SILA "CLICK NEW TAB FOR DETAIL POST" JIKA MENGHADAPI MASALAH MEMBACA ENTRI SILA EMAIL KAN PADA CAKERAWALA IBTISAM TERIMA KASIH

Apr 21, 2013

muamalah wakalah perbandingan


Pengertian Wakalah
            Secara bahasa arti Wakalah atau Wikaalah ( dengan waw difathah dan dikasrah ) adalah melindungi. Hal ini sebagaimana di dalam firman Allah :
( $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$# ÇÊÐÌÈ  
"Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami, dan dia sebaik-baik pelindung (yang terserah kepadanya Segala urusan kami)".
Al-Farra berkata “ Maksud dari wakilla dalam ayat ini adalah yang melindungi”
Waakalah juga artinya penyerahan. Misalnya, wakalla amrahu ila fulaan ( dia menyerahkan urusannya kepada si fulan )

Firman Allah SWT di dalam Surah Al-Maidah ayat ke-2 yang berbunyi :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ 
“Dan hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa (maksiat) dan pencerobohan. dan bertaqwalah kepada Allah, kerana Sesungguhnya Allah Maha berat azab seksaNya (bagi sesiapa Yang melanggar perintahNya”).

Dalam definisi syara, wakaalah menurut para ulama Mazhab Hanafi adalah tindakan seseorang menempatkan orang lain di tempatnya untuk melakukan tindakan hukum yang tidak mengikat dan diketahui. Atau penyerahan tindakan hukum dan penjagaan terhadap sesuatu kepada orang lain yang menjadi wakil. Tindakan hukum ini mencakup pembelanjaan terhadap harta, seperti jual beli, juga hal-hal lain yang secara syara bisa di wakilkan seperti juga memberi izin kepada orang lain untuk masuk rumah.
Para ulama Mazhab Syafi’i mengatakn bahwa wakaalah adalah penyerahan kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa diwakilkan kepada orang lain, untuk dilakukan oleh wakil tersebut selama pemilik kewenangan asli masih hidup. Pembatasan dengan ketika masih hidup ini adalah unuk membedakannya dengan wasiat[1].

Rukun Akad Wakaalah
            Menurut para ulama Mazhab Hanafi, rukun wakaalah adalah ijab dan qabul. Ijab adalah dari muwakkil dan disebut juga al-ashiil. Ijab ini misalnya dengan berkata kepadaorang lain, “ Saya wewakilkan kepadamu untuk melakukan hal ini”, atau “ Lakukanlah ini”, atau “ Saya mengizinkanmu untuk melakukan ini” dan sejenisnya.
            Qabul dari wakil adalah dengan ucapan “ Saya menerimanya “ dan sejenisnya. Qabul juga terlaksana dengan semua perbuatan yang menunjukkan adanya qabul tersebut, ia tidak disyaratkan harus berupa perkataan, kerana wakaalah adalah pembrian izin dan pengahapusan larangan dari orang lain untuk melakukan sesuatu, sehingga ia menyerupai pemberian izin kepada orang lain memakan makanan si pemberi izin.
            Para ulama sepakat bahwa qabul dalam wakaalah bisa dilakukan segera setelah adanya ijab, bisa juga dengan tidak segera. Kerana penerimaan para wakil Rasulullah terhadap wakaalah dari beliau adalah dengan perbuatan mereka dan mereka tidak langsung melaksanakannya setelah adanya perwakilan tersebut. Jika tidak ada ijab dan qabul, maka akad itu tidak berlangsung. Seandainya seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk mengambil piutangnya dari orang lain, lalu orang itu tudak mau menerima perwakilan itu, namun kemudian setelah itu dia pergi ke tempat orang yang berutang dan mengambil piutang itu atas nama muwakkilnya, maka orang yang berutang itu tidak terbebas dari membayar utang. Hal ini kerana akad wakaalah ini berlaku dengan adanya ijab dan qabul. Dan masing-masing dari pelaku akad tidak bisa melakukan konsekuensi dari akad tersebut jika ada penolakan dari salah satunya sebelum adanya ijab dan qabul, sebagaimana dalam jual beli dan sejenisnya.
            Menurut jumhur ulama, wakaalah mempunyai empat rukun yaitu :
1)      Orang yang mewakilkan (muwakkil)
2)      Orang yang mewakili (wakiil)
3)      Sesuatu yang diwakilkan (al-muwakkal fiih)
4)      Sighah (ucapan atau perbuatan yang menunjukkan ijab dan qabul)

Menurut para ulama Mazhab Hambali wakalaah ad-dauriyyah adalah sah. Wakalaah dauriyyah adalah jika seseorang berkata “Saya mewakilkan hal ini kepadamu, dan setiap kali saya mengeluarkanmu dari perwakilan ini maka saat itu juga saya mewakilkannya kepadamu atau engkau adalah wakilku”, atau “Saya mewakilkan hal ini kepadamu, dan setiap kali kamu keluar dari perwakilan ini maka saat itu juga saya mewakilkannya kepadamu atau engkau adalah wakilku”. Disamping itu sah juga pembatalan perwakilan kepada seorang wakil dengan kata-kata, “Setiap kali saya mewakilkan kepadamu”, atau “Setiap kali engaku kembali menjadi wakilku, maka saat itu juga saya telah membatalkanmu sebagai wakilku.

Pensyariatan Wakaalah
            Wakaalah dibolehkan berdasarkan Al-Quran, sunnah dan ijma. Dalil dari Al-Quran adalah firman Allah ta’ala ketika menceritakan tentang Ashhabul Kahfi,
(#þqèWyèö/$$sù Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYƒÏyJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkšr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-ø̍Î/ çm÷YÏiB
“Sekarang Utuslah salah seorang dari kamu, membawa wang perak kamu ini ke bandar; kemudian biarlah Dia mencari dan memilih mana-mana jenis makanan Yang lebih baik lagi halal (yang dijual di situ); kemudian hendaklah ia membawa untuk kamu sedikit habuan daripadanya”.
            Adapun dalil dari Sunnah, maka terdapat banyak hadits tentang disyariatkannya wakaalah ini. Diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah mengutus para petugas untuk mengumpulkan.zakat. Juga riwayat lain bahwa Rasulullah mewakilkan kepada Amr bin Umayyah adh-Dhamari dalam pernikahan Ummu Habibah bintu Abi Sufyan. Juga riwayat tentang pewakilan beliau kepada Abu Rafi’ untuk menerima pernikahan Maimunah bintil Haris dengan beliau[2].




Hukum Wakalah
Hukum asal wakaalah adalah dibolehkan. Namun terkadang ia disunnahkan jika ia merupakan bantuan untuk sesuatu yang disunnahkan. Terkadang juga ia menjadi makruh jika ia merupakan bantuan terhadap sesuatu yang dimakruhkan. Hukumnya juga menjadi haram jika merupakan bantuan untuk perbuatan yang haram. Dan hukumnya adalah wajib jika ia untuk menghindarkan kerugian dari muwakkil.
Al-Wakalah juga merupakan jenis kontrak ja’iz min at-tharafain, yakni bagi kedua pihak berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka menghendaki. Pemberi kuasa (al-muwakkil) berhak mencabut kuasa dan menghentikan penerima kuasa (al-wakil) dari pekerjaan yang dikuasakan. Begitu pula sebaliknya, bagi penerima kuasa (al-wakil) berhak membatalkan dan mengundurkan diri dari kesanggupannya menerima kuasa.
. Masyarakat Islam sejak zaman awal Islam lagi menggunakan al wakalah dalam urusan jualbeli terutamanya yang melibatkan urusan yang jauh, dimana tuan punya badan tidak dapat menghadirkan diri akan mewakilkan urusannya kepada orang lain. Rasullulah s.a.w sendiri bertindak bagi pihak Siti Khadijah dalam urusan jualbeli sebelum baginda diangkat menjadi rasul lagi.

Syarat-Syarat Perwakilan
1.      Syarat-syarat Sighah
Menurut para ulama Mazhab Syafi’i, terdapat dua syarat untuk sighah. Akad wakaalah berlangsung dengan lafal yang menunjukkan adanya keridhaan terhadap perwakilan itu, baik secara terang-terangan maupun secara sindiran (tidak terang-terangan), misalnya “saya mewakilkan kepadamu untuk menjual rumahku”, atau “saya menempatkan mu pada posisiku untuk menjual rumahku”. Dalam qabul tidak disyaratkan adanya ucapan, melainkan cukup dengan perbuatan, seperti mengizinkan tamu untuk makan makanan yang dihidangkan.
Menurut para ulama Syafi’i disyaratkan akad wakaalah tidak dikaitkan dengan syarat, yaitu seperti ucapan seseorang, “jika si fulan datang dari perjalanan, maka engaku menjadi wakilku untuk melakukan hal ini”. Akan tetapi boleh mengaitkannya dengan sesuatu jika sesuatu tersebut terjadi setelah wakaalah itu terlaksana, seperti, “saya mewakilkan kepadamu untuk menjual rumahku dengan syarat penjualan itu telah terlaksana ketika kedatangan si fulan” juga sah membatasi wakaalah dengan waktu seperti pembatasan pewakilan itu selama satu bulan atau satu tahun.

2.      Syarat Muwakil        
Disyaratkan agar muwakil adalah orang yang mewakili kekuasaan untuk bertindak dalam apa yang diwakilkannya. Apabila dia tidak memiliki otoritas untuk bertindak, seperti orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz, maka penunjukan wakil oelhnya tidak sah. Imam Syafi’i berkata “Tidak sah perwakilan dari anak kecil secara mutlak, kerana ia tidak sah untuk melakukan sendiri semua tindakan hukum”. Ini juga merupakan pendapat para ulama Mazhab Maliki dan Hambali.
Sedangkan Abu Hanifah hanya mensyaratkan perwakilan itu berlangsung pada pada sesuatu yang kewenangannya bida dimiliki oleh wakil. Berdasarkan hal ini, maka menurut Abu Hanifah boleh pewakilan muslim kepada seorang kafir dzimmi untuk untuk membeli khamar dan babi.
            Adapun anak kecil yang telah mumayiz, penunjukan wakil olehnya sah dalam tindakan-tindakan yang murni bermanfaat baginya, seperti mewakilkan penerimaan hibah, sedekah, dan wasiat. Sementara dalam tindakan-tindakan yang murni merugikan baginya seperi talak, hibah, dan sedekah, penunjukan wakil olehnya tidak sah.

3.      Syarat Wakil
Disyaratkan agar wakil adalah orang yang berakal. Apabila dia adalah orang gila, atau anak kecil yang belum mumayyiz maka penunjukannya sebagai wakil tidak sah menurut pandangan ulama Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali. Namun para ulama Mazhab Syafi’i dalam pendapat yang sahih berpendapat bolehnhya mewakilkan anak kecil yang mumayyiz untuk mengizinkan orang lain masuk rumah, menyampaikan hadiah, menunaikan haji, menyumbang, menyembelih kurban dan mebagikan zakat.
      Adapun anak kecil yang telah mumayiz, penunjukannya sebagai wakil sah, menurut para ulama mazhab Hanafi, karena dia sama seperti orang dewasa dalam memahami perkara-perkara dunia. Amru bin Saidah Ummu Salamah menikahkan ibunya dengan Rasulullah saw. Ketika dia masih kecil dan belum baligh.
Para ulama Mazhab Maliki mensyaratkan tiga syarat untuk muwakkil dan wakil, yaitu merdeka, cekap membelanjakan harta, dan baligh. Para ulama Mazhab Syafi’i mensaratkan wakil adalah orang yang adil jika dia mewakili hakim atau mewakili wali dalam penjualan harta orang yang ada di bawah perwaliannya.

4.      Syarat Muwakkal Fih
Muwakkal Fih bukan hal-hal ang kepemilikannya terbuka untuk umum, tanpa adanya batasan kepemilikan. Karena seseorang tidak boleh mewakilkan kepada orang lain untuk mencari kayu di hutan, mencari rumput di padang terbuka, mengambil air di tempat umum dan seumpamanya. Jika terjadi perwakilan dalam hal-hal ini, maka apa yang dihasilkan adalah milik wakil, sedangkan muwakkil tidak mendapatkan apa-apa. Syarat ini adalah menurut ulama Mazhab Hanafi. Sedangkan menurut jumhur ulama dan juga merupaka pendapat yang lebih kuat dalam Mazhab Syafi’i, di bolehkan perwakilan di dalam hal-hal diatas dan hasilnya dibagi di antara mereka sesuai dengan upah masing-masing.
Disyaratkan agar muwakkal fih diketahui oleh wakil, atau setidaknya ketidaktahuan tentangnya  tidak melampaui batas, kecuali apabila muwakil tidak membatasi perwakilan, misalnya dengan berkata “belilah untukku apa saja yang kamu kehendaki”. Disyaratkan juga agar muwakkil fih bisa diwakilkan
Ini berlaku pada semua akad yang boleh diadakan sendiri oleh seorang, seperti perjualan, pembelian, penyewaan, penetapan utang dan harta benda, penyelesaian sengketa, penuntutan hak, perdamaian, permintaan syuf’ah, hibah, sedekah, penggadaian, peminjaman, pernikahan, talak dan pengelolaan harta, baik muwakil ada di tempat maupun bepergian, baik dia laki-laki maupun perempuan.
            Menurut jumhur ulama, dibolehkan wakaalah dalam ibadah-ibadah yang mempunyai keterkaitan dengan harta, baik berupa penerimaan, pemberian maupun penyerahan kepada orang yang berhak, seperti zakat, kafarat, nazar, sedekah, haji dan umrah ketika tidak mampu dan meninggal dunia, menyembelih hady, menambal kekurangan dalam ihram haji atau umrah, juga menyembelih kurban dan sejeneisnya. Kebolehan ini dikarenakan tujuan dari ibadah-ibadah ini adalah menyampaikannya kepada pihak yang berhak menerimanya. Sedangkan para ulama dalam Mazhab Maliki menyatakan tidak boleh perwakilan dalam haji


Berakhirnya Masa Wakaalah
            Menurut para ulama Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, Wakaalah berakhir dengan berakhirnya waktu yang telah ditentukan, seperti sepuluh hari misalnya, namum menurut pendapat yang kuat dalam Mazhab Hanafi, ia tidak berakhir karenanya. Kematian atau kegilaan juga slah satu dari dua orang yang berakad. Di antara syarat-syarat perwakilan adalah kehidupan dan keberadaan akal. Apabila terjadi kematian atau kegilaan maka perwakilan telah kehilangan sesuatu yang menentukan kesahannya.
            Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil tidak mengetahui nya. Sementara menurut para ulama Mazhab Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan. Sebelum dia mengetahui pemecata, tindakan-tindakannya sama dengan tindakan-tindakannya sebelum pemecatan dalam semua hukum.
            Pengunduran diri wakil. Tidak disyaratkan agar muwakil mengetahui atau menghadiri pengunduran diri wakil. Sementara, para ulama Mazhab Hanafi mensyaratkan hal itu agar muwakil tidak dirugikan. Selain itu diselesaikannya pekerjaan yang dituju dalam perwakilan. Apabila pekerjaan yang dituju telah selesai maka perwakilan tidak lagi berarti.
Demikianlah hal-hal terpenting yang dengannya akad wakaalah berakhir menurut para ahli fiqih, semua kondisi di atas, kecuali kondisi pemberhentian terhadap wakil, menuru Mazhab Hanafi mengakibatkan berakhirnya wakaalah, baik wakil mengetahuinya maupun tidak[3].




Penutup
Kesimpulan
 
Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat diterima. Pengertian Wakalah adalah:

·         Perlindungan (al-hifzh)
·         Pencukupan (al-kifayah)
·         Tanggungan (al-dhamah)
·         Pendelegasian (al-tafwidh)

Dalam akad Wakalah beberapa rukun dan syarat harus dipenuhi agar akad ini menjadi sah:

1.      Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
·         Pemberi kuasa memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya.
·         Pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf.

Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
·         Penerima kuasa perlu cakap hukum.
·         Penerima kuasa mampu menjalankan amanah



 Obyek yang diwakilkan. (Al-Muwakkil fih)
·         Boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya.
·         Obyek yang akan diwakilkan tidak boleh melanggar Syari’ah Islam.

Kritik
Saya mengakui bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Saya mohon kritik yang membangun untuk memperbaiki kesilapan-kesilapan yang tidak di teliti secara rinci dan ini adalah demi kesempurnaan makalah saya selanjutnya

Saran
Demikianlah uraian singkat yang dapat Saya sampaikan. Mudah-mudahan dengan uraian yang singkat ini dapat menambah pengetahuan kita dan berguna dalam kehidupan kita sebagai umat Islam.










.
Daftar Pusaka

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet. Ke-10 Jakarta : Darul Fikir, 2011
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Cet. Ke-3, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2011




[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet. Ke-10 (Jakarta : Darul Fikir, 2011), hlm : 590.
[2] Ibid. hlm : 593.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Cet. Ke-3, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2011), hlm : 196.

0 comments: