, untuk mencari suatu hadis untuk kitab takhrij seperti ini, perlulah mengetahui siapakah perawi
38 Ibid hlm 193.
39 Abd.Wahid, Khazanah Kitab Hadits,( Metode, Sejarah dan Karya-Karya ), (Yogyakarta : Ar-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh, 2008 ), hlm 115.
40 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi (Ciputat : Penerbit MSCC,2004), hlm 69.
27
pertama ( thabaqat sahabat ). Adapun kitab takhrij yang menggunapakai metode ini terbagi pula kepada dua yaitu athraf dan musnad. Kitab-kitab athraf ialah Tuhfah al-Asyraf, Al-Nukat al-Ziraf, Zakair al-Mawarits dan lain-lain. Sedangkan kitab jenis musnad seperti Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal.
d) Takhrij menurut tema hadis : Metode keempat ini banyak sekali jumlahnya, sesuai bidang kajian kitab tersebut. Namun terdapat juga kitab takhrij jenis ini yang ditujukan untuk kitab-kitab tertentu misalnya kutub as-sittah saja, bahkan adapula yang tidak membatasinya. Dari segi materi hadis juga dapat dibagikan kepada bidang-bidang seperti bidang hukum, bidang fiqh, bidang targhib wa tarhib, bidang tafsir, bidang sejarah dan sebagainya.41
e) Takhrij berdasarkan status hadis : Metode kelima ini dimaksudkan untuk memudahkan mencari hadis berdasarkan status suatu hadis. Status yang dimaksudkan disini dilihat dari sifat atau jenis hadis yang ingin dicari seperti hadits qudsi, hadis-hadis yang sudah mahsyur, hadis-hadis mursal dan sebagainya. Dengan menggunakan metode ini dapat memudahkan proses takhrij. Hal ini dimungkinkan, karena sebagian besar hadis yang dimuatkan dalm kitab-kitab jenis ini sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit. Namun metode ini cakupannya sangat terbatas karena sedikitnya hadis-hadis yang dimuatkan. Antara kitab yang menggunakan metode seperti ini ialah, Kitab Tanzih Syari‟ah karangan Ibn “Iraqi, Kitab Masnu‟ karya al-Qari, Maqasid al-Hasanah karya Imam Sakhawi dan lain-lain kitab.42
41 Abd.Wahid, Khazanah Kitab Hadits,( Metode, Sejarah dan Karya-Karya ), (Yogyakarta : Ar-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh, 2008 ), hlm 116.
42 Ibid hlm 116.
28
Prof.Dr.M. Syuhudi Ismail pula telah merumuskan metode takhrij menjadi dua bagian yaitu metode takhrijul hadits bil lafzh dan metode takhrijul hadits bil maudhu‟.43 Adapun huraian kedua-duanya sebagai berikut ;
a) Metode takhrijul hadits bil lafzh : Adakalanya hadis yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja dari matannya. Bila demikian, maka takhrij melalui penelusuran lafaz matan lebih mudah dilakukan. Apabila hadis tersebut akan diteliti, maka seluruh riwayat hadis dikutip secara cermat, baik sanad mahupun matannya. Susunan kalimat pada matan memang terdapat perbedaan, namun maknanya sama. Hal itu wajar terjadi sebab dalam periwayatan hadis, mungkin saja berlaku periwayatan hadis secara makna. Dan seluruh riwayat yang dikutip secara lengkap dan dilakukan penelitian kualitas sanad hadis terhadap hadis-hadis yang bersangkutan.
b) Metode takhrijul hadis bil maudhu’ : Mungkin saja, hadis yang akan diteliti tidak terikat pada bunyi lafaz matan hadis, tetapi berdasarkan topik masalah. Misalnya, topik masalah yang akan diteliti adalah hadis tentang kawin kontrak atau nikah mut‟ah. Maka untuk menelusurinya, diperlukan bantuan kitab kamus ataupun semacam kamus yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai riwayat hadis tentang topik tersebut. Antara kitab atau kamus yang sesuai ialah Miftah Kunuz as-Sunnah karya Dr.A.J.Wensick dan Munthakhab Kanzil „Ummal susunan Ali bin Hisam ad-Din al-Mutqi. Apabila seluruh hadis yang berkenaan dengan topik nikah mut‟ah itu akan diteliti, maka terlebih dahulu seluruh riwayatnya harus dikutip dengan cermat, baik sanad mahupun matan. Untuk melengkapi bahan penelitian, berbagai matan yang telah dikutip itu dapat dilakukan takhrij melalui lafaz.44
43 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,(Jakarta : Bulan Bintang,2007), hlm 44-46.
44 Ibid hlm 47-48.
29
Penulis pula berpandangan bahwa metode yang sesuai diaplikasikan di antara kesemua metode yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni penulis lebih cenderung kepada metode takhrij dengan menggunakan kata-kata atau lafaz-lafaz tertentu di dalam matan hadis yang jarang digunakan karena ianya lebih memudahkan pencarian mengenai hadis yang bersangkutan.
3. Langkah-langkah Kegiatan Penelitian Sanad dan Fahmil Hadits
Sebenarnya penelusuran dan pengkajian hadis atau lebih dikenal dengan takhrij al-hadits lalu mengarahkan kajian tersebut kepada sumber aslinya adalah sesuatu yang tidak gampang, sebagaimana penelitian terhadap ayat-ayat al-Quran. Penelitian terhadap ayat-ayat al-Quran sebenarnya cukup diperlukan sebuah kitab kamus al-Quran, misalnya Mu‟jam Mufahras li Alfazh Qur‟an al-Karim, sedangkan penelusuran terhadap hadis-hadis nabi tidak cukup hanya menggunakan sebuah kamus karena hadits nabi sendiri terhimpun dalam banyak kitab hadis dengan metode penyusunannya yang beragam.45
Dengan dimuatnya hadis nabi dalam berbagai kitab hadis, maka sampai saat ini, masih belum ada sebuah kamus yang mampu memberi petunjuk untuk mencari hadis yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada, bahkan terbatas pada sebagian hadis saja. Walaupun begitu, hadis nabi sebenarnya dapat juga ditelusuri karena para ulama hadis telah berusaha menyusun kitab-kitab kamus dengan metode yang beragam bagi memenuhi keperluan ini.
Antara langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian sanad hadis ini adalah sebagai berikut ;
i. Melakukan i‟tibar.
ii. Meneliti peribadi periwayat dan metode periwayatannya.
a) Kaidah Keshahihan sanad sebagai acuan.
b) Segi-segi peribadi periwayat yang diteliti.
45 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi (Ciputat : Penerbit MSCC,2004), hlm 69-70.
30
c) Sekitar al-jarh wat-ta‟dil.
d) Persambungan sanad yang diteliti.
e) Meneliti syuzuz dan illat.
f) Menyimpulkan hasil penelitian sanad.46
Dan untuk metode fahmil matan hadis, sekitar bentuk matan hadis dan cakupannya ;
i. Memperhati kualitas sanad : Ulama hadis menganggap penting di mana kajian dalam memahami matan hadis dilakukan setelah sanad bagi matan itu telah diketahui kualitasnya. Kajian dalam memahami matan dilakukan terhadap sanad yang berkualitas shahih, atau minimal dha‟if-nya tidak parah. Tegasnya, matan yang sanadnya sangat dha‟if tidak perlu dikaji sebab resultannya tidak akan memberi manfaat bagi kehujahan hadits yang diteliti.
ii. Mencermati susunan redaksional matan : Tidak jarang diketemukan perbedaan redaksi matan hadis yang memiliki kesamaan arti. Hal ini terjadi akibat toleransi al-riwayah bi al-ma‟na, rawi lupa atau misi konsepsi terhadap riwayat yang diterima dari gurunya. Menurut para ahli hadis, perbedaan redaksional yang tidak mengakibatkan perbedaan arti, asalkan sanadnya sama-sama shahih dapat ditoleransi. Dalam kasus seperti ini, mekanisme kajian yang dilakukan dengan melakukan komparasi sekian matan yang memiliki kesamaan substansi. Sehingga dapat diketahui mana antara sekian matan hadis itu pantas dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, mekanisme komparasi semacam ini dapat mengungkap kejanggalan matan, antara lain, al-idraj, al-qalb, at-tashif wa tahrif, az-ziyadah dan sebagainya.
iii. Meneliti dan memahami substansi matan : Dalam meneliti dan memahami kandungan matan hadis, realitasnya diketemukan keragaman
46 Ibid hlm 69-100.
31
acuan pendekatan, ada yang disepakati dan ada yang menyisakan polemik di antara ulama hadis. Acuan yang disepakati sebagai pendekatan dalam memahami maksud matan hadis ada dua yaitu al-Quran dan sunnah. Sementara acuan dalam memahami substansi matan hadis yang sampai sekarang masih menjadi polemik di antara ulama antara lain, yang pertama akal (logika), fakta historis, pokok-pokok ajaran Islam, ijma‟(konsensus ulama), qiyas(analogi), perilaku sahabat dan lain-lain. 47
47 .Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis,( Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014), hlm 20-21.
32
BAB III
HASIL PENELITIAN SANAD HADIS
a) Definisi I’tibar
Kata al-i‟tibar merupakan masdar dari kata arab, i‟tabiru. Menurut bahasa, arti al-i‟tibar adalah peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang sejenis.
Menurut istilah ilmu hadis, al-i‟tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk sesuatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui bahwa apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad48 dari hadis yang dimaksudkan.49
Dengan dilakukan al-i‟tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-i‟tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung berupa periwayat yang berstatus syahid atau mutabi‟. Yang dimaksudkan dengan mutabi ialah periwayat yang berstatus sebagai pendukung pada periwayat yang bukan sahabat nabi. Pengertian syawahid pula adalah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat nabi.
48 Sanad Hadis : Sanad ialah jalan yang menyampaikan kepada matan. Definisi sanad menurut Drs. Fatchur Rahman ialah jalan yang dapat menghubungkan matnul hadits kepada junjungan nabi kita Muhammad SAW.Rujuk : Hassan Mas‟udi, Minhatul Mughtitss Fi Ilmi Mustholah Hadits Diterjemah oleh Labib Mz & MA.Asyharie, Ilmu Mustholah Hadits (Penerbit Bintang Usaha Jaya, Surabaya Cetakan Pertama 2002), hlm 26 dan Drs Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadits,(Bandung : PT al-Ma‟arif,1978) , hlm 24.
49 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,(Jakarta : Bulan Bintang,2007) , hlm 49-50.
33
Berikut adalah matan50 hadis dari penelitian penulis serta skema sanadnya. Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Aswad bin „Amir : Telah mengkhabarkan kepada kami Isra‟el, dari Abu Ishaq, dari Hani‟ bin Hani‟, dari „Ali r.a, ia berkata : Aku, Ja‟far, dan Zaid mendatangi Nabi s.a.w., Beliau berkata kepada Zaid : “Engkau adalah maulaku”. Lalu Zaid pun melompat-lompat karena gembira. Beliau berkata kepada Ja‟far : “Engkau mirip denganku dan akhlaqku”. Maka ia (Ja‟far) pun melompat-lompat di belakang Zaid. Dan beliau s.a.w. berkata kepadaku : “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu”. Lalu aku pun melompat-lompat di belakang Ja‟far.”51
50 Matan Hadis : Matan menurut pengertian al-Hafidz Syeikh Hassan Mas‟udi ialah bunyi suatu hadis yang menjadi hujung penghabisan sanad, manakala menurut Drs. Fatchur Rahman, matnul hadits bermaksud pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di-over oleh sanad terakhir, baik hadis pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW, sahabat atau tabi‟in, baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan nabi mahupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh nabi. Rujuk : Hassan Mas‟udi, Minhatul Mughtitss Fi Ilmi Mustholah Hadits Diterjemah oleh Labib Mz & MA.Asyharie, Ilmu Mustholah Hadits (Penerbit Bintang Usaha Jaya, Surabaya, 2002) , hlm 26 dan Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadits,(Bandung : PT al-Ma‟arif,1978), hlm 23. 51 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, di tahqiq oleh Shuaib Arnout, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 1/108 hadits nomor 857, hlm 213.
34
Skema Sanad Hadis dari jalur Musnad Imam Ahmad
35
b) Penelitian Sanad Hadis Pertama
1. Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib bernama lengkap Ali bin Abi Talib bin Abdul Mutalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusaiy bin Kilab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhir bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhhar bin Nazar bin Ma‟dan bin Adnan.52 Keturunannya berasal dari bani Hasyim dan beliau juga merupakan sepupu dan menantu Rasulullah. Ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hashim bin Abdul Manaf al-Hasyimiah. Ali bin Abi Thalib dilahirkan di dalam Kaabah di Mekah pada tahun 601 M, yaitu 10 tahun sebelum Rasulullah diutuskan menjadi Rasul. Kunyah beliau adalah Abu al-Hassan atau Abu Turab. Beliau mendapat gelaran “Karramallahu Wajhah,” yang bermaksud orang yang dimuliakan Allah wajahnya, karena tidak pernah menyembah berhala sejak lahir. Beliau termasuk di kalangan sahabat nabi bahkan tergolong dalam senarai sahabat muhajirin.53 Dilantik menjadi khalifah Islam yang keempat selepas Saidina Uthman pada tahun 35 H atau 655 M.54 Beliau memerintah selama 4 tahun sahaja. Wafat di Kufah pada 17 Ramadan tahun 41 H karena dibunuh oleh Abdul Rahman bin Muljam dan dikebumikan di Madinah.
Guru beliau sudah pastilah baginda Nabi Muhammad SAW sedangkan mereka yang meriwayatkan hadis dari beliau pula adalah ; Abu Bakar, Umar, anaknya Hasan dan Husain, Muhammad, Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, sebagian besar daripada kalangan sahabat, Qais bin Abi Hazam, Alqamah bin Qais, Abidah as-Salmani, Masruq, Abu Raja„ al-Uttharadi dan banyak lagi dari kalangan tabi‟in.
Di antara ulama yang berkomentar terhadap periwayat ini adalah tiada ulama yang berkomentar terhadap beliau. Beliau adalah daripada kalangan sahabat, maka secara
52 Ali bin Muhammad bin Muhammad as-Salabi, Sirah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, ( Penerbit : http//sallaby.com : 2005 ), Juzuk ke-1, hlm 26.
53 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Bab Si‟yar Khulafa ar-Rasyidin, hlm 225. 54 razzyy.com/Nota/Saidina Ali. Dilawati pada tanggal 29 Oktober 2014, Jam 3:32 pm.
36
tidak langsung keadilan ke-tsiqah-an dan ke-dhobit-an beliau tidak lagi menjadi keraguan.55 Penulis mengambil pandangan Imam Khatib al-Baghdadi, yakni soal keadilan para sahabat tidak perlu lagi dipersoalkan karena telah pun dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah Ali-Imran ayat 110.56
Jumhur ulama juga berpendapat bahwa seluruh sahabat itu adalah „adil kesemuanya, tidak kira apakah mereka terlibat dengan fitnah pembunuhan atau tidak.57 Semuanya dianggap „adil tanpa kecuali. Keadilan yang dimaksudkan ialah keadilan dari sudut periwayatan hadis dan bukannya keadilan dalam soal persaksian. Namun sebagian dari para ulama berpendapat bahwa penilaian ke atas para sahabat nabi itu tidak berbeda dengan keadaan orang lain bahkan di anggap ada di kalangan sahabat yang „adil dan ada sahabat yang tidak „adil. Golongan Muktazilah berpandangan bahwa seluruh sahabat itu „adil melainkan mereka yang terlibat pada pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.
Imam Nawawi telah mempertegaskan bahwa pendapat jumhur itu menjadi ijma‟ maka oleh karena itu, pendapat yang mengharuskan penelitian ke atas para sahabat atau pendapat golongan yang membedakan status seseorang sahabat dengan sahabat lainnya yang berkait dengan fitnah pembunuhan tidak perlu diberi perhatian malah ditinggalkan lebih baik.58
Jika ditelusuri dari pertemuan antara guru yaitu Rasulullah s.a.w, dengan anak muridnya yakni Ali bin Abi Thalib, maka jelaslah mereka berdua telah bertemu dan sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadis ini adalah „an‟.59 Dengan itu dapatlah dikatakan bahwa periwayatan ini adalah muttasil (bersambung).
55 Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 79.
56 Al-Khatib al-Bahgdadi, Kitab al-Kifayah,(Penerbit : Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1988), hlm 46.
57 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadits,(Bandung : PT al-Ma‟arif,1978), hlm 249-250.
58 An-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati Sunan al-Basyir al-Nadzir, Diterjemahkan oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 126.
59 Lambang „an‟ : Menurut jumhur ulama dapat diterima dengan syarat periwayatnya tidak mudallis yakni yang menyimpan cacat dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan gurunya. Jika tidak
37
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa periwayat ini tergolong positif dan periwayatannya dapat digunakan sebagai dalil.
2. Hani bin Hani
Hani bin Hani bernama lengkap ialah Hani bin Hani al-Hamdani al-Kufi. Setelah itu yang menjadi gurunya ialah Saidina Ali bahkan pernah bertemunya.60Manakala anak muridnya hanya Abu Ishaq as-Sab’ei al-Hamdani al-Kufi, tiada perawi yang lain.61Di sebutkan oleh Ibnu Sa‟id dalam kitabnya bahwa Hani bin Hani termasuk didalam thobaqot pertama dan dia dalam kalangan ahli Kufah.62
Hadis yang berjalur dari beliau pernah diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Adab. Juga pernah diriwayatkan oleh Imam an-Nasa‟ei didalam kitabnya yaitu “Khasa‟isul Ali” dan juga didalam musnadnya.
Antara para ulama muhaddisin yang memberi komentar, kritik dan pandangan terhadap beliau ialah Ibnu Ali al-Madini, an-Nasa‟ei, Ibnu Hibban dan Imam Syafie‟ dan ramai lagi.
Kritik yang ditujukan kepada beliau oleh Ibnu Ali al-Madini ialah beliau adalah seorang yang majhul.63 Imam Nasa‟ei pula mengatakan bahwa tidak mengapa padanya. Harmalah meriwayatkan dari Imam Syafie‟ bahwa berkata gurunya itu, Hani bin Hani adalah seorang yang tidak dikenali. Bahkan para ahli ilmu didalam bidang hadis tidak menyebutkan hadisnya karena tidak mengetahui asal usul serta keadaan perawinya. Ibnu
memenuhi dua pensyaratan ini maka periwatan tersebut tidak muttasil. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013), hlm 111-112.
60 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995),, Juzuk ke-7, Nomor 9207, hlm 72.
61 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal,(Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-30, Nomor 6548, hlm 145.
62 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-4, hlm 262.
63 Abdul Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris bin Munzir at-Tamimi al-Hanzhali ar-Razi, Jarh wa‟at‟ Ta‟dil,(Penerbit :Darul Kutub Ilmiah,Beirut, Lubnan, 1952), Juzuk ke-9 nomor 420, hlm 101.
38
Hajar al-Asqalani pula menilainya sebagai mastur.64Ibnu Sa‟ad pula mengatakan bahwa beliau adalah syi‟ah dan hadisnya adalah munkar hadits.
Komentar yang positif pula diterima melalui Ibnu Hibban yang mana Ibnu Hibban telah menyenaraikan nama Hani bin Hani di dalam kitabnya yang berjudul „ast-Tsiqaat‟ .65 Maka secara tidak langsung, Hani bin Hani dinilai tsiqah66 oleh Ibnu Hibban. Al-Ijli juga mengatakan bahwa beliau adalah tsiqah.67
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan sanad hadis yang didalamnya terdapat Hani bin Hani dan di nilai oleh al-Albani sebagai shahih sanadnya di dalam kitab Imam Bukhari yang berjudul „Adabul Mufrad‟.68 Bahkan di dalam kitab „al-Kabir‟, juzuk kelapan, pada halaman 229, dengan lafaz “Sami‟u A‟liyan”, Imam Bukhari sendiri mengatakan sanad yang ada didalamnya terdapat Hani bin Hani sebagai shahihul isnad, dan tidak di-warid-kan didalam kitab itu pada peribadi Hani bin Hani itu baik jarh mahupun ta‟dil.69
Dalam kitab „Mawarid az-Zhamanu ila Zawa‟id Ibnu Hibban‟, karangan Nuruddin Ali bin Abi Bakar bin Sulaiman al-Haithami telah menyenaraikan beberapa hadis yang didalamnya terdapat nama Hani bin Hani dan di ulang sebanyak tiga kali di
64 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Taqrib Tahzib, Ditahqiq oleh Abu al-Asybal Soghir Ahmad Syaghaf al-Bakistani, Taqrib Tahzib, ( Penerbit : Darul A‟simah), Juzuk ke-1, hlm 118.
65 Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Bisti, Thiqaat, Di tahqiq oleh Sayyid Syarifuddin Ahmad, Thiqaat, (Penerbit : Darul Fikr,1975), Juzuk ke-5, hlm 509.
66 Tsiqah : Tingkatan ketiga daripada ta‟dil, hukumnya dapat dijadikan hujah meskipun sebagian dari mereka lebih kuat dari yang lain. Rujuk Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88- 89.
67 Ahmad bin Abdullah bin Shalih Abu al-Hasan al-Ijli al-Kufi, Ma‟rifah Thiqaah, Ditahqiq oleh Abdul A‟lim Abdul Azim al-Bastawi, Ma‟rifah Thiqaah, (Penerbit : Maktabah ad-Dar, Madinah, 1985), Juzuk ke-2, hlm 324.
68 Muhammad bin Isma‟il Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja‟fi, Adabul Mufrad, Ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, Adabul Mufrad, (Penerbit : Darul Basya‟ir Islamiyah, Beirut, 1989), Juzuk ke-1, hlm 356.
69 Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad as-Syaibani, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Penerbit : Darul Hadis, Kaherah, 1995), Juzuk ke-1, hlm 498.
39
tiga buah tempat di dalam kitab itu yang mana menunjukkan bahwa Hani bin Hani adalah tsiqah.70
Begitu juga sanad hadis lainya di dalam Kitab Sunan Ibnu Majah, menyatakan Hani bin Hani adalah thiqah di bagian nota kakinya.71Bahkan dalam nota kaki „Musnad Imam Ahmad bin Hanbal‟ yang di-tahqiq oleh Syeikh Muhammad Syakir telah menjelaskan bahwa sanad yang terdapat Hani bin Hani di dalamnya sebagai sanad yang shahih dan di dalam Kitab „Majma‟ Zawa‟id‟ juga menukilkan bahwa al-Bazar dan Thabrani menilai Hani bin Hani sebagai tsiqah.72
Dalam Kitab „Tuhfah Ahwazi bi Syarhi Jami‟ Tirmizi‟, al-Mubarakfuri ketikamana mengkritik sanad hadis yang mana terdapat Hani bin Hani di dalamnya mengatakan bahwa az-Zahabi menilainya majhul,73 namun ke-majhul-an Hani bin Hani itu tetap tidak dianggap dha‟if oleh az-Zahabi apabila beliau menilai shahih sanad hadis lain yang mana terdapat Hani bin Hani di dalamnya.74Bahkan al-Hakim sendiri menilai sanad hadis lain yang terdapat periwayat bernama Hani bin Hani ini sebagai shahih walau di tuduh mutasahil.75
Jika dilihat dari segi pertemuan diantara guru dan murid yakni Saiyidina Ali dan Hani bin Hani, maka telah jelaslah menurut kebanyakan pengkritik di atas bahwa mereka telah bertemu dan sighoh penerimaan dan penyampaian hadis yang digunapakai adalah
70 Abu al-Hasan Nuruddin Ali bin Abi Bakar bin Sulaiman al-Haithami, Mawarid az-Zhamanu ila Zawa‟id Ibnu Hibban, Ditahqiq oleh Husain Salim Asad ad-Darani, Mawarid az-Zhamanu ila Zawa‟id Ibnu Hibban, (Penerbit : Darul Thaqafah al-A‟rabiyah, Damsyik, 1992), Juzuk ke-7, hlm 178,179 dan 192.
71 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Ditahqiq oleh Shu‟aib Arnout, Sunan Ibnu Majah, (Penerbit : Darul Risalah al-A‟maliyah, 2009), Juzuk ke-1, hlm 103.
72 Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad as-Syaibani, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Penerbit : Darul Hadis, Kaherah, 1995), Juzuk ke-1, hlm 498.
73 Muhammad Abdul Rahman bin Abdul Rahim al-Mubarakfuri Abu A‟la, Tuhfah Ahwazi bi Syarhi Jami‟ Tirmizi, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut), Juzuk ke-10, nomor 3779, hlm 192.
74 Muhammad bin Abdullah Abu Abdullah al-Hakim an-Naisaburi, Mustadrak a‟la Shahihain, Di tahqiq oleh Mustafa Abdul Qadir Atha, Ta‟liqat liZahabi fi Talkhis Mustadrak a‟la Shahihain, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, 1990), Juzuk ke-2, hlm 180.
75 Majhul, Mau‟su‟ah Syibhu ar-Rafidhah war-Rad Alaiha, Juzuk ke-15, hlm 1.
40
„an‟.76 Dan dengan demikian dapat dikatakan secara zahirnya bahwa hadis ini sendiri berdiri muttasil.
Berdasarkan uraian di atas, walaupun ramai para pengkritik mengatakan bahwa perawi bernama Hani Bin Hani ini majhul yakni tidak dikenali bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau adalah tsiqah, tetapi ada pengkritik lain seperti Ibnu Sa‟ad yang menyenaraikannya didalam senarai perawi yang menganut fahaman syi‟ah dan hadisnya adalah munkar, karena mungkin Ibnu Sa‟ad telah meneliti bahkan mengetahui tentang sisi beliau lebih dari ulama-ulama hadis yang lain tentang sejarah kehidupannya karena seperti yang kita maklumi, Ibnu Saad bukanlah seorang ahli hadis yang bermudah-mudah (tasahul) dalam menentukan taraf kualitas sesuatu hadis itu. Komentar daripada Imam Nasa‟ei yang mengatakan bahwa „tidak mengapa padanya‟ yakni pada insan bernama Hani bin Hani ini dalam ilmu musthalah hadits menandakan bahwa ianya berada ditingkat keempat ta‟dil yang mana hukum untuk tingkat keempat ta‟dil ini tidak bisa dijadikan hujah, tetapi hadis mereka boleh ditulis dan diuji ke-dhabit-an mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para thiqah yang dhabit.77
Jika mengikut kaedah ilmu jarh wa ta‟adil sendiri, apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.78
Berdasarkan prinsip itu, Ibnu Sa‟ad justeru nampaknya telah lebih dahulu mendahului para ulama kritik hadis yang lain karena beliau telah menyatakan bahwa Hani bin Hani adalah syi‟ah dan periwayatannya adalah munkar sedangkan ulama mutasyaddid (ulama yang ketat disiplin ilmu hadisnya) lainnya mengomentari Hani bin Hani sebagai majhul saja lalu mengikut kaedah, jarh didahulukan daripada ta‟dil, dan
76 Lambang „an‟ : Menurut jumhur ulama dapat diterima dengan syarat periwayatnya tidak mudallis yakni yang menyimpan cacat dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan gurunya. Jika tidak memenuhi dua pensyaratan ini maka periwatan tersebut tidak muttasil. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013), hlm 111-112.
77 Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 89.
78 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,(Jakarta : Bulan Bintang,2007) , hlm 75.
41
ulama muttasahil (ulama yang longgar disiplin ilmu hadis) yang mengatakan tsiqah pula karena bersangka baik dan mengikut kaedah, ta‟dil didahulukan daripada jarh. Penulis sendiri berpandangan bahwa Ibnu Sa‟ad telah memberikan komentar yang berasas karena penulis sendiri melaksanakan prinsip atau kaedah ke-shahih-an sanad hadis yang dipakai oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, yang mana Ibnu Hajar telah menyenaraikan sepuluh kriteria kecelaan perawi yaitu, yang pertama al-kazib (pendusta), at-tuhmat bil kazib (dituduh pendusta), fahusya ghalatuhu (riwayatnya lebih banyak salah dari yang benar), ghaflat an itqan (lebih menonjol sifat lupa dari hafalnya), al-fisq (berbuat atau berkata fasik tetapi belum sampai menjadikannya kafir), al-wahm (riwayatnya diduga mempunyai kekeliruan), mukhalaf an tsiqat (riwayatnya berlawanan dengan riwayat yang lebih tsiqah), al-jahalah (tidak dikenal jelas peribadi dan keadaan periwayat itu), al-bid‟ah (berbuat bid‟ah yang mengarah ke fasik namun belum menjadi kafir) dan su‟ul hifz (hafalannya jelek sehingga banyak salah riwayatnya disamping itu ada juga yang benar).79
Hakikatnya Hani bin Hani telah mempunyai tiga masalah, yaitu al-jahalah karena tidak tahu butiran peribadinya dan fasiq mubtadi‟80 karena telah menganut fahaman syi‟ah.81 Bahkan menurut Ibnu Hajar lagi, lima kriteria pertama dari senarai yang dijelaskan tadi akan merosakkan ke-adil-an periwayat tersebut dan lima kriteria kedua akan merosakkan ke-dhabit-annya, maka dengan ini Hani bin Hani rosak adil dan dhabit-nya. Bahkan ke-majhul-an beliau telah membawa kepada dha‟if-nya riwayat ini. Pertama,
79 Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Penerbit : PT Bulan Bintang, Jakarta, 2005), hlm 185-190.
80 Ahmad : http://www.uin-alauddin.ac.id/download-05Ahmad%20Isnaeni.pdf. Di Singgah pada tanggal 18 November 2014, Jam 10:53 am, hlm 67-68.
81 Bid‟ah terbahagi kepada dua, yang pertama yang tidak membawa kepada kekafiran, mereka dari kelompok yang menyalahi ushul sunnah secara terang-terangan dengan sandaran kepada ta‟wil zhahir yang dibolehkan. Contohnya seperti Khawarij dan Syiah Rafidhah yang bukan ghullat. Hukum bagi kelompok pertama ini menurut mazhab salaf seperti Muhammad bin Sirrin dan Imam Malik menolak secara mutlak. Mazhab Imam Abu Hanifah, Syafie, Yahya bin Sa‟id al-Qahthani dan Ali al-Madini pula menerima bersyarat yakni tidak tertuduh dusta dalam rangka menolong mazhabnya atau menolong para pengikut mazhabnya. Bid‟ah yang kedua adalah yang membawa kepada kekafiran maka hukum hal ini sepakat ulama menolaknya. Rujuk : M.Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,(Penerbit : PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011), hlm 126-127. Rujuk : Muhammad Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Diterjemah oleh M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (Penerbit : Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007), hlm 244.
42
mubham-nya hadis ini karena periwayat ini tidak dikenal oleh mayoritas ahli hadis, dan keadaan ini digelar majhul al-ayn sedangkan yang kedua, istilah hadis mastur dipakai ketika keadaan periwayat dalam arti keutamaan dan kekurangannya di bidang periwayatan hadis, tidak diketahui oleh ulama hadis, periwayat ini disebut majhul hal.
Sedikit berbeda dari sudut prinsip dan definisi Ibnu Hajar al-Asqolani di atas tentang perihal mastur, al-Hafiz Syeikh Hasan al-Mas‟udi telah menjelaskan bahwa mastur itu masih dalam tingkatan hadis hasan lighairi tetapi beliau telah menetapkan tiga syarat yaitu, pertama, periwayat tersebut tidak terlalu bersangatan pelupanya dan tidak terlalu banyak kesalahannya, kedua, periwayat tidak kelihatan sebagai orang fasik dan yang ketiga, hadisnya diketahui mempunyai satu atau beberapa sanad lain yang juga meriwayatkannya yang benar-benar serupa lafaz dan matannya atau serupa maknanya saja.82Penulis bersetuju dengan kedua-dua pandangan ulama di atas tentang mastur, maka apabila Hani bin Hani tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh al-Hafiz Syeikh Hasan al-Mas‟udi di atas, maka beliau akan dinilai dha‟if. Bahkan jarh para ulama hadis akan ke-majhul-an Hani bin Hani ini ditingkat kedua jarh yakni yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan hujah.83 An-Nawawi juga berpandangan ke-majhul-an tidak bisa diterima hadisnya.84
Dari uraian ini, penulis menyimpulkan bahwa periwayatan ini tergolong negatif dan periwayatannya tidak dapat digunakan sebagai dalil.
3. Abu Ishaq As-Sab’ei
Abu Ishaq as-Sab‟ei bernama lengkap Amru bin Abdullah bin Zi Yuhmida. Pandangan lain dari para ulama nama beliau ialah Amru bin Abdullah bin Ali al-
82 Hassan Mas‟udi, Minhatul Mughtitss Fi Ilmi Mustholah Hadits Diterjemah oleh Labib Mz & MA.Asyharie, Ilmu Mustholah Hadits (Penerbit Bintang Usaha Jaya, Surabaya Cetakan Pertama, 2002) hlm 42.
83 Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 89.
84 Imam an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 41-42.
43
Hamdani al-Kufi.85 Menurut Imam Razi, nama sebenar beliau ialah Amru bin Abdullah bin Abi Sya‟irah al-Hamdani.86 Seorang yang hafiz lagi alim terutama di bidang hadis. Kunyah beliau adalah Abu Ishaq as-Sab‟ei. Mendapat gelaran Sab‟ei karena bersambung nasabnya hingga ke Sabi‟i. Beliau merupakan zuriat dari Sabi‟i bin Sa‟bi bin Mu‟awiyah bin Kathir bin Malik ibnu Jusham bin Hasyid bin Jusham bin Khairan bin Nauf bin Hamdani. Beliau merupakan di kalangan ulama tabi‟in thobaqat ketiga. Menurut Abu Nua‟im, beliau wafat pada 128 H.87
Beliau merupakan seorang alim yang beramal dengan ilmunya dan juga di antara pembesar-pembesar dikalangan para tabi‟in di Kufah dan kepercayaan mereka.88 Beliau berkata ; “ Aku lahir dua tahun sebelum berakhirnya kekhalifahan Saiyidina Ustman, dan aku pernah melihat susuk tubuh Saiyidina Ali bin Abi Thalib membaca khutbah”.
Antara guru-guru yang beliau meriwayatkan hadis dari mereka ialah ; Saidina Ali, Mughiroh bin Syu‟bah dan dia melihat sendiri kedua-dua sahabat nabi tersebut. Juga Sulaiman bin Surad, Usamah bin Zaid, Zaid bin Arqam, Bara‟ bin A‟zib, Jabir bin Samurah, Harisah bin Wahab al-Khuza‟i, Hubsyi bin Junadah, Zil Jushan, Abdullah bin Yazid al-Khattami, Adi bin Hatim, Amru bin Haris bin Abi Dhirar, Nu‟man bin Basyir, Abi Juhaifah as-Su‟aie, Aswad bin Yazid an-Nakha‟ei dan saudaranya yaitu Abdul Rahman bin Yazid, juga anaknya Aswad yaitu Abdul Rahman bin Aswad, Abi Muslim, Yazid bin Maryam, Haris al-A‟yur, Harisah bin Mudhorib, Sa‟id bin Jubair, Sa‟id bin Wahab, Silah bin Zufar, Amir bin Saad al-Bajali, as-Sya‟bi, Abdullah bin Utbah bin Mas‟ud, Abdullah bin Ma‟qil bin Muqorran, Abi Maisarah Amru bin Syurahil, Ai‟zar bin Huraith, Masruq bin Ajda‟, Alqamah, Mus‟ab, Amir, Muhammad bin Sa‟ad bin Abi
85 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 5, hlm 392.
86 Abdul Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris bin Munzir at-Tamimi al-Hanzhali ar-Razi, Jarh wa‟at‟ Ta‟dil,(Penerbit :Darul Kutub Ilmiah,Beirut, Lubnan, 1952), Juzuk ke-6 nomor 1347, hlm 242.
87 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal,(Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-22, Nomor 4400, hlm 102.
88 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995), Juzuk ke-5, Nomor 6399, hlm 326.
44
Waqas, Musa bin Talhah bin Ubaidillah, Hani bin Hani, Hubairah bin Yarim, Abi Ahwas al-Jusya‟ei, Abi Burdah dan Abi Bakar, Abi Musa, Abi Ubaidah bin Abdullah bin Mas‟ud dan lain-lain gurunya mencapai 300 orang dan sekitarnya.89
Senarai mereka yang meriwayatkan hadis dari Abu Ishaq as-Sab‟ei pula ialah ; anaknya Yunus, anak kepada Yunus yaitu Isra’el bin Yunus, juga cucu dari anak Abu Ishaq yang lain yang bernama Yusuf bin Ishaq. Juga Qatadah, Sulaiman at-Taimi, Ismail bin Abi Khalid, A‟masy, Fitra bin Khalifah, Jarir bin Hazam, Muhammad bin A‟jlan, Abdul Wahab bin Bukhtie, Habib bin Syuhaid, Yazid bin Abdullah bin al-Had, Syu‟bah, Mis‟ar, Sauri, Zuhair bin Muawiyah, Zaidah bin Qudamah, Zakaria bin Abi Zaidah, Hasan bin Hamzah, Hamzatuz Ziyat, Roqobah bin Masqalah, Abu Hamzah as-Somali, Abu Ahwas, Syarik, Umar bin Abi Zaidah, Amru bin Qa‟is al-Mula‟ie, Mutharaf bin Tharif, Malik bin Mighwal, Ajlah bin Abdullah al-Kindi, Zaid Abi Anisah, Sulaiman bin Mas‟ud, Mas‟udi, Umar bin Ubaidat-Thanafisi, Muthalib bin Ziyad, Sufyan bin U‟yainah dan lain-lain.
Antara ulama yang berkomentar mengenai beliau ialah Sufyan bin Uyainah. Beliau mengatakan bahwa Abu Ishaq merupakan imam tabi‟in di Kufah dan pegangan mereka kecuali ketika sudah berumur, dia lupa dan kacau pemikirannya bahkan menurut Sufyan bin Uyainah gurunya itu agak berubah atau celaru sedikit di kala usia tuanya.90 Sebahagian ulama mengatakan bahwa beliau tidak mendengar hadis daripada Saiyidina Ali dan Mughirah bin Syu‟bah.91Fasawi meriwayatkan bahwa berkata sebahagian ahli ilmu sesungguhnya beliau kusut atau bercampur-campur pemikirannya dan karena itu Sufyan bin U‟yainah meninggalkan hadis dari Abu Ishaq as-Sab‟ei karena kekusutan fikirannya itu. Turut memberi komentar terhadap beliau ialah riwayat dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bahwa : “Aku bertanya kepada ayahku antara Abu Ishaq atau as-
89 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-3, hlm 284-285.
90 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995), Juzuk ke-5, Nomor 6399 , hlm 326-327.
91 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-3 , hlm 284-285.
45
Sudi, yang mana lebih ayah sukai ?”, maka jawabnya, ; “ Abu Ishaq thiqah tetapi mereka yang mengambil riwayat hadis darinya menjadikan haditsnya paling belakang atau akhir.” Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal menulis perihal Abu Ishaq lalu ayahnya berkata Abu Ishaq tidak pernah mendengar dari Suraqah.
Ibnu Ma‟in dan Nasa‟ei sepakat mengatakan bahwa beliau merupakan seorang yang tsiqah bahkan Abu Hatim mengatakan tsiqah bahkan lebih hafiz dari Abu Ishaq as-Syaibani dan menyerupai Zuhri dalam banyak periwayatan dan rijal hadits namun di dalam Kitab „Marasil‟, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa ayahnya Abu Hatim mengatakan bahwa Abu Ishaq tidak mendengarkan hadis dari Ibnu Umar, hanya sekadar melihat dengan pandangan mata beliau. Juga tidak mendengar dari Hujir bin Adi. Diriwayatkan dari Jarir bahwa berkata Mughirah bahwa seandainya tiada Abu Ishaq as-Sab‟ei dan A‟masy di Kufah, maka tidak berlakulah kerosakan dalam ilmu hadis. Ajli‟ juga turut berkomentar bahwa Abu Ishaq ahli kitab, tabi‟, thiqah, dia tidak pernah mendengar dari Alqamah dan Haris A‟yur melainkan 4 buah hadis dan bakinya hanya melalui kitab. Abu Daud at-Thayalisi berkata bahwa bertanya seorang lelaki kepada Syu‟bah apakah benar Abu Ishaq mendengarkan hadits dari Mujahid. Jawab beliau ; “Tidaklah dia mereka-reka hadis atas nama Mujahid bahkan dari jalur Abu Ishaq itulah dianggap sebaik-baik sanad periwayatan hadis dari Mujahid, Hasan hingga Ibnu Sirrin.”
Abu Zar‟ah menyebutkan bahwa menceritakan Ibnu Uyainah tentang hadis Abu Ishaq daripada Zil Jaushan, hadits tersebut mursal, yakni hadis yang dimarfu‟-kan atau disandarkan oleh tabi‟in walaupun secara hukmi langsung kepada Nabi SAW, yang dimaksudkan secara hukmi karena mencakupkan sahabat yang tidak mendengar hadis dari nabi, hanya saja dia meriwayatkan dari sahabat, begitu juga tabi‟in, mencakup tabi‟in besar atau kecil.92 Bahkan Abu Ishaq tidak pernah mendengarkan dari Zil Jaushan.
92 Hassan Mas‟udi, Minhatul Mughtitss Fi Ilmi Mustholah Hadits Diterjemah oleh Labib Mz & MA.Asyharie, Ilmu Mustholah Hadits (Penerbit Bintang Usaha Jaya, Surabaya Cetakan Pertama, 2002) hlm 100-101.
46
Dalam riwayat yang lain, Abu Ishaq tidak pernah mendengarkan hadis dari Anas bahkan tidak shahih dan Abu Ishaq juga tidak pernah melihatnya.93
Bardiji juga mengkritik Abu Ishaq dalam kitab „Marasil‟ dengan mengatakan bahwa beliau tidak pernah mendengarkan hadis dari Sulaiman bin Saad, Nu‟man bin Basyir, Jabir bin Samurah dan Atha‟ bin Abi Rabah.94
Syu‟bah juga mengatakan bahwa Abu Ishaq tidak mendengarkan hadis dari Abi Wail melainkan hanya dua buah hadis saja.
Dari A‟la bin Salam menceritakan bahwa A‟masy sangat kagum dengan hafalan Abu Ishaq tentang rijal dari hadis yang diriwayatkannya. Riwayat dari Ishaq, menceritakan daripada Jarir daripada Ma‟an, bahwa berkata ia, “Berlaku kerosakan hadis ahli Kufah adalah karena A‟masy dan Abu Ishaq,” yakni bagi kesalahan tadlis.95 Mereka berpendapat dia adalah seorang mudallis.
Ibnu Ali al-Madini menukilkan pandangan Syu‟bah terhadap Abu Ishaq dalam kitab „al-Ilal‟, bahwa Syu‟bah berkata ; “Aku mendengar Abu Ishaq menceritakan hadis yang diriwayat daripada Haris bin Azma‟, maka aku bertanya beliau apakah engkau mendengar daripadanya yakni Haris ? Abu Ishaq menjawab ; “Menceritakan kepadaku Mujalid bin Sya‟bi.” Dalam riwayat yang lain, Syu‟bah meriwayatkan bahwa Abu Ishaq mengkhabari Zuhri tentang seseorang perawi, maka Zuhri akan mengajukan persoalan kepada gurunya itu apakah Abu Ishaq lebih hebat dari perawi yang disebutkannya itu, seandainya jawapannya „ya‟, maka Zuhri akan mengetahu bahwa Abu Ishaq tidak pernah berjumpa dengan perawi hadis tersebut dan hadis tersebut Zuhri tinggalkan. Sekiranya jawapannya „tidak‟, maka tahulah Zuhri bahwa gurunya itu pernah berjumpa dengan perawi hadis tersebut.96
93 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-3 , hlm 285-286.
94 Ibid hlm 285-286.
95 Tadlis : Menurut istilah, penyembunyian aib dalam hadis dan menampakkan kebaikan pada zhahirnya. Rujuk Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 139.
96 Ibid hlm 285-286.
47
Ali bin al-Madini juga memberi tambahan bahwa tidak meriwayatkan daripada Hubairah bin Yurim dan Hani bin Hani kecuali Abu Ishaq.
Berkata Abu Ishaq Juzjani tentang Abu Ishaq as-Sab‟ei ; “Mereka itu ialah ketua para muhaddisin Kufah, seperti Abu Ishaq, A‟masy, Mansur, Zabid dan lain-lainnya di zaman mereka. Manusia pada zaman itu berpegang kepada kebenaran lidah mereka dalam hadis. Para pembesar utama dalam bidang hadis ini akan berhenti meriwayatkan sesebuah hadis karena bimbang mukharrij yang membawa hadis tersebut tidak shahih. Adapun Abu Ishaq, dia telah meriwayatkan hadis dari kelompok perawi yang tidak dikenal oleh kebanyakan para pembesar hadis yang lain. Bahkan hadis yang diriwayatkan itu tidak tersebar kepada ahlul ilmi kecuali melalui apa yang diceritakan oleh Abu Ishaq as-Sab‟ei kepada mereka. Maka, apabila dia meriwayatkan sesuatu hadis itu kepada ahlul ilmi, dapat dipastikan bahwa itu petunjuk bahwa hadis itu dianggap benar.”
Yahya bin Ma‟in mengatakan bahwa sekukuh-kukuh97 kelompok ulama ( dalam bidang hadis ), Abu Ishaq, Syu‟bah dan Sufyan as-Sauri.98
Kritik yang ditujukan kepada Amru bin Abdullah atau lebih terkenal dengan kunyah Abu Ishaq as-Sab‟ei al-Kufi adalah banyak mengacu kepada keadilan, kekuatan hafalannya serta ke-tsiqahan beliau. Beliau dinilai thiqah oleh Abu Hatim, Ali al-Madini, Ibnu Ma‟in, Nasa‟ei, Ahmad bin Hanbal dan ulama hadis yang lain. Namun di penghujung usia beliau, ramai ulama jarh dan ta‟dil mengkritik peribadi beliau menyangkut soal kekacauan, kekusutan, kekeliruan dan kelupaan pemikiran beliau terhadap hadis-hadis yang diriwayatkannya. Bahkan ada yang menolak dan memilih untuk tidak merawikan dari beliau akan hadis-hadis atas prinsip ihtiyat yakni berhati-hati. Selain itu kritikan yang diberikan terhadap beliau adalah pen-tadlis-an yang dilakukannya baik samada sengaja mahupun tidak, turut diteliti oleh para ulama kritik hadis.
97 Astbata : Tingkatan pertama daripada ta‟dil, hukumnya bisa dibuat hujah. Rujuk Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88-89.
98 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 5, hlm 398.
48
Walaupun demikian, terdapat banyak keutamaan beliau dalam bidang hadis yang lebih menonjol jika dibandingkan dengan kekurangan beliau di usia tua. Kritikan yang dilemparkan para ulama di atas juga tidak menyangkut soal ke-tsiqahan beliau. Adapun kekusutan, kekeliruan, kekacauan dan kelupaan pemikiran yang di kritik para ulama hadis terhadap beliau itu pada penulis merupakan sebuah tuduhan yang kurang jelas meskipun benar bahkan tidak dijelaskan secara terperinci yang mana satu hadis yang bermasalah dari sudut sanad periwayatannya dan matan hadisnya. Namun begitu, dari aspek keadilan beliau sebenarnya telah rosak, hal ini adalah karena penulis sejalan dengan prinsip Ibnu Hajar al-Asqalani, yaitu hadis riwayat beliau di akhir usia Abu Ishaq as-Sab‟ei tergolong di dalam kategori hadis mukhtalit 99karena beliau telah mengalami kekeliruan dan kekacauan.maka jika termasuk didalam hadis mukhtalit, hadisnya menjadi dha‟if.
Jika dilihat dari sudut pertemuan di antara guru yakni Hani bin Hani dengan murid, yakni Abu Ishaq, maka sudah jelas bahwa mereka memang saling bertemu dan sighoh yang digunapakai di dalam periwayatan ini adalah „an‟.100 Walaupun begitu, penulis berpendapat menunjukkan bahwa periwayatan ini adalah tidak muttasil karena beliau dituduh melakukan tadlis.
Bahkan jika dinilai dari kedua-dua kaedah ilmu jarh dan ta‟dil, yaitu berkenaan perawi, kaedah jarh akan didahulukan berbanding ta‟dil. Abu Ishaq Amru bin Abdullah as-Sab‟ei al-Kufi telah mendapat jarh yang lebih banyak daripada ta‟dil oleh kalangan ulama kritik hadis asbab yang pertama pen-tadlis-an beliau dan yang kedua kecelaruan pemikiran di usia tuanya. Kaedah kedua yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus
99 Hadis Mukhtalit : Kejelekan hafalan periwayat ketika memasuki usia lanjut, mengalami kebutaan, terbakar, atau hilang catatan hadisnya atau mengalami peristiwa tertentu lainnya yang menganggu daya hafalannya. Asalnya dhabit menjadi tidak dhabit. Rujuk : Dr.M Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, hlm 189-190.
100 Lambang „an‟ : Menurut jumhur ulama dapat diterima dengan syarat periwayatnya tidak mudallis yakni yang menyimpan cacat dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan gurunya. Jika tidak memenuhi dua pensyaratan ini maka periwatan tersebut tidak muttasil. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013), hlm 111-112.
49
dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.101 Maka melalui kaedah ini, periwayatan ini nampaknya bermasalah bahkan tidak bersambung sanad. Dari uraian ini, penulis menyimpulkan bahwa periwayatan ini tergolong negatif dan periwayatannya dapat tidak digunakan sebagai dalil.
4. Isra’el bin Yunus
Isra‟el bin Yunus bin Abi Ishaq, Amru bin Abdullah, al-Hafidh, Imam Hujah, kunyah-nya adalah Abu Yusuf al-Hamdani as-Sab‟ei al-Kufi.102 Beliau merupakan saudara kandung kepada Isa bin Yunus dan dia merupakan anak sulung. Beliau adalah di antara ulama tabi‟in thobaqat ketujuh. Beliau berasal dari Kufah dan menetap di sana sehinggalah wafat beliau pada tahun 162 H.
Antara para alim ulama yang menjadi guru beliau adalah Ibrahim bin Abdul A‟la, Ibrahim bin Muhajir, Adam bin Sulaiman, Adam bin Ali, Ismail bin Salman al-Azra‟ei, Ismail bin Sumai‟, Ismail bin Abdul Rahman as-Sudiyyi, Ashgas bin Abu Sya‟yha‟, Sauri bin Abi Faqhithah, Jabir bin Yazid al-Ju‟fi, Hajaj bin Dinar, Hammad bin Abdul Rahman al-Ansori, Rukkain bin Rabi‟ bin Umailah al-Fazari, Ziad bin A‟laqah, Zaid bin Jubair, Zaid bin Za‟id, Za‟id bin Atha‟ bin Sa‟ib, Sa‟ad Abi Mujahid at-Tho‟i, Sa‟id bin Masruq as-Sauri, Sulaiman A‟masy, Sima‟ bin Harb, Syubaib bin Basyar al-Bajali, Soleh bin Rustum Abi A‟mir al-Khazzaz, Abi Sinan Dhirar bin Murrah as-Syaibani, Thariq bin Abdul Rahman al-Bajali, A‟sim bin Bahdalah, A‟sim Ahwal, Amir bin Syaqiq bin Jamrah as-Asdiyyi, A‟bad bin Mansur, Abdullah bin Syarik al-A‟miri, Abdullah bin Usman Abi Ulwan al-Hanafi, Abdullah bin Mukhtar al-Basri, Abdul A‟la bin A‟mir at-Tha‟labi, Abdul Rahman bin Abi Bakar bin Abi Mulaikah al-Mulaiki, Abdul Aziz bin Rufai‟, Abdul Karim bin Malik al-Jazari, Abdul Malik bin U‟mar, Abi Hasan Usman bin
101 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,(Jakarta : Bulan Bintang,2007) , hlm 73-75.
102 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk ke-7, hlm 355.
50
bin A‟sim as-Asdiyyi, Usman bin Abdullah bin Mauhab, Usman bin Abi Zur‟ah dan dia adalah anak Mughirah as-Saqafi, Usman bin Syaham, Ali bin Bazimah,103 Ali bin Salim bin Sauban, A‟mmarin ad-Duhri, Amru bin Khalid al-Wasathi dan datuk beliau yaitu Abi Ishaq Amru bin Abdullah as-Sab’ei, Isa bin Ibnu Azzah, Furat al-Khazaz, Khorozah, Majza‟atun bin Zahir al-Aslami, Muhammad bin Juhadah, Mukhoroq al-Ahmasiyi Muslim al-Bathin, Mua‟wiyah bin Ishaq bin Talhah bin Ubaidullah at-Taimi, Mughirah bin Miqsam al-Dhabbiyi, Miqdam bin Syuraish bin Hani, Mansur bin Mu‟tamir, Musa bin Abi A‟isyah, Maisarah bin Habib, Hisyam bin Urwah, Hilal al-Wazzan, Al-Walid bin Al-I‟zar, anak bapak saudaranya yaitu, Yusuf bin Ishaq bin Abi Ishaq as-Sab‟ei, Yusuf bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy‟ari, Abi Juwairiah al-Jarmi, Abi Haumal al-A‟miri, Abi Anbas al-Kufi al-Asghar, Abi Yahya al-Khattaf, Abi Ya‟fur dan Abdi.104
Anak muridnya pula ialah Ahmad bin Khalid al-Wahbi, Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Adam bin Abi Iyas, Ishaq bin Mansur as-Saluli, Asad bin Musa, Ismail bin Ja‟afar al-Madini, Aswad bin Amir Syazani, Hajaj bin Muhammad al-A‟yur, Husain bin Muhammad al-Marwazi, Hammad bin Waqid, Khalid bin Abdul Rahman al-Khurosani, Khalid bin Yazid al-Kahili, Khalaf bin Tamim, Zafir bin Sulaiman, Abu Qutaibah Salmu bin Qutaibah al-Basri, Abu Daud Sulaiman bin Daud Thayalisi, Syababah bin Sawar, Syu‟aib bin Harb, Abdullah bin Raja‟ al-Ghudani, Abdullah bin Soleh al-Ijli, Abu Bahr Abdul Rahman bin Usman Bakrawi, Abdul Rahman bin Mus‟ab al-Khattan, Abdul Rahman bin Mahdi, Abdul Razaq bin Hamam, Abdul Aziz bin Abi Zirmah, Abu Amir Abdul Malik bin Amru al-A‟qadi, Abu Ubaidah Abdul Wahid bin Wasil al-Hadad, Abdul Wahab bin Atha‟ al-Khaffaf, Abu Ali Ubaidullah bin Abdul Majid al-Hanafi, Ubaidullah bin Musa, Usman bin Umar bin Faris, Ali bin Ja‟du, Amru bin Muhammad al-An‟khazi, saudaranya Isa bin Yunus, anak saudaranya Ghusnu bin Hammad, Muhammad binYunus bin Abi Ishaq, Abu Nu‟aim al-Fadhlu bin Dukain, Qasim bin Yazid al-jarmi, Qobisah bin
103 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal,(Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-2, Nomor 402, hlm 515-524.
104 Ibid hlm 515-524.
51
Uqbah, Abu Ghassan Malik bin ismail an-Nahdi, Muhammad bin Sabiq al-Baghdadi, Abu Ahmad Muhammad bin Abdullah bin Zubair al-Zubiri, Muhammad bin Kasir al-Ab‟di, Abu Hammam Muhammad bin Muhabbab ad-Dhallal, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Maqhlad bin Yazid al-Harrani, Mus‟ab bin Miqdam, Al-Mua‟afa bin Imran, Mua‟wiyah bin Amru al-Azdi, Abu Salamah Musa bin Ismail at-Tabuzaki, Nadhar bin Syamail, Abu al-Walid Hisyam bin Abdul Malik at-Thayalisi, Waki‟ bin Jarrah, Yahya bin Adam, Yahya bin Abi bakir, Yahya bin Zakaria bin Abi Za‟idah,Yazid bin Zurai‟dan lain-lain.105
Antara senarai ulama pengkritik sanad hadis yang berkomentar mengenai periwayat ini adalah Ali al-Madini. Beliau berkata bahwa dari Sa‟id al-Khattan; “Isra‟el lebih utama dari Abu Bakar bin Ayyash.”106 Dan dalam riwayat yang lain, Ali al-Madini dan Ibnu Hibban bersepakat meletakkan Isra‟el ini sebagai dho‟if.107Juga antara yang paling banyak memberi komentar ialah Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam riwayat Harb bin Ismail, Ahmad mengatakan bahwa ; “Adalah beliau ini tsiqah bahkan kami kagum dengan hafalan beliau”108 Tetapi menurut riwayat Soleh bin Ahmad bin Hanbal, ayahnya juga pernah berkomentar ; “Abi Ishaq padanya itu layyin,109 kami mendengar hadis darinya paling akhir.” Juga riwayat Abu Talib ; “Imam Ahmad ketika ditanya yang mana lebih kukuh, Syuraik atau Isra‟el ?,” maka jawab Imam Ahmad ; “Isra‟el, dia menulis
105 Ibid hlm 515-524.
106 Abdul Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris bin Munzir at-Tamimi al-Hanzhali ar-Razi, Jarh wa‟at‟ Ta‟dil,(Penerbit :Darul Kutub Ilmiah,Beirut, Lubnan, 1952), Juzuk ke-2 nomor 1258, hlm 330-332.
107 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-1, hlm 133-134.
108 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995), Juzuk ke-1, Nomor 821, hlm 365-367.
109 Layyin al-Hadits : hadisnya dapat dikutip dan isinya dapat dibaca untuk dijadikan pelajaran, hadisnya tidak gugur cuma terkena jarh dengan sesuatu faktor yang tidak akan menggugurkan karekteristik moral perawi. Tingkatan pertama dari jarh dan hukumnya tidak bisa dijadikan hujah. Rujuk : Imam an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 47-48. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 89-90.
52
apa yang dia dengar, itulah yang melebihkan dia daripada Syuraik.” Aku bertanya lagi ; “Siapa yang lebih kamu sukai, Yunus atau Isra‟el dalam keluarga Abi Ishaq?,” jawab Imam Ahmad ; “Isra‟el karena dia sohib kitab.”110
Dalam riwayat Fudhail bin Ziyad ; “Aku bertanya (Abu Abdullah bin Ahmad bin Hanbal) ; “Siapa yang lebih engkau sukai, Yunus atau Isra‟el dalam keluarga Abu Ishaq?,” ayah menjawab ; “Isra‟el,” aku bertanya lagi ; “Isra‟el lebih engkau sukai daripada Yunus?,” jawabnya ; “Ya, Isra‟el pencatat buku,” pertanyaan lagi ; “Syuraik atau Isra‟el ?,” jawabnya ; “Isra‟el menulis apa yang dia dengar, karena itu lebih kukuh dari Syuraik, tiada pada Syuraik kebijaksanaan bahkan dia meriwayatkan hadis secara ragu-ragu.”
Juga dalam riwayat Abu Daud ; “Aku bertanya Ahmad bin Hanbal ; “Isra‟el pernah meriwayatkan hadis secara bersendirian, apakah dia berhajat padanya?,” jawabnya ; “Isra‟el kukuh111 hadisnya.” Kemudian Imam Ahmad membawa kisah mengenai Yahya bin Qathan, dia membawa hadis riwayat dari Isra‟el, lalu ditanyakan kepada ayah beliau. Abi Yahya bin Qathan mengatakan bahwa hadisnya itu munkar. Berkata Ahmad lagi ; “Yahya tidak menyampaikan sesuatupun hadis dari Isra‟el.”112
Imam Ahmad ditanya lagi ; “Isra‟el lebih engkau sukai atau Syuraik?,” dia menjawab ; “Isra‟el, apabila dia menceritakan daripada kitabnya, dia tidak berlaku khianat dan dia hafal dari kitabnya.”
Masih lagi dalam komentar Imam Ahmad, yakni riwayat daripada Muhammad bin Musa bin Musyaish ; Ditanya Ahmad bin Hanbal ; “Antara keduanya mana lebih engkau sukai, Syuraik atau Isra‟el?, jawabnya ; “Isra‟el, hadis riwayat beliau lebih shahih dari Syuraik melainkan dari Abu Ishaq, dia bersekutu membetulkan dari Abu Ishaq. Dan Yahya tidak meriwayatkan dari Isra‟el sesuatupun,” ketika ditanya
110 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal,(Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-2, Nomor 402, hlm 515-524.
111 Thabat : Tingkatan ketiga daripada ta‟dil dan hukumnya bisa dijadikan hujah. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88-89.
112 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah, Juzuk 7), hlm 355-360.
53
mengapa?, Imam Ahmad menjawab ; “Aku tidak tahu, cuma aku memberitahumu, mereka(ulama muhaddisin) berkata tentang Abu Ishaq, fikirannya itu kacau.”
Dan riwayat terakhir yang penulis kutip adalah dari jalan al-Maimuni daripada Ahmad bin Hanbal113 ; “Isra‟el Shaleh Hadis.”114
Juga antara tokoh pengkritik sanad hadis yang menyumbang komentar mengenai periwayat ini ialah Yahya bin Ma‟in. Dalam riwayat Abbas ad-Duri, daripada Yahya bin Ma‟in ; “Adalah Yahya bin Qathan tidak meriwayatkan sesuatu hadis pun dari Isra‟el dan Syuraik,” berkata Abbas lagi ; “Ditanya kepada Yahya tentang Isra‟el, maka jawabnya ; “Telah berkata Yahya bin Adam ; “Kami menulis disisinya daripada hafazannya, berkata Yahya lagi ; “Isra‟el tidak menghafal, setelah mencatat baru menghafal.”
Menurut tiga riwayat lain yaitu dari Sa‟ad bin Abi Maryam, Abu Bakar bin Khaithmah115 dan Ahmad bin Zubair116 bahwa mereka bertiga meriwayatkan daripada Yahya bin Ma‟in mengatakan Isra‟el adalah perawi thiqah.
Ijli juga mengatakan bahwa Isra‟el adalah periwayat hadis Kufah yang tsiqah dan Abu Hatim ar-Razi juga berkomentar menambah bahwa Isra‟el merupakan tsiqah
113 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995), Juzuk ke-1, Nomor 821, hlm 365-367.
114 Solih Hadis : Hadis ini layak dipakai dan dijadikan i‟tibar. Tingkatan keempat dalam ta‟dil, hukumnya tidak bisa dijadikan hujah tetapi hadis mereka boleh ditulis dan diuji dengan membandingkan dengan hadis periwayat lain yang lebih thiqah, jika sepadan dengan hadis periwayat yang lebih thiqah maka hadis tersebut boleh dijadikan hujah, jika tidak sesuai maka ditolak. Rujuk : Imam an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 47. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88- 89.
115 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal,(Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-2, Nomor 402, hlm 515-524.
116 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 7, hlm 355-360.
54
shoduq117 bahkan antara yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam kalangan keluarga Abi Ishaq.118
Diriwayatkan dari Khatib, dari Azhari, dari Khilal, dari Muhammad bin Ahmad bin Ya‟akub bin Syaibah, daripada datuknya berkata ; “Tsiqah shoduq, akan tetapi hadisnya tidak kuat dan tidak gugur.”
Abu Daud turut memberi komentar bahwa menurutnya hadis Isra‟el adalah lebih shahih daripada Syuraik. Imam an-Nasa‟ei pula berkata tidak mengapa padanya. Ibnu Sa‟ad pula berkomentar bahwa sebagian ulama muhaddisin men-dho‟if-kan beliau.119 Ibnu Hazam juga mengkritik beliau120 dan mengatakan bahwa Isra‟el adalah periwayat yang dho‟if. 121
Namun, penulis turut merasa kagum karena antara ulama yang paling lantang mengkritik dan keras dalam disiplin ilmu jarh wat ta‟dil yaitu, az-Zahabi telah memberi komentar yang membela diri periwayat yang bernama Isra‟el bin Yunus ini. Beliau berkata ; “Telah berpegang Bukhari dan Muslim dengan Isra‟el dalam hal-hal pokok, bahkan dia (Isra‟el) tergolong dalam kalangan orang-orang yang mendalam
117 Tsiqah Shoduq : Tingkat kedua daripada ta‟dil, hukumnya boleh dijadikan hujah. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88- 89.
118 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal,(Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-2, Nomor 402, hlm 515-524.
119 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995), Juzuk ke-1, Nomor 821, hlm 365-367.
120 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-1, hlm 133-134.
121 Dho‟if : Tingkat kedua daripada jarh yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujah, posisi hadisnya tidak kuat dan berada dibawah namun hadisnya tidak boleh dibuang begitu saja dan boleh diambil sebagai i‟tibar. Rujuk : Imam an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 48. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 89-90.
55
pengetahuannya, maka dia tidak dho‟if walaupun di-dho‟if-kan oleh mereka yang men-dho‟if-nya.”122
Jika dinilai komentar para ulama jarh wat ta‟dil ini terhadap periwayat ketiga ini, kebanyakannya mengacu kepada sifat keadilan, ke-dhobit-an dan ke-tsiqahan-nya, yang menunjukkan bahwa beliau ini adalah seorang periwayat yang tsiqah. Kesungguhannya terhadap dunia hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdul Rahman bin Mahdi, daripada Isa bin Yunus berkata ; “Isra‟el berkata padaku ; “Adalah aku menghafal hadis Abi Ishaq sebagaimana aku hafal al-Quran.” Jika dilihat pertemuan di antara guru yakni Abu Ishaq as-Sab‟ei dengan murid, maka jelaslah bahwa mereka telah bertemu dan sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadits ini adalah „an‟.123 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa periwayatan ini adalah tidak muttasil karena Abu Ishaq yakni gurunya dinilai mudalis.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa perawi ini tergolong positif dan periwayatannya sendiri boleh digunakan sebagai dalil. Hal ini adalah karena ianya sejalan dengan tiga kaedah ilmu jarh dan ta‟dil, yaitu berkenaan perawi, kaedah jarh akan didahulukan berbanding ta‟dil. Kaedah kedua pula ta‟dil didahulukan daripada jarh. Isra‟el bin Yunus as-Sab‟ei al-Kufi telah mendapat ta‟dil yang lebih banyak daripada jarh oleh kalangan ulama kritik hadis dan kaedah ketiga yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya. Namun begitu, periwayatan terhadap hadis ini di anggap bermasalah karena periwayat sebelumnya bermasalah. Bahkan ihtiyat lebih diutamakan karena kebimbangan penulis kepada Isra‟el yang
122 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995), Juzuk ke-1, Nomor 821, hlm 366.
123 Lambang „an‟ : Menurut jumhur ulama dapat diterima dengan syarat periwayatnya tidak mudallis yakni yang menyimpan cacat dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan gurunya. Jika tidak memenuhi dua pensyaratan ini maka periwatan tersebut tidak muttasil. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013), hlm 111-112.
56
berusaha membetulkan hadis-hadis yang di ambil dari gurunya yaitu Abu Ishaq as-Sab‟ei. Menurut penulis, hadis ini tergolong negatif tidak dapat digunakan sebagai dalil.
5. Aswad bin Amir
Aswad bin Amir bernama lengkap ialah Aswad bin Amir Syazan, gelaran kunyah-nya adalah Abu Abdul Rahman as-Shami. Beliau menetap di Baghdad dan meninggal pada 208 H.124
Antara guru-guru beliau ialah Isra’el bin Yunus, Ayub bin Utbah al-Yamani, Jarir bin Hazam, Ja‟afar bin Ziad al-Ahmar, al-Hassan bin Soleh al-Hayy, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Zawwad bin Ulbatal Harisi, Za‟idah bin Qudamah, Zuhair bin Mua‟wiyah, Sufyan Sauri,125 Sinan bin Harun al-Barjumi, Syarik bin Abdullah an-Nakha‟ei, Syu‟bah bin Hajjaj, Thalhah bin Amir al-Maliki, Abdullah bin Mubarak, Abdul Aziz bin Abdullah bin Abi Salamah al-Majisyun, A‟som bin Thulaik, Umarah bin Zhazan as-Soidalani, Kamil Abil A‟la‟, Huraim bin Sufyan, Hisyam bin Hassan, Abi al-Muhaiyyah Yahya bin Ya‟la at-Taimi, Abi Bakar bin Ayyash dan lain-lain lagi.
Antara anak murid beliau pula ialah, Abu Thur Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, Ibrahim bin Sa‟id al-Jauhari, Ahmad bin Khalil al-Burjulani, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin Naizak, Ahmad bin al-Walid al-Fahham, Baqiyyah bin al-Walid dan dia merupakan abangnya Ahmad, Haris bin Muhammad bin Abi Usamah at-Tamimi dan dia merupakan periwayat terakhir yang mengambil hadits darinya, Abbas bin Abdul Azim al-Anbari, Abbas bin Muhammad ad-Duri, Abdullah bin Abdul Rahman ad-Darimi, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah dan saudaranya yaitu Usman bin Muhammad bin Abi Syaibah, Ali ibnul Madini, Amru bin Muhammad al-Naqid, al-Fadhlu bin Sahla al-A‟raji, Muhammad bin Ahmad bin Abi Khaffaf, Muhammad bin Ahmad Muddawiyah at-Tirmizi, Abu Bakar Muhammad bin
124 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-1, hlm 172.
125 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-3, Nomor 503, hlm 226-227.
57
Ishaq ad-Dhoghoni, Muhammad bin Hatim bin Bazi‟, Muhammad bin Abdullah al-Mubarak, al-Mukharimi, Abu Kuraib Muhammad bin al-A‟la‟ al-Hamdani, Muhammad bin Isa bin Abi Musa al-Attar, Muhammad bin Mansur at-Tusi, Harun bin Abdullah al-Hammal, Ya‟akub bin Syaibah as-Sudusi dan lain-lain.
Antara ulama yang berkomentar mengenai periwayat ini adalah Abu Hatim sebagaimana diriwayatkan oleh anaknya yaitu Abdul Rahman bin Abi Hatim ; “Shoduq Shaleh.”126
Ali al Madini yakni murid kepada Aswad bin Amir as-Shami juga berkomentar tentang perihal gurunya itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hatim yaitu ; “Tsiqah.”127
Muhammad bin Sa‟adin pula menilai Aswad sebagai shaleh hadits.128 Yahya bin Ma‟in juga telah memberikan komentarnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdul Rahman daripada Usman bin Sa‟id ad-Darimi129 ; “Tidak mengapa padanya itu.”130
126 Shoduq Shalih: Tingkat kedua daripada ta‟dil, hukumnya boleh dijadikan hujah menurut an-Nawawi, Tingkat keempat daripada ta‟dil menurut Syeikh Manna al-Qaththan. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88- 89. Rujuk : Imam an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 48.
127 Ibid hlm 226-227.
128 Sholih Hadis : Hadis ini layak dipakai dan dijadikan i‟tibar. Tingkatan keempat dalam ta‟dil, hukumnya tidak bisa dijadikan hujah tetapi hadis mereka boleh ditulis dan diuji dengan membandingkan dengan hadis periwayat lain yang lebih thiqah, jika sepadan dengan hadis periwayat yang lebih thiqah maka hadis tersebut boleh dijadikan hujah, jika tidak sesuai maka ditolak. Rujuk : Imam an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 47. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88- 89.
129 Abdul Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris bin Munzir at-Tamimi al-Hanzhali ar-Razi, Jarh wa‟at‟ Ta‟dil,(Penerbit:Darul Kutub Ilmiah,Beirut, Lubnan, 1952), Juzuk ke-2, nomor 1079, hlm 294.
130 La Ba‟sa bih : Tingkat kedua daripada ta‟dil, hukumnya boleh dijadikan hujah menurut an-Nawawi, Tingkat keempat daripada ta‟dil menurut Syeikh Manna al-Qaththan. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88- 89. Rujuk : Imam an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 48.
58
Ibnu Hibban meletakkannya nama Aswad di dalam kitab karangannya yang berjudul „ast-Tsiqaat‟. Bahkan menurut Ibnu Hibban, Aswad meninggal pada awal tahun 208 H.131
Kritik yang ditujukan kepada Aswad bin Amir as-Shami ini adalah mengacu kepada sifat keadilan dan ke-tsiqah-an yang menunjukkan bahwa beliau merupakan periwayat yang tsiqah. Dan jika dilihat pertemuan antara guru dengan murid yakni Isra‟el bin Yunus dengan Aswad bin Amir, maka jelaslah bahwa mereka telah bertemu apalagi sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadis ini adalah „anba‟ana‟.132 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa periwayatan ini adalah muttasil.
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa periwayat yang dikaji ini tergolong positif dan periwayatannya dapat digunakan sebagai dalil. Hal ini adalah karena ianya sejalan dengan tiga kaedah ilmu jarh dan ta‟dil, yaitu berkenaan perawi, kaedah jarh akan didahulukan berbanding ta‟dil. Kaedah kedua pula ta‟dil didahulukan daripada jarh. Aswad bin Amir as-Shami telah mendapat ta‟dil yang lebih banyak daripada jarh oleh kalangan ulama kritik hadis dan kaedah ketiga yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya. Namun begitu, periwayatan terhadap hadis ini sendiri di anggap bermasalah karena periwayat sebelumnya yakni Abu Ishaq as-Sab‟ei bermasalah. Periwayatan periwayat di atas untuk hadis ini tergolong negatif tidak dapat digunakan sebagai dalil.
Berikut pula adalah matan hadis kedua yang dipetik dari kitab Musnad Imam Ahmad dari penelitian penulis ;
131 Ibid hlm 226-227.
132 Lambang „an‟baana‟ : Dalam metode ijazah, seorang guru memberikan izin periwayatan kepada seorang atau beberapa orang muridnya. Murid yang diberikan ijazah tidaklah sebarang murid, tetapi hanya murid-murid tertentu yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Hadis yang disampaikan dengan metode ijazah adalah hadis-hadis yang telah terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Oleh karena itu, pengijazahan itu tampaknya hanya merupakan tali pengikat di antara guru dan murid semata. Kualitas hadis terpulang kepada periwayatan antara guru dengan para periwayat sebelumnya atau naskhah yang diijazahkan. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013), hlm 111.
59
Artinya :“Diriwayatkan oleh Anas r.a bahwa orang-orang Habashah menyajikan seni mereka di depan nabi dan "mereka menari (Yarqasun)" sambil mengatakan: Muhammadun abdun Solih, Nabi bertanya:. “Apa yang di katakan? Mereka berkata: Muhammadun abdun solih”.133
Artinya :“Diriwayatkan oleh Anas r.a sesungguhnya orang-orang Habasyah menyajikan seni mereka di depan nabi dan mereka bercakap dalam bahasa yang tidak difahami baginda s.a.w, maka Rasulullah bertanya “apa yang dikatakan? Mereka berkata : Muhammadun abdun solih.”
133 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, di tahqiq oleh Shuaib Arnout, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 3/152, hadis nomor 12540, hlm 17.
134 Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim at-Taimi al-Bisti, Sohih Ibnu Hibban, di tahqiq oleh Shuaib Arnout, Sohih Ibnu Hibban biTartibi Ibnu Balyan, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, 1993), Juzuk ke-13, hadis nomor 5870, hlm 179.
60
Skema Sanad Hadits dari jalur Musnad Imam Ahmad
61
C) Penelitian Sanad Hadis Kedua
1. Anas bin Malik
Anas bin Malik bernama lengkap Anas bin Malik bin Nadhir bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundab bin Amir bin Ghonam bin Adi bin an-Najar. Salah satu daripada periwayat yang paling banyak meriwayatkan hadis yang shahih.135 Merupakan
135 Ahmad bin Ali bin Hajar Abu Fadhlu al-Asqolani as-Syafie, Isobah fi Tamyizi as-Sohabah, Ditahqiq oleh Ali bin Muhammad al-Bajawi, Isobah fi Tamyizi as-Sohabah,(Penerbit : Darul Jail, Beirut, 1412 H), Juzuk ke-1 hlm 126.
62
seorang imam, al-mufti, muqri, muhaddis, rowiyatul islam, juga pernah menjadi khadim Rasulullah. Beliau adalah termasuk dari golongan sahabat nabi dan yang paling akhir mati. Kunyah beliau adalah Abu Hamzah al-Ansori al-Khazraji an-Najari al-Madini. Lahirnya beliau pada sepuluh tahun sebelum penghijrahan nabi dari Kota Mekah ke Madinah. Wafatnya pada 93 H.
Antara guru yang pernah beliau menerima dan mengambil hadis adalah ; Nabi Muhammad SAW sendiri, Abu Bakar, Umar, Usman, Muaz, Usaid bin Hudhair, Abi Thalhah, Ummu Sulaim binti Milhan, Ummi Haram, Ubadah bin Shomit, Abi Zar, Malik bin So‟so‟ah, Abu Hurairah, Fathimah an-Nabawiyah dan lain-lain.
Antara murid-murid beliau yang menerima hadis dari beliau adalah ; Hasan, Ibnu Sirrin, Sya‟bi, Abu Qilabah, Makhul, Amru bin Abdul Aziz, Thabit al-Bunani, Bakar bin Abdullah al-Muzani, az-Zuhri, Qatadah, Ibnu Munkadir, Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah, Abdul Aziz bin Suhaib, Syu‟aib bin Habhab, Amru bin Amir al-Kufi, Sulaiman at-Taimi, Humaid at-Thowil, Yahya bin Sa‟id al-Ansori, Kathir bin Sulaim, Isa bin Tahman, Amru bin Syakir dan lain-lain.136
Di antara ulama yang berkomentar mengenai beliau adalah tiada yang berkomentar mengenai beliau karena beliau adalah termasuk salah seorang sahabat nabi, maka secara tidak langsung keadilan ke-tsiqah-an dan ke-dhobit-an beliau tidak lagi menjadi keraguan. Jika ditelusuri dari pertemuan antara guru yaitu Rasulullah SAW, dengan anak muridnya yakni Anas bin Malik, maka jelaslah mereka berdua telah bertemu dan sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadits ini adalah „an‟.137 Dengan itu dapatlah dikatakan bahwa periwayatan ini adalah muttasil.
136 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 3, hlm 395- 406.
137 Lambang „an‟ : Menurut jumhur ulama dapat diterima dengan syarat periwayatnya tidak mudallis yakni yang menyimpan cacat dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan gurunya. Jika tidak memenuhi dua pensyaratan ini maka periwatan tersebut tidak muttasil. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013), hlm 111-112.
63
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa periwayatan ini tergolong positif dan periwayatannya dapat digunakan sebagai dalil.
2. Thabit bin Aslam
Thabit bin Aslam bernama lengkap Thabit bin Aslam al-Bunani. Bunani itu di ambil dari kata „bunanah‟ dan „bunanah‟ itu merupakan gelaran bagi keturunan Sa‟ad bin Lui bin Ghalib. Berkata sebagian ulama, mereka berketurunan Sa‟ad bin Dhubai‟ah bin Nizar, berkata sebagian yang lain, mereka dari jalur keturunan Rabi‟ah bin Nizar al-Yamamah. Kunyah beliau adalah Abu Muhammad al-Basri.138 Beliau lahir pada zaman kekhalifahan Mua‟wiyah bin Abi Sufyan.139 Menetapnya di Basrah. Beliau juga tersenarai di kalangan ulama thobaqat ketiga dari tabi‟in. Menurut riwayat jama‟ah, beliau wafat pada tahun 123 H. Berkata Bukhari daripada Ali ibnu al-Madini ; “Dia meriwayatkan hadis sekitar 250 buah hadis.”140
Antara guru-guru beliau yang pernah beliau menerima dan meriwayatkan hadis adalah ; Ishaq bin Abdullah bin Haris bin Naufal, Anas bin Malik, Bakar bin Abdullah al-Muzani, Jarud bin Abi Sabrah al-Huzali, Habib bin abi Dhubai‟ah adh-Dhubai‟ei, Sulaiman al-Hasyimi, Maula al-Hassan bin Ali bin Abi Thalib, Syuaib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru bin al-As, Walid Amru bin Syuaib, Shahru bin Haushab, Safwan bin Muhzan al-Muzani, Abdullah bin Rabah al-Ansari, Abdullah bin Zubair bin Awwam al-Asdi, Abdullah bin Abi Utbah, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Mughaffal al-Muzani, Abdul Rahman bin Ayyash al-Qurasyi, Abdul Rahman bin Ajlan, Abdul Rahman bin Abi Laila, Umar bin Abi Salamah, Rabib Nabi s.a.w, Amru bin Syuaib, Kinanah bin Nuaim al-A‟dawi, Mutharrif bin Abdullah bin Syakkhir, Mua‟wiyah bin Qurrah bin Iyas al-Muzani, Waqi‟ bin Sahban al-Basri, Abi Ayyub al-Azdi al-
138 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-4, Nomor 811, hlm 342-349.
139 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 5, hlm 220.
140 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-1, hlm 262.
64
Maraghi, Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy‟ari, Abi Barzah al-Aslami, Abi Rafi‟ as-Sho‟igh, Abi Zhobyah al-Kala‟ei, Abi al-A‟liyah ar-Riyahi, Abi Usman an-Nahdi, Abi Uqbah al-Hilali, Abi Isa al-Uswari, Abi Mutawakkil an-Naji, Sumaiyyah al-Basriyah.141
Manakala anak murid beliau pula adalah ; Ash‟ghos bin Baraz al-Hujaimi, Aghlab bin Tamim asy-Sya‟wazi, Bahru bin Kaniz, Assaqa, Bazi‟ bin Hassan Abu al-Khalil al-Basri, Bistham bin Muslim al-Auza‟ei, Basyar bin Hakam al-Dhobbi, Abu Basyar Bakar bin Hakam al-Muzalliq, Bakar bin Khunais al-Kufi al-Abid, Thabit bin Ajlan as-Shami, Thumamah bin Ubaidah al-Abdu al-Basri, Tsawab bin Hujail al-Hadadi, Jarir bin Hazam, Jisru bin Farqad al-Qassab, Ja‟afar bin Sulaiman adh-Dhuba‟ei, Hatim bin Maimun al-Killabi, Habib bin Syahid, Hubaib bin Hujril Qaisi, Hazam bin Abi Hazam al-Khatta‟ei, Hassan bin Siyah al-Basri al-Azraq, al-Hasan bin Salam bin Soleh al-Ijli, Hasan bin Farqad al-Qassab, Hussain bin Waqid Qadhi Maru, Hakam bin Attiyah al-Aisyi, Hammad bin al-Ja‟du al-Huzali, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Hammad bin Yahya al-Abbah, Humaid at-Thowil, Khazam bin Husain Abu Ishaq al-Khamisi, Khalid bin Abdul Rahman al-Abdi, Khasib bin Jahdar al-Basri, Khallad bin Isa al-Minqari, Khilas bin Yahya, Daud bin Abi Hind, Dailam bin Ghazwan al-Abdi, Rafi‟ bin Salamah al-Asyja‟ei, Rabi‟ bin Badru as-Sa‟di, Raqabah bin Musqalah al-Abdi, Ruh bin Mussayab at-Taimi, Zaidah bin Abi Raqad al-Bahili, Zakaria bin Yahya bin Umarah al-Ansari, Zuhair bin Tamim, Ziad bin Khaithamah al-Ju‟fi, Salam Abu Jumai‟ al-Hujaimi, Sa‟id bin Zarbi al-Abbadani, Sulaiman bin Daud, Ibnu Muslim al-Huna‟ei as-So‟igh (Bilal Masjid Thabit al-Bunani), Sulaiman bin Mughirah al-Qaisi, Sulaiman A‟masy, Sulaiman Taimi, Suhail bin Abi Hazam al-Khutta‟ei, Salam bin Abi Khubzah al-Attar, Abul Munzir Salam bin Sulaim al-Qari, Abul Munzir Sallam bin Abi Sohba‟ei al-Fazari, Sallam bin Miskin al-Azdi, Sayyar Abul Hakam, Syu‟bah bin Hajjaj, Solih bin Basyir al-Murri, Sadaqah bin bin Musa ad-Daqaqi, adh-Dhahak bin Nabras al-Jahdhomi, Dhirar bin Amru al-Mathali, Dhomdhom bin Amru al-Hanafi, Thalhah bin Amru al-Hadhrami al-
141 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-4, Nomor 811, hlm 342-349.
65
Makki, Abdullah bin Hafs al-Arthobani, Abdullah bin Zubair al-Bahili, Abdullah bin Shawzab, Abdullah bin Ubaid bin Umair al-Laisi, Abdullah bin al-Masna bin Abdullah bin Anas bin Malik al-Ansari, Abdu Rabbah bin Sa‟id al-Ansari, Abdul Salam bin Ajlan al-A‟dawi, Abdul Aziz bin Mukhtar, Abu Thabit Abdul Wahid bin Thabit, Ubaidullah bin Umar al-Umari, Attha bin Abi Rabbah, Ali bin Za‟id bin Ju‟dan, Ali bin Abi Sarah ash-Syaibani, Umarah bin Zhazan as-Shoidalani, Isa bin Tahman al-Jushami, Ghalib bin Azwar, Ghassan bin Burzain, Thuhawi, Fadhlu bin Dahlam al-Wasathi, Qatadah bin Di‟amah as-Sadusi, Quraish bin Hayyan al-Ijli, Kathir bin Abdullah al-Yashkuri, Kathir bin Abi Kathir al-Laisi,142 Abu Fadhlu Kathir bin Yasar al-Qaisi, Mubarak bin Fadhalah, anaknya sendiri yaitu, Muhammad bin Thabit al-Bunani, Muhammad bin Ziad bin Huzabah al-Burjumi, Muhammad bin Salam al-Basri, Muhammad bin Abdullah al-A‟mi, Muhammad bin Isa ath-Thahan, Marhum bin Abdul Aziz at-Thar, Ma‟mar bin Rasyid, Maimun bin Aban, Maimun bin Abdullah, Nuh bin Ibad al-Qurasyi, Harun bin Musa an-Nahwi, Hubirah al-Aisyi, Walid Safwan bin Hubirah, Hamman bin Yahya, Hasim bin Jammaz, al-Baka‟, Wazir bin Sobih al-Wazzan, Abu A‟wanah Wadhoh bin Abdullah al-Yashkuri, Yazid bin Abi Zaid, Yunus bin Ubaid.
Di antara ulama yang berkomentar mengenai periwayat ini adalah Ijli, daripada anaknya Ahmad bin Abdullah al-Ijli ; “Tsiqah, lelaki shaleh.”143Imam an-Nasa‟ei juga mengatakan tsiqah. Abu Hatim pula berkata ; “Paling kukuh144 ashab anas adalah Zuhri, kemudian Thabit, kemudian Qatadah.”145
142 Ibid hlm 342-349.
143 Tsiqah Shaleh al-Hadits : Tingkatan kedua dari ta‟dil dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-thiqah-an, keadilan dan ketepatan riwayatnya. Hukumnya bisa dijadikan hujah. Rujuk : Imam an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 47. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88- 89.
144 Astbata: Tingkatan pertama daripada ta‟dil dengan menggunakan superlative dalam pen-ta‟dil-an dan dengan menggunakan wazan af‟ala, hukumnya bisa dibuat hujah.
145 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995), Juzuk ke-2, Nomor 1356, hlm 81.
66
Ahmad bin Adi juga berkomentar tentang Thabit, katanya ; “Beliau daripada kalangan tabi‟in Basrah, muhaddisin mereka, kebanggaan mereka dan telah tertulis bahwa beliau termasuk di kalangan tokoh pemuka hadis yang tsiqah dari kalangan manusia. Adalah Hammad bin Salamah sentiasa meriwayatkan hadis-hadis beliau apabila periwayatnya tsiqah, dan dia berhenti meriwayatkan hadis apabila bertemu periwayat yang tidak dikenali, karena terdapat sekelompok manusia yang bodoh lagi dho‟if membawakan hadits dari beliau.”
Hammad bin Salamah turut memberikan komentar terhadap guru beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Usman Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar al-Muqaddami, daripada Ali ibnu al-Madini ; “Telah menceritakan kepada ku Abdul Rahman bin Mahdi, Abu Bahzi bin Asad, daripada Hammad bin Salamah berkata ; “Aku mendengar golongan qusas(pencerita-pencerita dongeng dan jahil), mereka tidak hafal hadis darinya, bahkan mereka menterbalik atau mencampurkan hadits daripada Thabit, sepatutnya Ibnu Abi Laila menjadi Anas dan sepatutnya Anas menjadi Ibnu Abi Laila.”146
Bakar bin Abdullah al-Muzani juga mengomentari gurunya itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ghalib bin al-Khattan ; “Sesiapa yang mahu melihat seseorang yang melampaui zamannya, maka lihatlah Thabit al-Bunani, tidak kami ketahui seseorang yang melebihi beliau.”147
Kritik yang ditujukan kepada Thabit bin Aslam al-Bunani, menurut penulis lebih mengacu kepada ke-tsiqah-an, keadilan dan ke-dhobit-annya yang menunjukkan bahwa beliau seorang periwayat yang tsiqah. Dan jika dilihat dari sudut pertemuan antara gurunya yaitu Anas bin Malik dan murid yakni beliau sendiri, maka jelaslah mereka
146 Abdul Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris bin Munzir at-Tamimi al-Hanzhali ar-Razi, Jarh wa‟at‟ Ta‟dil,(Penerbit:Darul Kutub Ilmiah,Beirut, Lubnan, 1952), Juzuk ke-2, nomor 1805, hlm 449.
147 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-4, Nomor 811, hlm 342-349.
67
bertemu bahkan sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadis ini adalah „an‟.148 Demikian itu dapatlah dikatakan bahwa periwayatan ini adalah muttasil.
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa periwayatan ini tergolong positif dan periwayatannya dapat digunakan sebagai dalil. Hal ini adalah karena ianya sejalan dengan tiga kaedah ilmu jarh dan ta‟dil, yaitu berkenaan perawi, kaedah jarh akan didahulukan berbanding ta‟dil. Kaedah kedua pula ta‟dil didahulukan daripada jarh. Thabit bin Aslam al-Bunani telah mendapat ta‟dil yang lebih banyak daripada jarh oleh kalangan ulama kritik hadis dan kaedah ketiga yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
3. Hammad bin Salamah
Hammad bin Salamah bernama lengkap Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri. Imam az-Zahabi turut menggelarkan Hammad sebagai Syeikh Islam dan Imam Qudwah bagi umat.149 Kunyah beliau adalah Abu Salamah bin Abi Sakhrah maula Rabi‟ah bin Malik bin Hanzalah daripada jalur Bani Tamim. Sebagian ulama berkata maula Quraish dan sebagian lagi mengatakan dari jalur Himyari bin Karamah dan dia anak saudara Humaid at-Thuwail.150 Menetapnya di Basrah dan beliau juga merupakan di antara ulama tabi‟in thobaqat ketujuh. Beliau menurut satu riwayat wafat pada tahun 167 H.
Antara guru-guru yang beliau menerima sanad dan periwayatan hadis ialah ; Azraq bin Qa‟is, Ishaq bin Suwaid al-A‟dawi, Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah,
148 Lambang „an‟ : Menurut jumhur ulama dapat diterima dengan syarat periwayatnya tidak mudallis yakni yang menyimpan cacat dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan gurunya. Jika tidak memenuhi dua pensyaratan ini maka periwatan tersebut tidak muttasil. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013), hlm 111-112.
149 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 7, hlm 444.
150 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-7, Nomor 1482, hlm 253-269.
68
Ash‟ghos bin Abdullah bin Jabir al-Hudani, Ash‟ghos bin Abdul Rahman al-Jarmi, Anas bin Sirrin, Ayyub Sakhtiani, Burdu bin Sinan Abi A‟la‟ as-Shami, Bishru bin Harb Abi Amru an-Nadabi, Bahzu bin Hakim, Tammam bin Abi Hakim, Taubah al-Anbari, Thabit al-Bunani, Thumamah bin Abdullah bin Anas bin Malik, Jabran bin Habib, Jabalah bin Attiyah, Ja‟du Abi Usman, Habib bin Syahid, Habib al-Muallim, Hajjaj bin Arthoh, Hakim al-Athrom, Hammad bin Abi Sulaiman, Humaid bin Hilal, Abi Khattab Humaid bin Yazid, bapa saudaranya, Humaid at-Thuwail,Hanzalah bin Abi Hamzah, Khalid bin Zakwan, Khalid Haza‟, Daud bin Abi Hind, Rabi‟ah bin Abi Abdul Rahman, Raja‟ bin Abi Salamah, Ziad bin Mikhraq, Ziad A‟lam, Zaid bin Aslam, Sa‟ad bin Ibrahim bin Abdul Rahman bin Auf, Said bin Iyas al-Jurari, Sa‟id bin Juhman, ayahnya yaitu Salamah bin Dinar, Salmah bin Kuhail, Sulaiman at-Taimi, Simak bin Harb, Sinan bin Rabi‟ah, Suhail bin Abi Soleh, Abu Qhaz‟ah, Suwaid bin Hujair al-Bahili, Abi Minhal Sayyar bin Salamah, Syu‟aib bin Habhab, Thalhah bin Ubaidullah bin Kariz, Khuza‟ei, A‟sim bin Bahdalah, Asim bin Munzir bin Zubair bin Awwam, Amir Ahwal, Abbad bin Mansur, Abi Hassan Abdullah bin Syadad al-A‟raj, Abdullah bin Ubaidullah bin Abi Mulaikah, Abdullah bin Usman bin Khuthaim, Abdullah bin Usman bin Ubaidullah bin Abdul Rahman bin Samurah, Abdullah bin „Aun, Abdullah bin Kathir al-Qari‟,151 Abdullah bin Muhammad bin Aqil, Abdullah bin Mukhtir, Abdul Rahman bin Ishaq al-Madani, Abdul Rahman bin Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar as-Siddiq, Abdul Aziz bin Suhaib, Abi Umayyah Abdul Karim bin Abi Mukhariq al-Basri, Abdul Malik bin Habib Abu Imran al-Jauni, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, Abdul Malik bin U‟mair, Abdul Malik bin Ja‟afar, Ubaidullah bin Abi Bakar bin Anas bin Malik, Ubaidullah bin Humaid bin Abdul Rahman al-Himari, Ubaidullah bin Umar, Usman al-Batti, Ghislu bin Sufyan, Attha‟ bin Sa‟ib, Attha‟ bin Abi Maimunah, Attha‟ al-Khurasani, Uqail bin Thalhah, Ikrimah bin Khalid, Ali bin Hakam al-Bunani, Ali bin Zaid bin Ju‟dan, Ammar bin Abi Ammar, Amru bin Dinar al-Makki, Amru bin Yahya bin Umarah al-Mazini, Imran bin Abdullah bin Thalhah al-Khuza‟ei, Umair bin Yazid Abi Ja‟afar Khatmi al-Madini, Abi Sinan Isa bin Sinan al-Qasmali, Fa‟id Abi Awwam, Farqad as-Sabaqhi, Qatadah, Qa‟is
151 Ibid hlm 253-269.
69
bin Sa‟ad al-Makki, Kathir bin Ma‟dan, al-Basri, Kathir bin Muhammad, Kalthum bin Jabar, Muhammad bin Ishaq bin Yassar, Muhammad bin Ziad al-Qurasyi, Muhammad bin Amru bin Alqamah bin Waqqas al-Laisi, Abu Zubair Muhammad bin Muslim al-Makki, Muhammad bin Wasi‟, Mathar al-Warraq, Maimun bin Jaban, Abi Jamrah Nasru bin Imran adh-Dhuba‟ei, Harun bin Ri‟ab, Hisyam bin Hassan, Hisyam bin Zaid bin Anas bin Malik, Hisyam bin Urwah, Hisyam bin Amru al-Fazari, Abi Hurrah Washil, bin Abdul Rahman, Yahya bin Sa‟id al-Ansari, Yahya bin A‟tiq, Abi Tayyah Yazid bin Humaid adh-Dhobba‟ei, Ya‟la bin Attha‟ al-A‟miri, Yusuf bin Sa‟ad, Yusuf bin Abdullah bin Haris al-Basri, Yunus bin Ubaid, Abi Jauza al-Muhallami, Abi A‟shim al-Ghanawi, Abi U‟sya‟ra‟ adh-Darimi, Abi Ghalib Sahib Abi Umamah, Abi Muhazzim at-Taimi, Abi Na‟amah as-Sa‟di, Abi Harun al-Abdi, Abi Harun al-Ghanawi, Hasyim ar-Rumani.152
Anak-anak murid beliau pula adalah ; Ibrahim bin Hajjaj as-Sami‟, Ibrahim bin Abi Suwaid az-Zara‟, Ahmad bin Ishaq al-Hadhrami, Adam bin Abi Iyas, Ishaq bin Umar bin Salith, Ishaq bin Mansur as-Saluli, Asad bin Musa, Aswad bin Amir Syazan, Bishru bin Sarri, Bishru bin Umar az-Zahrani, Bahzu bin Asad, Hibban bin Hilal, Hajjaj bin Minhal, Hassan bin Bilal, Hassan bin Musa al-Ashyab, Husain bin Urwah, Abu Umar Hafs bin Umar Dhoror, Khalifah bin Khayyat, Daud bin Syabib, Ruh bin Aslam, Ruh bin Ubadah, Zaid bin Hubab, Zaid bin Abi Zarqa‟, Syuraih bin Nu‟man, Sa‟id bin Abdul Jabbar al-Basri, Sa‟id bin Yahya al-Lakhmi, Sufyan Sauri, Sulaiman bin Hab, Abu Daud Sulaiman bin Daud ath-Thayalisi, Suwaid bin Amru al-Kalbi, Syu‟bah bin Hajjaj, Shihab bin Abbad al-Abdi, Shihab bin Muammar al-Balkhi, Syaiban bin Faruqh, Thalut bin Abbad, Abbas bin Bakkar adh-Dhobbi‟e, Abbas bin Walid an-Narsi, Abdullah bin Solih al-Ijli, Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Maslamah Qa‟nabi, Abdullah bin Mua‟wiyah al-Jumahi, Abdul A‟la bin Hammad an-Narsi, Abdul Rahman bil Sallam al-Jumahi, Abdul Rahman bin Mahdi, Abdul Shamad bin Hassan, Abdul Shamad bin Abdul Warith, Abu Soleh Abdul Ghaffar bin Daud al-Harrani, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, Abdul Malik bin Abdul Aziz Abu Nasr at-Tammar, al-Wahid bin
152 Ibid hlm 253-269.
70
Ghiyath, Ubaidullah bin Muhammad al-Aisyi, Affan bin Muslim, Amru bin Khalid al-Harrani, Amru bin Asim al-Kilabi, Amru bin Marzukh, A‟la‟ bin Abdul Jabbar, Ghassan bin Rabi‟, Abu Nu‟aim al-Fadhlu bin Dukkain, Fadhlu bin Ans‟bah al-Wasithi, Abu Kamil Fudhail bin Hussain al-Jahdari,153 Qabisah bin Uqbah, Quraish bin Anas, Kamil bin Thalhah al-Jahdari, Malik bin Anas, Muhammad bin Ishaq bin Yassar, Muhammad bin Bakar al-Bursani, Muhammad bin Abdullah al-Khuza‟ei, Abu Nu‟man Muhammad bin Fadhlu Arim, Muhammad bin Kathir al-Masisi, Muhammad bin Mahbub al-Bunani, Muslim bin Ibrahim, Muslim bin Abi Asim an-Nabil, Abu Kamil Muzaffar bin Mudrik, Mu‟az bin Khalid bin Syaqiq, Mu‟az bin Mu‟az, Muhanna bin Abdul Hamid, Abu Salamah Musa bin Isma‟il at-Tabuzaki, Musa bin Daud adh-Dhabbi, Muammal bin Ismail, Nadhru bin Syumail, Nadru bin Muhammad al-Jurasyi, Nu‟man bin Abdul Salam, Hudbah bin Khalid, Abul Walid Hisyam bin Abdul Malik at-Thayalisi, Haitham bin Jamil, Waki‟ bin Jarrah, Yahya bin Ishaq, as-Sailahani, Yahya bin Hassan at-Tinisi, Yahya bin hammad as-Syaibani, Yahya bin Sa‟id al-Qathan, Yahya bin Dhurais ar-Razi, Yazid bin Harun, Ya‟akub bin Ishaq al-Hadhrami, Yunus bin Muhammad al-Muaddab, Abi Sa‟id maula Bani Hashim, Abi Amir al-A‟qadi.154
Antara ulama yang berkomentar mengenai periwayat ini adalah Yahya bin Ma‟in yang jelas mengatakan bahwa Hammad bin Salamah adalah tsiqah. Dalam sebuah riwayat daripada Ishaq Kausaj, apabila beliau ditanya mengenai perihal perawi bernama Hammad bin Salamah, berkata Yahya bin Ma‟in ; “Tsiqah.”155 Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan bahwa ; “Seluruh manusia mengetahui ke-thabit-an Hammad bin Salamah.”
153 Ibid hlm 253-269.
154 Ibid hlm 253-269.
155 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 7, hlm 446.
71
Turut mengomentari periwayat hadis ini adalah Abi Hatim yang mengatakan bahwa Hammad bin Salamah adalah seorang yang tsiqah.156 Dalam riwayat yang lain, daripada Abdul Rahman bin Abi Hatim daripada ayahnya ; “Hammad bin Salamah thabit.”157
Ahmad bin Hanbal mengomentari periwayat ini dengan katanya ; “Semua manusia tahu ke-thabit-an beliau.”158Dalam riwayat yang lain Imam Ahmad telah ditanya akan Hammad bin Salamah, maka jawab beliau ; “Shaleh.”159Beliau juga pernah ditanya antara dua periwayat bernama Hammad, jawab beliau ; “Kedua-duanya tsiqah.” Juga sebuah komentar dalam riwayat lain Imam Ahmad berkata ; “Hammad lebih thabit daripada Ma‟mar.”160Abu Qasim al-Baghawi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Muttahir bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang Hammad, beliau menjawab ; “Dia di sisi kami adalah tergolong tsiqat.”161
Ibnu Sa‟ad mengatakan bahwa Hammad adalah tsiqah, banyak hadis riwayatnya dan kemungkinan juga dia meriwayatkan hadis yang munkar162 yakni sebuah hadis dengan perawi tunggal yang banyak kesalahan atau kelalaiannya, atau nampak kefasikan
156 Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Abdul Rahim bin Husain al-Iraqi, Zail Mizanul I‟tidal, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995), Juzuk ke-2, Nomor 2254, hlm 360.
157 Thabat : Tingkatan ketiga daripada ta‟dil dan hukumnya bisa dijadikan hujah. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88-89.
158 Abdul Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris bin Munzir at-Tamimi al-Hanzhali ar-Razi, Jarh wa‟at‟ Ta‟dil,(Penerbit:Darul Kutub Ilmiah,Beirut, Lubnan, 1952), Juzuk ke-3, nomor 623, hlm 140-142.
159 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-7, Nomor 1482, hlm 253-269.
160 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-1, hlm 481.
161 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 7, hlm 453.
162 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-7, Nomor 1482, hlm 253-269.
72
atau lemah tsiqah-nya. Munkar itu juga membawa maksud sebuah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan perawi yang tsiqah.163
Imam Nasa‟ei mengatakan Hammad bin Salamah tsiqah. As-Sijji mengatakan bahwa Hammad hafizh lagi tsiqah ma‟mun.164 Ijli juga bersependapat mengatakan bahwa Hammad bin Salamah adalah tsiqah, lelaki shaleh dan hadisnya baik.165
Kritik yang ditujukan kepada Hammad bin Salamah adalah mengacu pada sifat keadilan, ke-dhobit-an dan ke-tsiqah-an beliau yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang perawi yang tsiqah. Jika ditelusuri dari pertemuan antara guru yaitu Thabit bin Aslam al-Bunani dengan anak muridnya yakni Hammad bin Salamah, maka jelaslah mereka berdua telah bertemu apalagi sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadis ini adalah „an‟. Dengan itu dapatlah dikatakan bahwa periwayatan ini adalah muttasil.
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa periwayatan ini tergolong positif dan periwayatannya dapat digunakan sebagai dalil. Hal ini adalah karena ianya sejalan dengan tiga kaedah ilmu jarh dan ta‟dil, yaitu berkenaan perawi, kaedah jarh akan didahulukan berbanding ta‟dil. Kaedah kedua pula ta‟dil didahulukan daripada jarh. Hammad bin Salamah telah mendapat ta‟dil yang lebih banyak daripada jarh oleh kalangan ulama kritik hadis dan kaedah ketiga yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
4. Abdul Shamad bin Abdul Warith
163 Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Penterjemah Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Ilmu Studi Hadits ( Penerbit Pustaka al-Kauthar, Cetakan Pertama September 2005), hlm 150.
163 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-1, hlm 483.
164 Tsiqah ma‟mun : Tingkatan kedua daripada ta‟dil, hukumnya bisa menjadi hujah dan dibuat dalil.
165 Ibid hlm 483.
73
Abdul Shamad bin Abdul Warith bernama lengkap Abdul Shamad bin Abdul Warith bin Sa‟id bin Zakwan at-Tamimi al-Anbari. Maula mereka adalah at-Tannuri.166 Beliau mendapat jolokan imam hafizh lagi tsiqah. Abdul Shamad adalah di antara ulama tabi‟in thobaqat kesepuluh. Kunyah beliau adalah Abu Sahl al-Basri. Menetapnya di Basrah. Beliau mempunyai anak bernama Abdul Warith bin Abdul Shamad bin Abdul Warith. Menurutnya anaknya, Abdul Warith, Muhammad bin Sa‟ad dan Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami, Abdul Shamad wafat pada tahun 207 H dan jalur riwayat ini merupakan riwayat jamaah.
Antara guru-guru yang beliau terima dan menyampaikan hadits dari mereka adalah ; Aban bin Yazid al-„Attar, Ibrahim bin Sa‟ad az-Zuhri, Isma‟il bin Muslim al-Abdi, Abi Basyar Bakar bin al-Hakam al-Muzalliq, Tsawab bin Utbah al-Mahri, Abu Khusyainah Hajib bin Umar, Harb bin Syaddad, Harb bin Abi al-A‟liyah, Harb bin Maimun al-Basri, Huraith bin Sa‟ib, Hammad bin Salamah, Hayyan, Abi Khaldah Khalid bin Dinar, Rabi‟ah bin Kalthum, Zakaria bin Sulaim, Sa‟id bin Ubaid al-Huna‟ei, Salim bin Hayyan, Sulaiman bin Mughirah, Syu‟bah bin Hajjaj, Abdullah bin Muthanna bin Abdullah bin Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Yazid, Abdul Rahman bin Abdullah bin Dinar, Abdul Salam bin Abi Hazam, Abdul Salam bin Ajlan, al-U‟jaifi, Abdul Shamad bin Habib al-Azdi, Abdul Aziz bin Muslim al-Qasmali, Abdul Malik bin Walid bin Ma‟dan, Abdul Mu‟min bin Ubaidullah as-Sadusi, ayahnya yaitu Abdul Warith bin Sa‟id, Utbah bin Abdul Malik as-Sahmi, „Ikrimah bin Ammar, Umar bin Ibrahim al-Abdi, Amru bin Rasyid al-Yamami, Muthanna bin Sa‟id adh-Dhuba‟ei, Muhammad bin Thabit al-Bunani, Muhammad bin Dinar ath-Thohi, Muhammad bin Salim al-Basri, Mustamir bin Rayyan, Nasru bin Ali al-Jahdhomi al-Kabir, Hashim bin Sa‟id, Hisyam
166 Syamsuddin bin Ahmad bin Ustman az-Zahabi, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟(Penerbit : Madrasah Risalah), Juzuk 9, hlm 516.
74
ad-Dastu‟ei, Hammam bin Yahya, Yazid bin Ibrahim at-Tustari, Abu Khuzaimah al-Abdi.167
Anak-anak murid beliau pula adalah ; Ibrahim bin Ya‟akub al-Juzjami, Ahmad bin Ibrahim ad-Dauqi, Ahmad bin Hassan bin Khirash, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Sa‟id ad-Darimi, Abu Ubaidah Ahmad bin Abdullah bin Abi Safar, Ahmad bin Munzir al-Khazzaz al-Basri, Ahmad bin Nasr an-Naisaburi, Ishaq bin Rahawiyah, Ishaq bin Mansur al-Kausaj, Bashar bin Adam al-Basri, Hajjaj bin Sya‟ir, Hasan bin Sobbah al-Bazzaz, Hassan bin Ali al-Halwani, Husain bin Isa al-Bisthami, Abu Khaithamah Zu‟air bin Harb, Zaid bin Akhzham ath-Tho‟ei, Abdullah bin Muhammad al-Musannadi, Abdul Rahman bin Muhammad bin Salam, Abdul Qudus bin Muhammad al-Habhabi, anaknya yaitu, Abdul Warith bin Abdul Shamad bin Abdul Warith, Abdu bin Humaid, Abdah bin Abdullah as-Saffar, Usman bin Thalut bin Abbad, Ali bin Husain bin Ishkab, Ali bin Sa‟id bin Jarir an-Nasa‟ei, Ali ibnu al-Madini, Ali bin Muslim at-Tusi, Ali bin Nasru al-Jahdhomi as-Soghir, Amru bin Yazid al-Jarmi, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Nafi‟ al-Abdi, Muhammad bin Basyar Bundar, Abu Musa Muhammad bin al-Muthanna, Muhammad bin Mas‟ud ibnu al-A‟jami, Muhammad bin Yahya bin Abi Hazam al-Qutta‟ei, Muhammad bin Yahya bin Abi Hatim al-Azdi, Muhammad bin Yahya az-Zuhuli, Muhammad tiada nisbah, Mahmud bin Ghailan, Nasru bin Ali al-Jahdhomi, Nasru bin al-Muhajir, Harun bin Abdullah, Yahya bin al-Fadh al-Khiraqi, Yahya bin Ma‟in.
Antara komen para ulama kritik hadis ialah dari Abu Hatim168 ; “Shoduq, shaleh hadits.”169 Ibnu Hibban menyenaraikan Abdul Shamad bin Abdul Warith dalam kitab
167 Jamaluddin al-Hajaj Yusuf al-Mizzi, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh Basar I‟wad Ma‟ruf, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, (Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983), Juzuk ke-18, Nomor 3431, hlm 99-102.
168 Abdul Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris bin Munzir at-Tamimi al-Hanzhali ar-Razi, Jarh wa‟at‟ Ta‟dil,(Penerbit:Darul Kutub Ilmiah,Beirut, Lubnan, 1952), Juzuk ke-6, nomor 269, hlm 50.
169 Shoduq, shaleh hadits : Tingkat kedua daripada ta‟dil, hukumnya boleh dijadikan hujah menurut an-Nawawi, Tingkat keempat daripada ta‟dil menurut Syeikh Manna al-Qaththan. Rujuk : Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, ( Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005 ), hlm 88- 89. Rujuk : Imam an-Nawawi, al-
75
ast-Tsiqaat, dan dia menambah bahwa Abdul Shamad meninggal pada 207 H. Ali ibnu al-Madini mengatakan gurunya itu tsiqah. Begitu juga Ibnu Numair, Ibnu Qana‟ dan Ibnu Sa‟ad, masing-masing mengatakan bahwa Abdul Shamad itu adalah periwayat yang tsiqah. Imam Hakim pula menambah komentar dengan mengatakan tsiqah ma‟mun.170
Kritik yang ditujukan kepada Abdul Shamad bin Abdul Warith adalah mengacu pada sifat keadilan, ke-dhobit-an dan ke-tsiqah-an beliau yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang perawi yang tsiqah. Jika ditelusuri dari pertemuan antara guru yaitu Hammad bin Salamah dengan anak muridnya yakni Abdul Shamad bin Abdul Warith, maka jelaslah mereka berdua telah bertemu apalagi sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadis ini adalah „haddasana‟.171 Dengan itu dapatlah dikatakan bahwa periwayatan ini adalah muttasil.

Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa periwayatan ini tergolong positif dan periwayatannya dapat digunakan sebagai dalil. Hal ini adalah karena ianya sejalan dengan tiga kaedah ilmu jarh dan ta‟dil, yaitu berkenaan perawi, kaedah jarh akan didahulukan berbanding ta‟dil. Kaedah kedua pula ta‟dil didahulukan daripada jarh. Abdul Shamad bin Abdul Warith telah mendapat ta‟dil yang lebih banyak daripada jarh oleh kalangan ulama kritik hadits dan kaedah ketiga yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.

5. Hudbah bin Khalid

Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati as-Sunan al-Basyir wa an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 48.
170 Ahmad bin Ali bin Hajar Syihabuddin al-Asqolani, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Ibrahim Zaibaq dan Adil Mursyid, Tahzibu Tahzib(Penerbit : Madrasah Risalah, 1995), Juzuk ke-2, hlm 580.
171 Lambang „Haddasana‟ : Dipergunakan dalam metode sama‟, artinya seorang murid mendengarkan penyampaian hadis dari seorang guru (syaikh) secara langsung. Guru membaca, murid mendengarkan bacaannya. Di sini tampaknya guru lebih aktif, tetapi murid dituntut lebih aktif karena mereka dituntut mampu menirukan dan hafal apa yang dia dengar dari guru. Hadis yang menggunakan lambang periwayatan tersebut dalam segala tingkatan sanad berarti bersambung (muttashil), masing-masing periwayat bertemu langsung dengan syaikhnya. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013), hlm 110.

Hudbah bin Khalid bernama lengkap Hudbah bin Khalid bin al-Aswad bin Hudbah al-Qaisi ath-Thaubani al-Basri.172 Seorang hafizh shodiq dan musnid di zamannya. Sebagian ulama menyebut nama beliau adalah Haddab dan beliau adalah ulama tabi‟in dari thobaqat kedua belas. Beliau bersaudara dengan Umayyah bin Khalid dan mereka berdua dari Bani Qa‟is bin Thauban. Kunyah beliau adalah Abu Khalid al-Azdi ath-Thaubani al-Basri.173 Beliau lahir pada tahun 140 H.174 Ulama berkhilaf tentang tahun kewafatan beliau, namun yang lebih banyak mengatakan wafatnya pada 239 H.175

Antara guru-guru beliau yang beliau meriwayatkan hadis dari mereka adalah ; Aban bin Yazid al-Attar, Agh‟lab bin Tamim asy-Syagh‟wazi, saudaranya yaitu Umayyah bin Khalid, Jarir bin Hazam, Hazam bin Abi Hazam al-Khutta‟ei, Hammad bin Ja‟du, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Dailam bin Azwan, Raja‟ bin Abi Yahya al-Harasyi, Sulaiman bin al-Mughirah, Suhail bin Abi Hazam al-Khutta‟ei, Sallam bin Miskin, Syubaik bin A‟izbon Munaqqal al-Azdi, Abdul Wahid bin Safwan bin Abi Ayyash al-Madani, Shadaqah bin Musa ad-Daqiqi, Ubaid bin Muslim Sohib as-Sabiri, Abi Janib A‟un bin Zakwan al-Qassab, Mubarak bin Fudhalah, Muhammad bin Bakar al-Bursani, Harun bin Musa an-Nahwi, Hammam bin Yahya, Abi Hilal bin Rasib.
Anak-anak muridnya yang meriwayatkan hadis dari beliau antaranya ; Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibrahim bin Muhammad ibnu Haris ibnu Na‟ilah al-Asbahanie, Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Sa‟id al-Marwazi al-Qadhi, Abu Ya‟la Ahmad bin Ali bin al-Muthanna al-Maushali, Abu Bakar Ahmad bin Amru bin Abi A‟sim, Abu Bakar Ahmad bin Amru bin Abdul Khaliq al-Bazzas, Ahmad bin Amru al-Khatirani, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Attar al-Ubli, Ahmad bin Mahdi bin Rustum al-Asbahanie, Ahmad bin Yahya bin Jabar al-Balazuri, Ishaq bin Isma‟il al-Julaki al-Asbahanie, Asad bin Amar at-Tamimi, Isma‟il bin Abdullah al-Asbahanie Sammawaih, Baqi bin Makhlad al-Andalisi, Tamim bin Muhammad ath-Thusi, Ja‟afar bin Muhammad al-Firyabi, Haris bin Muhammad bin Abi Usamah, Harb bin Isma‟il al-Kirmani, Hassan bin Sufyan asy-Syaibani, Abu Ma‟syar al-Hasan bin Sulaiman ad-Darimi, al-Hasan bin Thayyib as-Syuja‟ei al-Balqi, Hasan bin Ali bin Syubaib al-Ma‟mari, Husain bin Mu‟az bin Harb al-Akhfash, Khamdun bin Ahmad as-Simsar, Zakaria bin Yahya as-Sijzi, Zuhair bin Muhammad bin Qumair al-Marwazi, Abu Hasan Sa‟id bin Ash‟ghos as-Sijistani, saudara Abu Daud, Sulaiman bin Hassan bin Minhal saudaranya Hujjaj bin Minhal, Sayyar bin Nasr, Abbas bin al-Fadhlu al-Asfathi, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal,176 Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz al-Baghawi, Abdul Rahim bin Munib al-Marwazi, Abdan bin Ahmad al-Ahwazi, Abu Zur‟ah Ubaidullah bin Abdul Karim ar-Razi, Usman bin Khurraz al-Anthoki, Ali bin Ahmad bin Bishtam az-Za‟farani, Ali bin Abdul Aziz al-Baghawi, Abu Sa‟id Imran bin Abdul rahim al-Asbahanie, Imran bin Musa bin Mujasyi‟ al-Jurjani, al-Fadhlu bin Soleh al-Hasyimi, al-Fadhlu bin Muhammad ath-Thabari al-Balkhi, Qasim bin al-Abbas al-Ma‟syari, Abu Ja‟afar Muhammad bin Ahmad bin Yahya bin Qadha al-Jauhari al-Basri,Abu Hatim Muhammad bin Idrus ar-Razi, Muhammad bin Ayub bin Yahya bin Dhurais ar-Razi, Muhammad bin Basyar bin Matar saudara Khattib bin Basyar, Muhammad bin Abdullah bin Rustat al-Asbahanie, Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman al-Hadhrami, Muhammad bin „Ali bin Ruh al-Kindi, Muhammad bin al-Fadhlu bin Musa al-Qisthani, Muhammad bin Ma‟dan al-Khutta‟ei, Muhammad bin Nasih as-Siraj, Muhammad bin Yahya al-A‟mmi, Muhammad bin ya‟akub al-Karabisi, Musabbih bin Hatim al-Ukli, Musa bin Zakaria al-Fusfari, al-Haitham bin Basyar, Yahya bin Muhammad bin al-Bukhtari al-Hina‟ei, Yusuf bin A‟sim ar-Razi, Yusuf bin Ya‟akub al-Qadhi.

Di antara ulama yang berkomentar mengenai periwayat ini adalah Yahya bin Ma‟in, daripada riwayat Ali bin Husain al-Junaid ar-Razi, bahwa dia berkata ; “Tsiqah.”
Abu Hatim mengatakan Hudbah shoduq.178 Imam an-Nasa‟ei, Imam Bukhari dan Imam Muslim mengatakan dho‟if.179 Imam Ibnu Hibban menyenaraikan nama beliau di dalam kitab beliau yaitu „ast-Tsiqaat‟. Abu Ahmad bin Adi mengatakan ; “shoduq, tidak mengapa padanya.” Ibnu Qana‟ pula berkomentar mengatakan beliau „shaleh‟. Maslamah bin Qasim mengatakan bahwa Hudbah adalah ulama Basrah yang tsiqah.180Juga yang terakhir adalah Abu Zur‟ah yang turut memberikan komentar bahwa beliau adalah shoduq.181
Kritik yang ditujukan kepada Hudbah bin Khalid bin al-Aswad bin Hudbah al-Qaisi ath-Thaubani al-Basri adalah mengacu pada sifat keadilan, ke-dhobit-an dan ke-tsiqah-an beliau yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang perawi yang tsiqah. Jika ditelusuri dari pertemuan antara guru yaitu Abdul Shamad bin Abdul Warith dengan anak muridnya yakni Hudbah bin Khalid, maka jelaslah mereka berdua telah bertemu apalagi sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadis ini adalah „haddasana‟.Dengan itu dapatlah dikatakan bahwa periwayatan ini adalah muttasil.
 Lambang „Haddasana‟ : Digunakan dalam metode sama‟, artinya seorang murid mendengarkan penyampaian hadis dari seorang guru (Syaikh) secara langsung. Guru membaca, murid mendengar bacaannya. Di sini tampaknya guru lebih aktif, tetapi murid pun dituntut lebih aktif karena mereka dituntut mampu menirukan dan hafal apa yang ia dengar dari guru. Hadis yang menggunakan lambang periwayatan tersebut dalam segala tingkatan sanad berarti bersambung (muttashil), masing-masing periwayat dalam sanad bertemu langsung dengan syaikhnya. Rujuk : Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Penerbit : AMZAR, Jakarta, 2013), hlm110.

Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa periwayatan ini tergolong positif dan periwayatannya dapat digunakan sebagai dalil. Hal ini adalah karena ianya sejalan dengan tiga kaedah ilmu jarh dan ta‟dil, yaitu berkenaan perawi, kaedah jarh akan didahulukan berbanding ta‟dil. Kaedah kedua pula ta‟dil didahulukan daripada jarh. Hudbah bin Khalid telah mendapat ta‟dil yang lebih banyak daripada jarh oleh kalangan ulama kritik hadis dan kaedah ketiga yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.

6. Hasan bin Sufyan

Hasan bin Sufyan bernama lengkap Hasan bin Sufyan bin Amir183 bin Abdul Aziz bin Nu‟man bin Attho‟. Beliau merupakan imam hafizh lagi thabit dan sohibul musnad. Kunyah beliau adalah Abu Abbas as-Syaibani al-Khurasani an-Nasawi. Beliau adalah dari kalangan ulama tabi‟in thobaqat ketujuh belas. Lahir pada pertengahan tahun 280 H bahkan tinggal senegara dengan Imam Abi Abdul Rahman an-Nasa‟ei dan mereka meninggal dalam tahun yang sama yaitu 313 H.

Antara guru-guru beliau adalah ; Ahmad bin Hanbal, Ibrahim bin Yusuf al-Balkhi, Qutaibah bin Sa‟id, Yahya bin Ma‟in, Syaiban bin Farukh, Hudbah bin Khalid, Abdullah bin Muhammad bin Asma‟, Abdul A‟la bin Hammad, Muhammad bin Abi Bakar al-Muqaddami, Abdul Rahman bin Sallam al-Jumahi, Sahl bin Usman, Ishaq bin Rahawih, Sa‟ad bin Yazid al-Farra‟, Hibban bin Musa, Hisyam bin Ammar, Safwan bin Solih, Ibrahim bin Hisyam bin Yahya al-Ghassani, Isa bin Hammad, Muhammad bin Rummah, Ibrahim bin al-Hajjaj al-Sami, Abdul Wahid bin Ghiyath, Abi Kamal al-Jahdari, Suwaid bin Sa‟id, Ubaidullah bin Muaz, Muhammad bin Abdullah bin Ammar dan lain-lain.

Antara anak murid yang menerima dan meriwayatkan hadis dari beliau adalah ; Imam Ibnu Khuzaimah, Yahya bin Mansur al-Qadhi, Muhammad bin Ya‟akub bin Akhram, Abu Ali al-Hafizh, Muhammad bin al-Hassan an-Naqash al-Maqra‟, Abu Amru bin Hamdan, Abu Bakar al-Ismai‟li, Abu Hatim Ibnu Hibban, Ishaq bin Sa‟ad an-Nasawi, Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi, Abdullah bin Muhammad an-Nasawi dan lain-lain.

Di antara ulama yang berkomentar mengenai periwayat ini adalah Hibban bin Musa, Qutaibah dan Ibnu Abi Syaibah yang mana menurut riwayat daripada Abdul Rahman bin Abi Hatim, mereka sepakat mengatakan bahwa Hasan bin Sufyan adalah shoduq.186Imam az-Zahabi pula mengatakan bahwa ; “Hafizh, sohibul musnad wal arbi‟in, tsiqah musnid, aku tidak tahu beliau selain dari itu.”

Kritik yang ditujukan kepada Hasan bin Sufyan bin Amir bin Abdul Aziz bin Nu‟man bin Attho‟ adalah mengacu pada sifat keadilan, ke-dhobit-an dan ke-tsiqah-an beliau yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang perawi yang tsiqah. Jika ditelusuri dari pertemuan antara guru yaitu Hudbah bin Khalid dengan anak muridnya yakni Hasan bin Sufyan, maka jelaslah mereka berdua telah bertemu apalagi sighoh yang digunakan dalam periwayatan hadis ini adalah „akhbarana‟.188 Dengan itu dapatlah dikatakan bahwa periwayatan ini adalah muttasil.

Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa periwayatan ini tergolong positif dan periwayatannya dapat digunakan sebagai dalil. Hal ini adalah karena ianya sejalan dengan tiga kaedah ilmu jarh dan ta‟dil, yaitu berkenaan perawi, kaedah jarh akan didahulukan berbanding ta‟dil. Kaedah kedua pula ta‟dil didahulukan daripada jarh.


Hasan bin Sufyan telah mendapat ta‟dil yang lebih banyak daripada jarh oleh kalangan ulama kritik hadis dan kaedah ketiga yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.


BAB IV

HASIL PENELITIAN KEFAHAMAN HADIS

1. Kefahaman Hadis
Setelah meneliti akan periwayat-periwayat hadis daripada ketiga-tiga sanad hadis, maka dengan ini penulis melanjutkan pula penelitian penulis terhadap kefahaman terhadap hadis yang penulis kaji yakni hadis yang berkaitan dengan tarian yang digunakan oleh golongan pembela tarian sambil berzikir, samada sesuai dengan argumentasi mereka atau jauh tersasar daripada hakikat sebenar maksud hadis tersebut. Hadis pertama yang penulis telusuri adalah ;
“Diriwayatkan oleh Anas r.a bahwa orang-orang Habashah menyajikan seni mereka di depan nabi dan "mereka menari (Yarqasun)" sambil mengatakan: Muhammadun abdun Solih, Nabi bertanya:. Apa yang di katakan? Mereka berkata: Muhammadun abdun solih”.189
Hadis ini setelah dilakukan i‟tibar, maka hasilnya terdapat hadis mutabi‟ lain yang semakna dengannya daripada riwayat Ibnu Hibban dari jalur Hassan bin Sufyan yaitu ;

“Diriwayatkan oleh Anas r.a sesungguhnya orang-orang Habasyah menyajikan seni mereka di depan nabi dan mereka bercakap dalam bahasa yang tidak difahami baginda s.a.w, maka Rasulullah bertanya “apa yang dikatakan? Mereka berkata : Muhammadun abdun solih.”

Maka, apabila ada jalur lain yang turut menyokong sanad hadis yang pertama, ianya dianggap kuat. Lagipula kedua-dua sanad hadis tersebut adalah shahih dan bisa dijadikan dalil untuk dibuat penghujahan. Bentuk matannya adalah hampir semakna di antara matan hadis dari sanad yang pertama dari jalur Imam Ahmad dengan matan dari sanad kedua dari jalur Ibnu Hibban.
Gaya penceritaan periwayat tersebut berbeda dari sudut penstrukturan kalimat. Sebagai contoh, dalam matan hadis dari sanad pertama dibawah jalur Imam Ahmad, tidak terdapat kalimat ; “namun kalimat tersebut wujud di dalam matan kedua dari jalur sanad Ibnu Hibban. Juga dalam matan pertama dari jalur Imam Ahmad itu, wujud kalimat yang mana kalimat tersebut tidak terdapat di dalam matan kedua dari jalur Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya.Matan hadis dari kedua-dua sanad ini jika dilihat dari sudut persamaan struktur kalimat pula, mempunyai persamaan yang banyak, sebagai contoh kalimat, “dan “kedua-dua kalimat tersebut terdapat dalam kedua-dua jalur sanad itu. Jika dilihat dari makna hadis maka ianya termasuk dalam hadis yang semakna.

Jika dilihat dari sudut fungsi nabi Muhammad SAW sendiri dalam penceritaan hadis tersebut, jelas menunjukkan bahwa nabi membenarkan perbuatan tarian dan qasidah atau pujian kepada baginda SAW yang dilantunkan oleh golongan Habasyah tersebut tanpa melarangnya.
Adapun tentang pemahaman terhadap hadis tersebut, Syeikh Abdul Hayy al-Kattani seorang ulama syarah hadis yang mahsyur telah memberikan komentar terhadap hadis tersebut, katanya ; “Sebagaimana yang tersebut di dalam kitab Musnad Ahmad, sesungguhnya mereka menari dan berkata “Muhammad hamba sholih”, zahirnya nabi membenarkannya.”

Bahkan pada bab yang sama juga beliau memberi komentar, yang mana secara tidak langsung menjawab hujah golongan sufi yang membenarkan perbuatan tarian sambil berzikir ;
“Dan lihatlah kata-kata al-Ghazali dalam bab Sima‟ yang terkandung dalam kitab Ihya, wajib memelihara al-Quran daripada mencampur perbuatan memukul dengan duff dan sekalian yang sejenisnya karena gambaran perbuatan tersebut adalah gambaran permainan dan senda-gurau. Maka tidak dibenarkan memukul duff sambil membaca al-Quran pada malam perkahwinan.”

Dari sudut tarian itu sendiri beliau berkata ; “ Pergerakan permainan itu tidak dilarang nabi ketika mana mereka berkata, “ Muhammad hamba sholih,” bukan saja tidak melarang bahkan menyetujui dan menggalakkan mereka. Maka sebutan itu dengan tujuan, yakni penyembahan, taat dan menzahirkan kegembiraan dengan Allah (sebagai tuhan) dan Rasulullah SAW (sebagai pesuruh Allah). Maka karena itu, nabi bersetuju dan kagum dengan perlakuan mereka dan itu juga tanda redha nabi. Adalah salafus soleh menzahirkan atas mereka itu keadaan yang bersangatan ketikamana bergerak berzikir memuji nabi SAW. ”

Syeikh Abdul Hayy al-Kattani juga menaqalkan perkataan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani ; “ Ibnu Hajar menyebutkan dalil yang digunakan oleh golongan sufi pada bab keharusan menari dan mendengar ayat. Dan membantah jumhur karena khilaf tentang dua tujuan. Jika permainan kaum Habasyah itu dengan kelengkapan perang adalah sebagai latihan atas perang maka tiada berharap padanya (tiada masalah), bagi menari dalam keadaan suka dan senda, maka padanya dapat dilihat sesungguhnya tarian itu bukan berdasarkan senda gurau dan permainan semata-mata.”

Beliau juga menaqalkan perkataan Abu Ubaidullah Muhammad as-Syabihi, yang katanya ; “ bahwa hadis tentang tarian yang dipegang kukuh oleh golongan sufi, tidaklah golongan Habasyah itu berniat bermain-main dan senda gurau, tetapi ketika menari niat (tujuan) mereka adalah dengan bercampurnya ingatan, penyatuan hati dan merangkum perbuatan anggota keseluruhannya. Dan itulah tujuan yang sebenar yakni untuk memberi galakan dalam memperbanyakkan zikir dalam setiap keadaan.”

Dan akhirnya Syeikh Abdul Hayy al-Kattani menyebutkan pendiriannya terhadap golongan sufi yang menggunapakai hadis tentang tarian tersebut, kata beliau ; “Aku berkata, faedah tarian dengan berdiri disisi kaum yang berzikir, masih dalam lingkungan nas al-Quran yakni ingatlah Allah ketika berdiri, duduk dan baring, bergoyang atau bergetar-getar.”193
Turut memberikan corak pemahaman tersendiri berkenaan hadis di atas adalah Dr. Aidh Abdullah al-Qarni, beliau menyebutkan hadis tersebut dengan mengaitkan hadis nabi yang lain ; “ Habasyah bermain-main pedang di masjid, ia bukanlah hukum yang terpesong. Apa yang dapat dilihat adalah sunnah nabi membenarkan tarian dalam
193 Abdul Hayy al-Kattani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyah al-Musamma at-Taratib al-Idrayah,(Penerbit : Darul Kutub al-„Arabi, Beirut), Juzuk ke-2, hlm 143.

konsep berdakwah dengan penuh hikmah. Sebagaimana perbuatan kaum Habasyah bermain-main pedang dalam masjid Rasulullah SAW, setiap kali datang masjid, mereka mengambil lembing (tombak) dan menari-nari sebentar sebelum solat. Maka berkata Malik ; “Kaum Habasyah menari dengan kelengkapan perang dan ini tidak dinamakan sunnah yang ditinggalkan bahkan sejalan dengan hadis, yang mana nabi berkehendak untuk melembutkan hati mereka, manusia masuk Islam, mereka mengerumuni nabi SAW lalu berhimpun mereka dua barisan dan mengambil kelengkapan perang, mereka menari dan berkata ; “Muhammad hamba solih.” Mereka membaca syair mereka, seperti, “Muhammad hamba solih,” mereka memuliakan nabi SAW, Saiyidina Umar apabila melihat (perkara tersebut), maka dia menghunuskan pedang, karena Umar memang diketahui sangat kuat berpegang dengan agama Allah, Rasululah berkata ; “Biarkan mereka wahai Umar, supaya Yahudi tahu dalam agama kita ada kelonggaran,” maksudnya daripada perkataan itu ialah untuk memantap dan melembutkan hati mereka dengan keimanan.”

Dr. Aidh bin Abdullah al-Qarni juga menyatakan bahwa paling utama daripada saling bergaduh mengenai keharusan menari ini adalah mengurusi mereka yang tidak shalat, karena nabi datang kepada penduduk Mekah dalam keadaan mereka itu menyembah berhala, sujud pada patung ciptaan mereka dan meminum arak. Kata beliau ; “ Berkata Ibnu Taimiyyah ; “Doktor apabila sakit dibadannya dua jenis penyakit, dia akan merawat salah satu yang lebih utama.” Maka hikmahnya adalah utamakan yang paling utama. Dan maksudnya disini sesungguhnya Rasulullah SAW meninggalkan mereka (kaum Habasyah) kelonggaran, yang mana apabila dilihat kelapangan begitu dalam agama Islam, maka mereka akan beriman.”

Beliau juga turut mengomentari akan qasidah kaum Habasyah itu, kata beliau ; “ Qasidah Habasyah itu memuji nabi SAW, Muhammad hamba sholih, Rasulullah SAW adalah penghancur tradisi penyembahan berhala, ketua segala manusia, menjadi penunjuk kepada manusia. Mereka memuji Muhammad hamba solih, padanya kebaikan.”
Menurut beliau lagi, mereka (kaum Habasyah) berkata sebagaimana dalam Musnad Ahmad, “Muhammad hamba sholih”, karena baginda SAW adalah Rasul bagi sekalian manusia dan penyampai ilmu (guru) bagi mereka. Dr. Aidh menjelaskan ; “ Karena itulah mereka mengatakan Muhammad hamba sholih, karena dia adalah ketua para solihin, Rasulullah SAW tersenyum apabila mendengar pujian tersebut. Dalam riwayat yang shahih, Umar melihat mereka sedang melakukan perkara tersebut, beliau tegas bersuara, “Apakah dalam masjid Rasulullah ?”, maka Rasulullah SAW yang melihat perbuatan Saiyidina Umar itu, Rasulullah SAW berkata ; “Biarkan mereka wahai Umar, supaya mereka tahu dalam agama kita ada kemudahan,” dan dalam riwayat lain yang lebih shahih lafaznya, “Biarkan mereka supaya Yahudi tahu dalam agama kita ada kelonggaran/kemudahan. Bermakna disini terdapat kemudahan, keringanan, kelonggaran dalam agama kita, maka tinggalkan mereka (dengan perbuatan kaum Habasyah tersebut).”196
Dr. Aidh menutup kesimpulannya dengan membawa menyelitkan kisah Nabi Muhammad SAW dan Saiyidatina Aisyah r.a, kata beliau ; “Nabi Muhammad berkata “ Apakah kamu ingin melihat ? atau berkata nabi SAW kepada Aisyah r.a, “Apakah kamu ingin melihat persembahan ini ?,” jawab Aisyah ; “Ya.” Maka Rasulullah SAW mengangkat Aisyah dibelakang bahunya, bertemu antara pipi Aisyah dan pipi nabi SAW, dan Aisyah melihat mereka (kaum Habasyah bermain pedang), sehingga bertanya Rasulullah SAW kepada Aisyah r.a, ; “Kamu puas.” jawabnya ; “Ya.”197
Jadi sebagai kesimpulan daripada kefahaman tekstual hadis pertama yang diberikan oleh para ulama terhadap dalil hadis yang digunakan oleh golongan sufi dalam melegitimasi tarian sambil berzikir ini, penulis mendapati dan bersetuju bahwa secara umumnya, pandangan atau kefahaman golongan sufi terhadap hadis riwayat Anas bin

Malik itu turut senada dengan kefahaman para alim ulama yang telah penulis teliti. Yaitu tidak memandang bahwa menari itu adalah salah dan berdosa selagi mana konsep syariat itu dipatuhi dan tidak membawa kepada mainan dan senda gurau. Bahkan syarat yang diletakkan oleh para alim ulama seperti hendaklah menyatukan ingatan, hati dan perlakuan tersebut semata-mata demi memuliakan Allah dan Rasulullah SAW dan tidak diperbolehkan menari sewaktu bacaan al-Quran haruslah diikuti sepenuhnya. Jika tidak mengikuti apa yang digariskan oleh para ulama, maka perbuatan tersebut dianggap amalan bid‟aah yang menyesatkan.

Secara kontekstual, penulis sendiri berpandangan bahwa sememangnya Rasulullah SAW bersikap dengan penuh hikmah apabila berdepan dengan tradisi kaum Habasyah. Hal ini merupakan contoh metode dakwah yang sangat baik kepada kita. Rasulullah SAW mengiktiraf adat ataupun budaya tradisi yang diamalkan oleh kaum Habasyah itu bahkan meraikannya tanpa mencegah perkara itu selagi mana adat itu tidak berlawanan dengan perkara usul agama. Jika perkara tersebut memang benar tidak menepati syara‟, sudah tentu Rasulullah SAW terlebih dahulu menghalang dan mencegahnya.

Namun perlu penulis nyatakan disini bahwa sebenarnya tarian baik „roqoso‟ atau „hajala‟ itu bukanlah sunnah daripada tubuh Rasulullah SAW sendiri, namun ianya adalah merupakan perbuatan para sahabat nabi khususnya kaum Habasyah semata-mata dan nabi mengakuinya, dalam ilmu hadis dipanggil sunnah taqririah, yakni nabi mengiktiraf tapi nabi tidak melakukannya. Nabi Muhammad SAW meraikan adat tradisi tersebut dalam konteks dakwah, jika kita mengerjakannya, maka kita mengikuti sunnah sahabat dan bukannya sunnah nabi SAW. Nabi Muhammad SAW dengan kemuliaannya dan darjatnya sebagai nabi tidak akan melakukan perbuatan yang begitu. Fungsi nabi SAW sebagai penjaga syariat jelas terlihat disitu yakni menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama rahmat. Nabi Muhammad SAW berlembut karena mereka itu masih baru dalam Islam, maka, jika golongan sufi melakukan perkara begitu, mereka seolah-oleh mualaf yang baru memeluk Islam. Namun begitu, mereka tetap berpondasikan dalil yang

shahih dan itulah yang paling penting, walaupun perbuatan yang dilakukan mereka itu sebenarnya kurang sesuai dilaksanakan oleh mereka yang telah sempurna dan mantap Islam, Iman dan Ihsannya.
Menurut penulis dari hadis ini juga sebenarnya dapat ditarik hukum seputar fiqh hadits, yaitu jika budak-budak kecil atau mereka yang baru memeluk Islam melakukan sesuatu yang kurang baik dari sudut adabnya, yakni misalnya budak-budak itu berlari-lari atau bersembang di dalam kawasan masjid atau mualaf masuk ke masjid dengan bersembang hal tertentu macam mereka di luar masjid, maka kita hendaklah bijaksana dan kreatif dari sudut dakwah untuk mengajak mereka kepada mengenal Allah.

Perbuatan Nabi Muhammad SAW dalam hadis tersebut tidak langsung menggambarkan bahwa nabi cepat marah dan cepat menghukum dengan menggunakan dalil syariat sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian golongan ekstrimis atau pelampau Islam yang wujud di zaman ini. Oleh karena itu, pendakwah hendaklah menunjukkan kemudahan di dalam Islam sebagaimana nabi tunjukkan, tidak boleh hanya rigid dan kaku dengan batas hukum saja. Bersikap lembut akan membuatkan mereka tertarik dengan Islam. Tawanlah hati mereka dengan akhlak yang ditunjukkan nabi seperti dalam hadis di atas yakni nabi hanya tersenyum melayani karenah mereka itu. Nah, senyum itu adalah akhlak nabi yang mana nabi turut merangsang psikologi sahabat untuk lebih riang dan suka hati karena nabi memberikan perhatian kepada perbuatan mereka itu walaupun sebenarnya perbuatan menari tradisi kaum Habasyah itu kurang cerdik, namun tradisi seperti itu tidak menggugat kemuliaan Islam malah Islam sendiri melindungi tradisi-tradisi milik kaum Muslimin selain Habasyah selagi mana ianya tidak bertentang dengan syariat.

Hadis kedua yang penulis teliti akan kefahaman hadis mengenainya adalah seperti berikut ;

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Aswad bin „Amir : Telah mengkhabarkan kepada kami Isra‟el, dari Abu Ishaq, dari Hani‟ bin Hani‟, dari „Ali r.a, ia berkata : Aku, Ja‟far, dan Zaid mendatangi Nabi s.a.w., Beliau berkata kepada Zaid : “Engkau adalah maulaku”. Lalu Zaid pun melompat-lompat karena gembira. Beliau berkata kepada Ja‟far : “Engkau mirip denganku dan akhlaqku”. Maka ia (Ja‟far) pun melompat-lompat di belakang Zaid. Dan beliau s.a.w. berkata kepadaku : “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu”. Lalu aku pun melompat-lompat di belakang Ja‟far.”198

Hadis kedua daripada penelitian penulis ini merupakan hadis yang agak bermasalah jika dilihat dari sudut kualitas sanad hadisnya. Kritik yang utama para ulama adalah menyangkut soal ke-majhul-an periwayat bernama Hani bin Hani dalam jalur sanad hadis tersebut. Jadi sebagaimana biasa, para ulama kritik hadis terbahagi menjadi dua kelompok, yakni ada yang menolak periwayatan ini dan ada juga yang menerima.

Antara ulama kontemporer yang keras menolak hadis ini berdasarkan kualitas sanadnya adalah Syeikh Ali Hasyis dalam kitabnya, „Silsilah Ahadith al-Wahiyah wa Shahih Hadithuka,‟ kata beliau ; “ Kisah (riwayat Saiyidina Ali) itu tidak shahih dan sanadnya datang wahi dengan dua illah, yang pertama Hani bin Hani tidak diketahui, 198 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, di tahqiq oleh Shuaib Arnout, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 1/108 hadis nomor 857, hlm 213.

diwaridkan oleh al-Hafiz Imam al-Mizzi dalam kitab Tahzibu Kamal, dia berkata ; “Hani bin Hani al-Hamdani al-Kufi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan mengambil hadis darinya oleh Abu Ishaq dan tidak merawikan hadis darinya selain Abu Ishaq as-Sab‟ei. Berkata al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitab Tahzibu Tahzib, menyebutkannya Ibnu Sa‟ad dalam kalangan thabaqat pertama daripada ahli Kufah. dan berkata para ahli ilmu didalam bidang hadis, tidak menyebutkan hadisnya karena tidak mengetahui asal usul serta keadaan perawinya.”

Komentar yang sama juga diberikan oleh Syeikh Muhammad Saqqar bahkan beliau menambah ; “Hadis ini diriwayatkan Baihaqi dalam „Dala‟il Nubuwah‟ daripada jalan al-Waqidi. Berkata al-Hafiz Ibnu Hajar, matruk, berkata Imam Zahabi ; “Berkata Bukhari dan selainnya matruk.” Diriwayatkan juga dalam Musnad Ahmad dan Bazar dalam Musnadnya dan Dhiya‟ul Maqdisi dalam „Ahadith al-Mukhtarah‟ dan Baihaqi dalam Sunan Kubra201 daripada jalan Hani bin Hani al-Hamdani al-Kufi.”Syeikh Shu‟aib Arnout juga mengatakan sanad hadis ini dha‟if disebabkan oleh Hani bin Hani.

Penyakit kedua di dalam hadis tersebut menurut para ulama ialah mengacu kepada pen-tadlis-an periwayat seterusnya yaitu Abu Ishaq as-Sab‟ei. Berkata Ibnu Hajar dalam „Thabaqat Mudallisin,‟ nomor dua puluh lima ; “Amru bin Abdullah as-Sab‟ei al-Kufi mahsyur dengan tadlis.” Bahkan Ibnu Hajar menyebutkan di dalam muqaddimah kitabnya itu bahwa tingkatan ketiga dari mudallisin yang mana Abu Ishaq tersenarai di dalamnya, kata beliau ; “Sesiapa yang banyak melakukan tadlis maka tidak berhajat para imam terkemuka hadis dengan hadis mereka itu kecuali beberapa.”
dalam kitab „Mau‟su‟ah a‟la Sufiah,‟ bahwa Abu Ishaq merupakan mudallis yang bercelaru, dan tidak soreh mendengarkan hadis dari jalur beliau ini, maka hukum sanad ini terputus sebagaimana yang diketahui dalam ilmu hadis.

Betapa ramai ulama kontemporer yang berpandangan seperti itu, secara akademis, penulis turut bersetuju dengan hujah di atas dan tetap dengan prinsip ilmu hadis yang penulis yakini, yakni jika mengacu kepada periwayat pertama hadis ini, yaitu Hani bin Hani, ke-majhul-an beliau membawa arti hadis tersebut dha‟if, kekurangan pengetahuan daripada ulama kritik hadis berkenaan perihal beliau adalah merupakan kelemahan paling utama karena tidak dapat melacak sisi peribadinya dan keadaan hidupnya, penulis sendiri juga tidak bersependapat dengan Imam Ibnu Hibban yang menyenaraikan bahwa Hani bin Hani adalah tsiqah,205 karena terdapat kaedah hadis menyebutkan jarh didahulukan daripada ta‟dil. Al-Ijli juga sepakat meletakkan Hani bin Hani sebagai senarai periwayat thiqah di dalam kitab beliau berjudul „Ma‟rifah at-Tsiqaah‟.206 Walaupun begitu, Ibnu Sa‟ad telah jelas memecahkan sedikit ke-majhul-an beliau itu dengan mengatakan bahwa Hani bin Hani adalah seorang syi‟ah dan munkar hadisnya.

Sebaiknya dalam soal berhubung dakwah, perlu kita menjadi mutawassit, yakni lebih moderat dan berada ditengah-tengah itu lebih bijak dalam mendekati masyarakat. Namun golongan ulama mutasyadid dan muttasahil dalam agama juga diperlukan karena perkara tersebut sebenarnya menatijahkan hukum dari segi fiqh dan menyeimbangkan neraca hukum terhadap perbuatan masyarakat Muslim sedunia. Tetapi dari sudut menjadikan dalil agama, seharusnya ulama mutasyadid lebih didahulukan karena atas dasar ihtiyat yakni berhati-hati terhadap perkara usul agama. Jika tidak, kualitas agama kita akan dipertikai mereka yang non-muslim atas rasional akal mereka. Islam berdiri di atas pondasi dalil yang jelas dan qat‟ei bukan zhanni, namun untuk membawa hukum-hukum atau undang-undang Islam ketengah-tengah masyarakat, memerlukan kemudahan atau kefleksibalan yang wujud dalam Islam untuk mengembangkan lagi syiar dakwah dan memperbanyakkan ahli tauhid yang beriman kepada Allah.

Begitu juga dengan periwayat bernama Abu Ishaq as-Sab‟ei, walaupun beliau dipertikai pada pen-tadlis-annya. Sebenarnya, di sisi kewajaran bersangka baik dalam penelitian penulis, mungkin saja beliau tidak bermaksud men-tadlis-kannya karena menurut para ulama besar kritik hadis, beliau adalah seorang yang tsiqah, lagipula dimanakah senarai lengkap hadis yang pernah di-tadlis beliau, jika tiada senarainya, maka hadis yang penulis kaji ini masih berkualitas shahih dan masih dinilai valid juga maqbul dan ma‟mul bihi bahkan menurut penelitian penulis, memang tiada senarai tersebut dan penulis berpandangan itu semua hanya tohmahan saja karena tiada bukti. Nabi sendiri bersabda dalam sebuah hadis yang dinilai al-Albani sebagai shahih yaitu ;

Artinya :“Menceritakan kepada kami Ali bin Hajar, memberitahu kepada kami Ali bin Mashar dan selainya daripada Muhammad bin Ubaidullah daripada Amru bin Shu‟aib daripada ayahnya daripada datuknya bahwa sesungguhnya nabi SAW bersabda di dalam khutbah beliau : “Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat.”

Dalam hal ini, An-Nawawi sendiri ada membahagikan tadlis kepada dua bahagian, yang pertama tadlis al-isnad, yaitu tadlis pada sistem sanad. Bentuknya, seorang periwayat meriwayatkan sebuah hadis yang tidak pernah diterimanya dari rawi lain yang semasa dengannya. Dia salah menduga bahwa hadis itu memang dia terima daripada periwayat tersebut. Dia mengatakan, “Fulan mengatakan,” “Dari fulan,” atau yang sejenisnya. Bahkan kadang-kadang dia tidak menggugurkan gurunya atau orang lain, padahal orang-orang itu rawi dha‟if atau rawi junior. Itu semua dilakukan demi untuk menaikkan posisi hadisnya ke posisi yang lebih baik.209
Keduanya, tadlis syuyukh yang berarti pen-tadlis-an pada guru hadis yaitu bentuknya seperti seorang periwayat menyebutkan, memberi julukan(kunyah), menisbatkan atau mendeskripsikan seorang guru dengan sebutan, julukan, nisbat atau deskripsi yang tidak diketahui.

Menurut Imam Nawawi, modus tadlis yang pertama sangat dimakruhkan dan dicela oleh para ahli hadis. Sekelompok ahli hadis mengemukakan teori berikut ; “Jika ada seorang rawi diketahui melakukan modus tadlis yang pertama ini, maka dia akan menjadi seorang rawi yang majruh dan ditolak setiap periwayatannya, meskipun dia telah menjelaskan bahwa dia memang benar-benar menerima hadis yang diriwayatkannya.” Namun Imam Nawawi menyatakan bahwa pandangan yang benar adalah harus melihat sesuatu itu secara proporsional. Beliau berkata ; “Hadis yang diriwayatkan dengan redaksi yang berpotensi adanya pen-tadlis-an dan rawinya tidak menjelaskan bahwa hadis itu memang benar-benar dia terima, maka hadis tersebut akan menjadi hadis mursal. Sedangkan untuk hadis yang dia jelaskan bahwa hadis tersebut memang benar-benar dia terima dengan menggunakan istilah teknis seperti, sami‟tu, haddasana, akhbarana, atau sejenisnya, maka hadisnya bisa diterima dan dijadikan hujah.”

Untuk modus pen-tadlis-an cara kedua, tingkat kemakruhannya lebih ringan dari modus pertama. Ini disebabkan adanya pembelokan pada jalur yang diketahui rawi hadis tersebut. Kemakruhannya akan bervariasi mengikut tujuan yang hendak dicapai perawinya. Lantaran rawi yang diubah namanya adalah rawi yang dha‟if, junior, wafatnya belakangan atau dia menerima banyak hadis dari perawi-perawi itu, sedang dia tidak mampu mengulangnya dalam satu bentuk. Karenanya al-Khatib dan ahli hadis lainnya mentolelir pen-tadlis-an modus kedua ini. 210
Berdasarkan hujah daripada Imam Nawawi ini, maka menurut penulis, Abu Ishaq dapat di golongkan dalam kategori tadlis yang pertama berpondasikan pada kisah Ibnu Ali al-Madini yang menukilkan pandangan Syu‟bah terhadap Abu Ishaq dalam kitab „al-Ilal‟, bahwa Syu‟bah berkata ; “Aku mendengar Abu Ishaq menceritakan hadis yang diriwayat daripada Haris bin Azma‟, maka aku bertanya beliau apakah engkau mendengar daripadanya yakni Haris ? Abu Ishaq menjawab ; “Menceritakan kepadaku Mujalid bin Sya‟bi.”211Tetapi hadis tersebut menjadi mursal sebagaimana hukum Imam Nawawi di atas tersebut karena sighoh yang digunakan adalah „haddasani‟.
Namun, tuduhan yang mengatakan beliau bercelaru pemikirannya dikala usianya melangkah senja, menurut hemat penulis menjadi semakin kuat untuk tidak menerima hadis ini sebagai hujah, karena walaupun tiada contoh matan hadis yang di-maqlub beliau, atau di-idraj beliau juga dipalsukan oleh beliau bahkan dari segi tadlis sendiri, tidak terbukti bahwa matan hadis yang penulis kaji merupakan salah satu daripada matan hadis yang di-tadlis beliau, namun atas dasar disiplin dan prinsip ilmu hadis serta ihtiyat dalam hal dasar-dasar agama, maka penulis menghindar periwayatan ini karena tadlis sendiri menyangkut adalah seseorang periwayat dan mukhtalit menyangkut dhabit adalah dua perkara yang besar bahkan mencacatkan ke-thiqah -an beliau.

Sebenarnya, penulis tidak keberatan untuk bersama-sama menghukumkan beliau sebagai seorang yang bermasalah. Walaupun dari sudut periwayatan hadis sendiri,banyak ulama kritik hadis menggolongkan Abu Ishaq sebagai periwayat yang terpercaya, namun ulama yang mengkritik beliau lebih rajih hujahnya karena kritik terhadap beliau mengacu soal adalah dan ke-dhabit-an beliau. Bertepatan juga dengan kaedah kritik hadis yaitu, jarh didahulukan daripada ta‟dil. Abu Ishaq Amru bin Abdullah as-Sab‟ei al-Kufi telah mendapat jarh yang lebih banyak daripada ta‟dil oleh kalangan ulama kritik hadis dan kaedah kedua yang menunjukkan prinsip penulis ialah apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.

Adapun untuk para periwayat selain mereka berdua dalam jalur sanad ini, berdasarkan penelitian penulis, tidak terdapat masalah yang dikritik oleh para ulama.

Berkenaan penstrukturan serta redaksional kalimat dalam matan hadis itu pula, sepanjang penelitian penulis, memang matan hadis tersebut datang secara afrad, yakni tidak terdapat dalam kitab mulhaq kitab matan hadis yang muktabar, yaitu „Shahih Bukhari‟, „Shahih Muslim‟, „Sunan Abu Daud‟, „Sunan Tirmizi‟, „Sunan Nasa‟ei‟, „Sunan Darimi‟, „Shahih Ibnu Khuzaimah‟, „Sunan Ibnu Majah‟,„Shahih Ibnu Hibban‟, „Muwatha‟ Malik‟ dan „Jami‟ al-Ulum wal Hukmu Muhaqiqu.‟ Satu-satunya jalan datangnya dari Musnad Imam Ahmad. Maka disini muncul pula perbahasan yang baru yaitu, sanadnya shahih, tetapi matannya munkar.

Al-Bardiji mendefinisikan hadis munkar sebagai hadis yang tunggal matannya, tidak diketahui dari jalur yang lain selain dari jalur rawi hadis itu sendiri. Bahkan menurut an-Nawawi definisi ini merupakan pegangan mayoritas ahli hadis.212Imam an-Nawawi turut membahagikan hadis tunggal menjadi dua bagian, yang pertama hadis tunggal yang tidak diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain selain rawi hadis tersebut, yakni matan tersebut hanya diriwayatkan daripada rawi hadis berkenaan saja dan yang kedua hadis tunggal yang relatif, yaitu hadis tunggal yang ketunggalannya ditinjau dari
212 Muhyidin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir liMa‟rifati Sunan al-Basyir an-Nazir, Diterjemah oleh Syarif Hade Masyah, Dasar-Dasar Ilmu Hadis,(Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009), hlm 28.
97
satu sisi. Seperti komentar para ahli hadis berikut ini ; “Tafarrada bihi ahlu Makkah wa al-Syam,” yang berarti hadits ini hanya diriwayatkan oleh rawi-rawi Mekah dan Syam atau “Tafarrada bihi fulan an fulan,” yang berarti hadis ini hanya diriwayatkan fulan dari fulan dan komentar komentar lain yang sejenisnya.

Menurut Imam Nawawi, komentar-komentar seperti ini tidak selalu berarti bahwa hadis itu dha‟if kecuali jika periwayatan tunggal, misalnya orang-orang Madinah, dimaksudkan sebagai periwayatan tunggal salah seorang periwayat yang tinggal di Madinah dan bukan semua.213 Jadi, berdasarkan teori yang diberikan oleh Imam Nawawi tersebut dan penelitian penulis terhadap kitab hadis kutub asyarah, maka matan hadis ini tergolong dalam kategori dha‟if.

Syeikh Shu‟aib Arnout telah mengomentari lafaz „hajala‟ dalam matan hadis tersebut sebagai munkar gharib.214

Adapun berkenaan kefahaman tekstual disebalik hadis tersebut, menurut Ibnu Hajar al-Haithami dalam kitab „al-Fatawa al-Haditsiah‟, beliau telah ditanya tentang tarian sufiah ketika berzikir pada halaman 212, jawab beliau ; “Benar, padanya (kelakuan itu) asal, maka sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Ja‟afar bin Abi Thalib menari di hadapan nabi SAW karena Rasul menyebut ; “Kau menyerupaiku bentuk tubuhku dan akhlakku,” hal itu (tarian) adalah karena lazat percakapan tersebut dan perbuatan menari itu tidak diingkari Rasulullah SAW. Maka itulah dalil bagi perbuatan tarian sufi, dengan hadits ini juga al-Ghazali dalam kitab „Ihya‟ Juz ke-2 halaman 331, Muhammad Tahir al-Maqdisi dalam kitabnya „Sifat Ahli Tasawuf‟, halaman 157.”215
Penulis juga sempat bertanyakan sendiri kepada Dr. Yusri bin Mohamad, Timbalan Yang Dipertua Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia, pada tanggal 8 November 2014 di Mess Pelajar Malaysia Jambi, Indonesia, tentang tekstual hadis ini, beliau berkata ; “Hadis itu sinonim dengan golongan sufi, pada pandangan saya tidak

salah, cuma tarian tersebut hendaklah atas zouq yakni rasa gembira dan tidak melakukannya ditempat yang menimbulkan fitnah sehingga manusia menolaknya, perlakukannya tiada masalah, cuma elakkan dari manusia yang tidak mengerti mengenainya.”
Penulis juga dari sudut pemahaman tekstual terhadap hadis tersebut bersetuju dengan Ibnu Hajar al-Haithami dan Dr. Yusri bin Mohamad, yakni perbuatan tersebut berlaku karena sekalian sahabat nabi yang disebut didalam hadis itu berasa gembira dan bertindak dibawah ruang kelazatan akibat dari perkataan atau percakapan daripada Rasulullah SAW itu. Makna itu sendiri menurut Ibnu Manzur ialah ; “216yakni perbuatan mengangkat sebelah kaki dan meloncat yang satu lagi didorong oleh perasaan gembira. Maka perbuatan Zaid r.a, Ja‟afar r.a, dan Ali r.a itu adalah sebenarnya perbuatan yang disengajakan. Hal ini adalah karena perbuatan itu berturut-turut sebanyak tiga kali. Jika sekali, yaitu bermula pada Ja‟afar r.a saja, dan beliau meloncat-loncat karena tindakan spontan itu mungkin logik, tetapi perbuatan yang sama dengan gaya yang sama di hadapan Rasulullah SAW boleh difahami disini bahwa meloncat-loncat itu adalah perbuatan yang memang disengajakan dan nabi merestuinya.

Konsep pengakuan nabi pada perbuatan mereka itu adalah karena nabi amat memahami, mereka itu menari dan meloncat-loncat dihadapan beliau adalah karena gembira dengan ucapannya. Siapa saja yang tidak gembira apabila Rasulullah SAW memuliakan seseorang itu dengan diri baginda nabi SAW yang sangat mulia, jika penulis sendiri, sudah tentu penulis meloncat-loncat melebihi perbuatan sahabat itu. Hadis di atas menunjukkan sebuah suasana yang gembira dan riang di antara nabi SAW dengan para sahabatnya. Di sana juga menunjukkan rasa cinta yang mendalam Nabi Muhammad SAW terhadap ketiga-tiga sahabatnya itu dan kecintaan para sahabat nabi pada nabi SAW


yang hebat malah semakin meluap-luap sehingga menari-nari karena mereka tahu dan dengar sendiri bahwa cinta mereka dibalas dengan kata-kata yang menyentuh perasaan mereka.

Dari sudut kontekstual hadis di atas, penulis sendiri telah menelusuri asbab al-wurud atau sebab-sebab berlakunya peristiwa hadis ini, latar belakangnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi : “Telah mengikuti Ali r.a, anak perempuan Hamzah r.a, dia memanggil : “paman, paman.” Maka Saidina Ali r.a pun menolongnya, memegang tangannya lalu berkata kepada Saidatina Fatimah r.a : “anak pamanmu.” Maka Saidatina Fatimah r.a membawanya. Maka telah berebut akan anak perempuan Saidina Hamzah r.a itu, Ali, Zaid bin Harisah dan Ja‟afar bin Abi Thalib, maka berkata Ali r.a : “Aku akan mengambilnya, dia anak perempuan paman sebelah ayahku.” Berkata Ja‟afar r.a : “Dia anak perempuan paman (sebelah ayahku) dan ibu saudaranya (sebelah ibu) dari sisiku.” Dan berkata Zaid bin Harisah : “Anak perempuan dari saudaraku.” Maka Rasulullah SAW memerintahkan anak perempuan Hamzah r.a itu diserahkan kepada ibu saudara sebelah ibunya. Dan baginda berkata : “Ibu saudara (sebelah ibu) dirumah ibu.”(yakni dirumah Ja‟afar r.a), maka baginda bersabda kepada Zaid r.a : “Kamu saudaraku dan maulaku,” maka menari (dengan mengangkat satu kaki, satu kaki lagi meloncat dengan penuh kegembiraan) Zaid r.a, baginda berkata kepada Ja‟afar r.a :
 “Kamu menyerupaiku dari segi penciptaan dan akhlakku,” maka menari (sebagaimana bentuk tarian Zaid r.a tadi) Ja‟afar r.a dibelakang tarian Zaid r.a. Kemudian baginda berkata kepadaku yakni Saidina Ali r.a : “Kamu dariku dan aku darimu,” maka aku menari dibelakang tarian Ja‟afar r.a. Setelah itu Saidina Ali r.a bertanya kepada Rasulullah SAW : “Tidakkah engkau mengahwini anak perempuan Saidina Hamzah r.a,” Nabi menjawab : “Sesungguhnya dia perempuan saudaraku satu susuan.”

 Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Khusrawjiradi al-Khurasani Abu Bakar al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, Ditahqiq oleh Muhammad Abdul Qadir Atha, as-Sunan al-Kubra, (Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 2003), Juzuk ke-8, hlm 9.

Namun dalam asbabul wurud hadis ini, juga sebenarnya menunjukkan bahwa wujudnya suasana ketegangan di antara ketiga-tiga sahabat nabi itu karena merebutkan anak perempuan Saidina Hamzah r.a untuk dijaga dan dibela oleh mereka masing-masing sebelum terjadi suasana pengakhiran yang dipenuhi kesukaan dan kegembiraan yang mengagumkan.

Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai syariat agama telah memutuskan bahwa anak perempuan Saidina Hamzah r.a diberi kepada keluarga Ja‟afar r.a, dari situ dapat ditarik kesimpulan fiqh al-hadits bahwa sunnah menyerahkan anak saudara perempuan kepada ibu saudaranya karena ibu saudara berperan sebagaimana peran ibu. Juga dapat ditarik bahwa mereka yang sesusuan tidak boleh bernikah karena dianggap sebagai mahram.

Hadis ini jika ditinjau dari sudut psikologi, dapat dilihat bagaimana nabi menyelesaikan pertelagahan di antara ketiga-tiga sahabatnya itu dengan penuh kebijaksanaan dan win-win situation, yakni, tanpa membedakan atau merendah-rendahkan salah seorang daripada mereka.

Walaupun secara hakikatnya pembagian itu diserahkan kepada Ja‟afar namun nabi memuji ketiga-tiganya dengan pujian yang mengaitkan perihal nabi dengan diri mereka. Maka disini dapat dilihat bahwa teknis pujian yang digunakan oleh Rasulullah SAW itu berfungsi juga sebagai pencegah mereka bertiga daripada saling bermasam muka dan berdendam di antara satu sama lain disebabkan oleh perebutan kecil hingga mereka saling menisbahkan nasab keturunan. Dapat juga dipahami disini bahwa perbuatan nabi membiarkan mereka menari itu adalah karena ingin menggelakkan mudarat yang lebih besar. Perbuatan menari kerena gembira itu lebih ringan mudaratnya daripada bermasam muka dalam berukhuwah.

Pemahaman golongan sufi terhadap hadis ini dikaitkan dengan ayat al-Quran, Surah Ali-Imran ayat 191 ;

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau, lindungilah Kami dari azab neraka”.

Imam al-Baidhawi, Imam as-Tha‟labi dan kedua-dua Imam Mufassir bernama Jalaluddin telah menafsirkan ayat itu dengan mengatakan bahwa ayat tersebut menunjukkan keperluan mengingat Allah dalam semua keadaan. As-Tha‟labi mengaitkan tafsir ayat itu dengan meletakkan hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sepanjang hidupnya senantiasa mengingat Allah.219Bahkan beliau juga memaksudkan zikir itu ialah lafaz tahmid, tahlil, takbir, hadir hati ketika berzikir.220 Al-Baidhawi turut menambah bahwa ayat ini telah dijadikan dalil oleh Imam Syafie dalam hal tatacara shalat untuk orang yang sakit.221Imam at-Thabari pula mengatakan bahwa ayat itu sebenarnya ditujukan kepada ulul albab itu sendiri. Makna ayat itu adalah qiam dalam shalat mereka, duduk dalam tasyahud mereka dan iring mereka bermakna tidur.

Antara penafsiran yang paling hampir dengan pandangan golongan sufi itu adalah Imam Shihabuddin pengarang Tafsir Alusi. Beliau telah menyenaraikan beberapa penafsiran berkenaan ayat 191, Surah Ali-Imran di dalam kitabnya yaitu, pertama apa yang dikehendaki dari maksud zikir itu ialah zikir dengan lisan dan menghadirkan hati sewaktu berzikir, jika tidak berzikir dengan hadir hati maka zikirnya itu lalai. Kedua, beliau juga menafsirkan ayat tersebut dengan hadis nabi tentang pergerakan solat. Ketiga, beliau mengatakan para ulama muhaqiqin mengatakan maksud ayat ini ialah mengingat Allah secara mutlak baik dari sudut zat, sifat dan af‟al makhluk. Keempat tidak lalai daripada ingat Allah setiap waktu. Kelima, Imam Shihabuddin menghikayatkan sebuah kisah daripada Ibnu Umar r.a, Urwah bin Zubair r.a dan sahabat nabi yang lainnya, bahwa ketika ketika mereka keluar untuk shalat Aid menuju ke tempat sembahyang, maka mereka mengingat Allah ta‟ala, lalu sebagian daripada mereka membaca ayat tersebut, maka bangun mereka berdiri karena ber-tabaruk dengan maksud ayat itu. Itulah jenis muafakat ayat al-Quran dalam cara yang berlainan dan tersendiri.223
Secara umumnya kesemua tafsir di atas mengaitkan ayat itu dengan keharusan berzikir kepada Allah di dalam setiap keadaan. Mayoritas daripada ulama tafsir di atas sepakat menafsirkan bahwa pergerakan qiam, qu‟ud dan baring itu merujuk kepada pergerakan di dalam shalat.
Maka jika direnungi secara kontekstual, berdasarkan penafsiran para ulama tafsir yang telah dilampirkan, penulis secara peribadi bersetuju bahwa ayat itu sebenarnya merujuk kepada pergerakan di dalam shalat, namun pandangan dan tafsiran golongan sufi terhadap ayat ini yang disekalikan dengan hadis nabi di atas mengatakan bahwa zikir secara tarian ini mempunyai pondasi dalam hukum Islam kelihatannya berpijak pada dalil umum penafsiran para ulama di atas.
223 Shihabuddin Mahmud Bin Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruhul Ma‟ani fi Tafsir Quran al-Azim wa Sab‟ul Mathani, Juzuk ke-3, hlm 365.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai uraian dan penjelasan yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa:

a. Untuk metodologi penelitian sanad hadis tertumpu kepada tiga obyek penelitian yaitu ; ittisal sanad, adil, dhabit. Metode penelitian sanad hadis didahului oleh melakukan i‟tibar, meneliti peribadi periwayat serta metode periwayatannya dan menyimpulkan hasil penelitian. Metode fahmil hadits pula terbahagi kepada tiga yaitu memperhati kualitas sanad, mencermati susunan redaksional matan, meneliti dan memahami substansi matan.

b. Untuk sanad hadis pertama daripada jalur Saidina Ali r.a, tidak terdapat syawahid dan mutabi‟ dalam sepuluh kitab hadis muktabar melainkan hanya satu-satunya jalur sanad, terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad saja dan kualitasnya jelas dha‟if, gharib dan tidak bisa dibuat hujah. Sanadnya terputus pada periwayat bernama Hani bin Hani atas ke-majhul-annya dan periwayat setelahnya yaitu Amru bin Abdullah, Abu Ishaq as-Sab‟ei karena perbuatan tadlis-nya. Periwayat lain selain keduanya adalah tsiqah. Sanad hadis ini dinilai dha‟if.

c. Untuk sanad hadis kedua daripada jalur Saidina Anas bin Malik r.a, terdapat satu mutabi‟ yakni satu-satunya dalam Shahih Ibnu Hibban dan kedua-dua jalur sanad ini shahih dan bisa dibuat hujah. Jalur sanadnya tidak mutawattir, cuma aziz, yakni cuma dua jalur sanad saja.

d. Untuk kefahaman hadis tersebut secara tekstual dan kontekstual, para ulama terbahagi menjadi dua kelompok, satu kelompok ulama menerima dan muafakat dengan pemahaman golongan sufi, yakni boleh mengamalkan tarian sambil berzikir dan satu kelompok ulama lagi menolak keharusannya. Dalam meneliti kefahaman matan hadis ini, ianya tidak bercanggah dengan petunjuk ekspilisit al-Quran, tidak menyalahi hadis yang telah diakui keberadaannya dan tidak menyalahi sirah nabawiyah, tidak menyalahi akal pandangan yang waras, data empirik dan data sejarah, berkelayakan sebagai ungkapan pemegang otoritas nubuwwah. Jika dilihat dari susunan matan dan lafaz semakna, hadis pertama lafaz „hajala‟ dalam matan hadis tersebut adalah mungkar gharib. Sedangkan dalam matan hadis kedua, penulis tidak menemukan kejanggalan dan cacat tersembunyi pada matan hadis tersebut. Dengan demikian matan hadis yang pertama berkualitas dha‟if dan matan hadis yang kedua shahih.

e. Hujah penulis blog pro-sufistik seperti Muhd Shubhi, Ibnu Rasyid al-Syarkusi dan lain-lain bercampur antara dalil yang shahih dan dha‟if. Perlu kewaspadaan dalam menjadikan blog-blog mereka sebagai rujukan.

B. Saran

Sesuai dengan skripsi yang penulis susun, maka penulis memberikan saran-saran berguna sebagai berikut:
a. Kepada mahasiswa secara keseluruhan, khususnya mahasiswa jurusan Tafsir Hadis supaya dapat diambil manfaat dengan skripsi ini agar mereka dapat mengamati dalil tentang variasi tarian yang dicipta oleh golongan sufi lalu memperjelaskan kepada mereka itu secara akademis bahwa dalil hadis yang dipakai mereka ada cacatnya dan mayoritas ulama tafsir tidak mendukung tafsiran golongan sufi mengenai ayat 103 surah an-Nisa‟, hanya terpayung tafsiran umum saja.
b. Umat Islam haruslah berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW tanpa menambah atau mengurangkan sesuatu yang datang dari beliau baik dengan sengaja atau dengan kejahilan.
c. Tidak dipungkiri lagi, bahwa ulama adalah sinar cahaya yang berfungsi menerangi kegelapan umat sebagaimana jasa para imam muhaddisin, imam mufassirin dan para imam ulama jarh dan ta‟dil dalam menentukan hala tuju umat serta membimbing mereka kepada kebenaran sesuai dengan petunjuk al-Quran dan mutiara-mutiara hadis baginda SAW yang mulia.

C. Kata Penutup

Dengan penuh rasa syukur kehadirat ilahi rabbi yang telah menuntun kehidupan kita tetap pada jalannya, mengokohkan tekad kita untuk berjuang menegakkan kalimatnya dan menyamai jiwa pengorbanan dalam diri kita bagi tujuan-tujuan yang luhur dan mulia, penulis mengharapkan berbagai sumbang fikir dan kritikan dalam upaya menyempurnakan karya ilmiah ini. Alhamdulillah, akhirnya sudah selesai skripsi yang penulis susun dengan perjuangan keras selama beberapa bulan. Berkat rahmat Allah, dukungan kedua ibubapa baik moral maupun finansial, motivasi dari saudara-mara, juga teman-teman penulis semua yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu hingga semuanya berjalan lancar.


Tidak dipungkiri kadang ada kendala tetapi penulis anggap itu sebagai sebuah petualangan baru yang akan mendatangkan hikmah. Penulis juga menyedari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam persembahan penulisan skripsi ini. Demikianlah selayaknya manusia itu, tempat salah dan alpa, penulis memohon kemaafan. Demikian cukup kiranya yang penulis sampaikankan. Sekali lagi penulis pohon beribu kemaafan yang sebesar-besarnya seandainya skripsi ini memang belum pantas dan layak untuk diangkat sebagai sebuah karya ilmiah.


Pada akhirnya, penulis mengharapkan karya ini menjadi khazanah intelektual dalam memahami

“Validitas Hadis Tentang Tarian Yang Dijadikan Hujah Untuk Melegitimasi Tarian Sambil Berzikir (Studi Takhrij dan Fahmil Hadis Dalam Musnad Imam Ahmad)” 

dengan itu diharapkan para da‟i mampu menjadi penyebar sunnah ataupun panutan sehingga mad‟u pun dapat menerima dan menyambut baik apa jua yang disampaikan. Pesanan kepada para mad‟u khususnya golongan tasawuf untuk senantiasa mengedepankan kualitas dalil dan kefahaman disebalik dalilnya dalam merekacipta perkara baru yang bersifat keagamaan sebagai simbol kasih sayang kita pada agama dan cinta kita pada Nabi Muhammad SAW. didunia dan akhirat. Islam telah lengkap. Beramallah mengikut acuan nabi kita sendiri. Amin Ya Rabbal „Alamin.



Jambi, 08 Disember 2014
Penulis,
MOHAMAD FARID BIN MOHD NOOR
NIM : UT 131 546


DAFTAR PUSTAKA
Agama RI, Departemen, Al-Quran Dan Terjemahan, Penerbit : CV. Pustaka Agung Harapan, Jakarta, 2006, hlm 96.
Ash-Shalih, Subhi, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, Diterjemah oleh Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Penerbit : Pustaka Firdaus : Jakarta, 2009
A.W al-A‟qil, Muhammad, Manhaj al-Imam asy-Syafie Rahimahullah Ta‟ala fi Isbat al-Aqidah, Diterjemah oleh Idris, H.Nabhani, Manhaj Aqidah Imam asy-Syafie Rahimahullah Ta‟ala, Penerbit : Pustaka Imam Syafi‟i, Bogor, 2002
Al-Qaththan, Manna, Mabahis fi Ulumil Quran, Penterjemah Abdurrahman, Mifdhol, Pengantar Ilmu Studi Hadits, Penerbit: Pustaka al-Kauthar, 2005
Azami, M.M, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2012
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi, Penerbit : MSCC, Ciputat, 2004
Al-Bahgdadi, Al-Khatib, Kitab al-Kifayah, Penerbit : Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1988
An-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma‟rifati Sunan al-Basyir al-Nadzir, Diterjemahkan oleh Hade Masyah, Syarif , Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009
Ahmad az-Zahabi, Syamsuddin bin Muhammad, Mizanul I‟tidal fi naqdi al-Rijal, Ditahqiq oleh Husain al-Iraqi, Abdul Rahim, Zail Mizanul I‟tidal, Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lubnan, 1995
Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Bisti, Muhammad bin Hibban, Thiqaat, Di tahqiq oleh Ahmad, Sayyid Syarifuddin, Thiqaat, Penerbit : Darul Fikr,1975
109
Al-Qaththan, Manna, Mabahis fi Ulumil Hadits, Diterjemahkan oleh Abdurrahman, Mifdhol, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerbit Pustaka al-Kautsar : Jakarta Timur, 2005
Abi Bakar bin Sulaiman al-Haithami, Abu al-Hasan Nuruddin Ali, Mawarid az-Zhamanu ila Zawa‟id Ibnu Hibban, Ditahqiq oleh Asad ad-Darani, Husain Salim, Mawarid az-Zhamanu ila Zawa‟id Ibnu Hibban, Penerbit : Darul Thaqafah al-A‟rabiyah, Damsyik, 1992
Abdul Rahim al-Mubarakfuri Abu A‟la, Muhammad Abdul Rahman, Tuhfah Ahwazi bi Syarhi Jami‟ Tirmizi, Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut
Abu Abdullah al-Hakim an-Naisaburi, Muhammad bin Abdullah, Mustadrak a‟la Shahihain, Di tahqiq oleh Abdul Qadir Atha, Mustafa, Ta‟liqat liZahabi fi Talkhis Mustadrak a‟la Shahihain, Penerbit : Darul Kutub Ilmiah, Beirut, 1990
Abdurrahman, M, dan Sumarna, Elan, Metode Kritik Hadis, Penerbit : PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011
Al-Khathib, Muhammad Ajaj, Ushul al-Hadits, Diterjemah oleh Nur, M.Qodirun dan Musyafiq, Ahmad, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Penerbit : Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007
Al-Kattani, Abdul Hayy, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyah al-Musamma at-Taratib al-Idrayah, Penerbit : Darul Kutub al-„Arabi, Beirut
Abdullah al-Qarni, Aidh, Durrus liSyaikh Aidh al-Qarni, Penerbit : Maktabah Syamilah
Ahmad Abu Hatim at-Taimi al-Bisti, Muhammad bin Hibban, Sohih Ibnu Hibban, di tahqiq oleh Arnout, Shuaib, Sohih Ibnu Hibban biTartibi Ibnu Balyan, Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, 1993
Amru bin Abdul Khaliq al-Basri al-Bazzar, Abu Bakar Ahmad, Musnad al-Bazzar, Penerbit : Maktabah Syamilah
110
Ali al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain, Sunan Kubra, Penulis Jauhar Naqi, Alauddin Ali bin Usman al-Maradini as-Syahir bibail Tirkimani, Sunan Kubra wa Fizilihi al-Jauhar al-Naqi, Penerbit : Majlis Da‟erahal-Ma‟arif an-Nazimiyah al-Kaunah bibuldah Hidar Abad, 1344 H
Ahmad al-Mahalli, Jalaluddin bin Muhammad dan Abi Bakar as-Suyuti, Jalaluddin Abdul Rahman, Tafsir Jalalain, Penerbir : Maktabah Syamilah
Abdullah al-Husaini al-Alusi, Shihabuddin Mahmud, Ruhul Ma‟ani fi Tafsir Quran al-Azim wa Sab‟ul Mathani, Penerbit : Maktabah Syamilah
Hanbal bin Hilal bin Asad as-Syaibani, Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Ditahqiq oleh Syakir, Ahmad Muhammad, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Penerbit : Darul Hadis, Kaherah, 1995
Hajar Abu Fadhlu al-Asqolani as-Syafie, Ahmad bin Ali, Isobah fi Tamyizi as-Sohabah, Ditahqiq oleh Muhammad al-Bajawi, Ali, Isobah fi Tamyizi as-Sohabah, Penerbit : Darul Jail, Beirut, 1412 H
Hasyis, Ali, Silsilah Ahadith al-Wahiyah wa Shahih Hadithuka, Difihriskan oleh Asy-Shami, Abdul Rahman, Silsilah Ahadith al-Wahiyah wa Shahih Hadithuka, Penerbit : Maktabah Syamilah
Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad. Di tahqiq oleh Arnout, Syuaib, Musnad Ahmad bin Hanbal, Penerbit : Muasasah Risalah, Beirut Lubnan, 1995
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Penerbit : Bulan Bintang, Jakarta, 2005
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Penerbit : Bulan Bintang, Jakarta, 2007
Idris bin Munzir at-Tamimi al-Hanzhali ar-Razi, Abdul Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Jarh wa‟at‟ Ta‟dil, Penerbit :Darul Kutub Ilmiah,Beirut, Lubnan, 1952
111
Isma‟il Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja‟fi, Muhammad, Adabul Mufrad, Ditahqiq oleh Abdul Baqi, Muhammad Fuad, Adabul Mufrad, Penerbit : Darul Basya‟ir Islamiyah, Beirut, 1989
.Jazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Penerbit : Prenada Media Group, Jakarta, 2006
Kathir bin Ghalib Amali Abu Ja‟afar at-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid, Jami‟ Bayan fi Ta‟wil Quran, Penerbit : Maktabah Syamilah
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Penerbit : AMZAH, Jakarta, 2013
Mas‟udi, Hassan, Minhatul Mughtitss Fi Ilmi Mustholah Hadits, Diterjemah oleh MZ, Labib & Asyharie, M.A, Ilmu Mustholah Hadits, Penerbit : Bintang Usaha Jaya, Surabaya 2002
Muhammad as-Salabi, Ali bin Muhammad, Sirah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Penerbit : http//sallaby.com : 2005
Majhul, Mau‟su‟ah Syibhu ar-Rafidhah war-Rad Alaiha, Penerbit : Maktabah Syamilah
Majhul, Mau‟su‟ah al-Rad a‟la Sufiah, Penerbit : Maktabah Syamilah
Mukarram bin Ali bin Ahmad bin Abi Qasim bin Habqah bin Manzur, Jamaluddin Abu al-Fadhlu Muhammad, Lisanul Arab, Ditahqiq oleh Ali al-Kabir, Abdullah, Hasbullah, Muhammad Ahmad, Muhammad Syazali, Hasyim Lisanul Arab, Penerbit : Darul Ma‟arif, Kaherah
Muhammad bin Makhluf as-Tha‟labi, Abu Zaid Abdul Rahman, Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Quran, Penerbit : Maktabah Syamilah
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Musthalah Hadits, Penerbit : PT al-Ma‟arif, Bandung, 1978
Sya‟roni, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Penerbit : Pustaka Firdaus, Jakarta, 2008
112
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Penerbit : CV.ALFABETA Bandung, 2009
Syihabuddin al-Asqolani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Tahzibu Tahzib, Ditahqiq oleh Zaibaq, Ibrahim dan Mursyid, Adil, Tahzibu Tahzib, Penerbit : Madrasah Risalah, 1995
Syihabuddin al-Asqolani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Taqrib Tahzib, Ditahqiq oleh Ahmad Syaghaf al-Bakistani, Abu al-Asybal Soghir, Taqrib Tahzib, Penerbit : Darul A‟simah
Shalih Abu al-Hasan al-Ijli al-Kufi, Ahmad bin Abdullah, Ma‟rifah Thiqaah, Ditahqiq oleh Abdul Azim al-Bastawi, Abdul A‟lim, Ma‟rifah Thiqaah, Penerbit : Maktabah ad-Dar, Madinah, 1985
Saqqar, Muhammad, Kasyif Syubuhat as-Sufiyyah, Penerbit : Maktabah Darul Ulum, Bahirah, Mesir
Tim Penyusun, Panduan Penulisan Ilmiah Mahasiswa Fakultas Usuluddin IAIN STS Jambi. Penerbit : Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi, Muaro Jambi, 2014
Ustman az-Zahabi, Syamsuddin bin Ahmad, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Ditahqiq oleh Ma‟ruf, Basar I‟wad, Syi‟ar A‟lam an-Nubala‟, Penerbit : Madrasah Risalah
Umar bin Muhammad as-Syirazi al-Baidhawi, Nasiruddin Abu Sa‟id Abdullah, Anwar Tanzil wa Asrar at-Ta‟zil al-Ma‟aruf biTafsir al-Baidhawi, Penerbit : Maktabah Syamilah
Umar, Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis.
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014
Wahid, Abd, Khazanah Kitab Hadits,( Metode, Sejarah dan Karya-Karya ), Penerbit : Ar-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh, 2008
113
Yusuf al-Mizzi, Jamaluddin al-Hajaj, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Ditahqiq oleh I‟wad Ma‟ruf, Basar, Tahzibu al-Kamal fi Asma‟ ar-Rijal, Penerbit : Mua‟sasah Risalah, Beirut, Syiria,1983
Yazid al-Qazwini, Abu Abdullah Muhammad, Sunan Ibnu Majah, Ditahqiq oleh Arnout, Shu‟aib, Sunan Ibnu Majah, Penerbit : Darul Risalah al-A‟maliyah, 2009
Ahmad, Internet, diakses melalui alamat,
http://www.uin-alauddin.ac.id/download-05Ahmad%20Isnaeni.pdf. Di Singgah pada tanggal 18 November 2014
al-Faedah, Tuan, “Membicarakan Perihal Sufi,” Internet, diakses melalui alamat, http://al-faedah.blogspot.com/2014/04/membicarakan-perihal-tarian-sufi.html. Di akses pada 4 Juli 2014.
al-Syarkushi, Ibnu Rashid, “Hakikat Zikir dan Tarian Sufi,” Internet, diakses melalui alamat,
http://kefahaman selamanya.blogspot.com/2013/01/hakikat-dzikir-dan-tarian-sufi.html. Di akses pada 4 Juli 2014.
Harakah Bil.1463 | 19-22 Syaaban 1430 | 10-13 Ogos 2009 | Sisipan Fikrah di Kolum “Bersama Dato‟ Dr. Harun Din.” Razy., Internet, diakses melalui alamat, razzyy.com/Nota/Saidina Ali. Di akses pada 29 Oktober 2014.
Shubhi, Muhd, “Zikir Sambil Menari Itu Boleh,” Internet, diakses melalui alamat, http://www.pendapatanda.com/2014_03_30_archive.html. Di akses pada 4 Juli 2014.
Temubual Dr. Yusri bin Mohamad, Timbalan YADIM Malaysia di Mess Pelajar Malaysia Cabang Jambi pada 8 November 2014


Institut Agama Islam Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Pahang, Malaysia
Jambi, Indonesia
2013
2015
Jambi, 22 Januari 2015
Penulis,
MOHAMAD FARID BIN MOHD NOOR
UT 131 546






0 comments: