Pengertian Wakalah
Secara
bahasa arti Wakalah atau Wikaalah ( dengan waw difathah dan dikasrah ) adalah
melindungi. Hal ini sebagaimana di dalam firman Allah :
(
$uZç6ó¡ym
ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$#
ÇÊÐÌÈ
"Cukuplah
Allah (menjadi penolong) bagi kami, dan dia sebaik-baik pelindung (yang
terserah kepadanya Segala urusan kami)".
Al-Farra berkata “ Maksud dari wakilla dalam ayat ini adalah yang
melindungi”
Waakalah juga artinya penyerahan. Misalnya, wakalla amrahu ila
fulaan ( dia menyerahkan urusannya kepada si fulan )
Firman Allah SWT di dalam Surah Al-Maidah ayat ke-2 yang berbunyi :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
w
(#q=ÏtéB uȵ¯»yèx©
«!$#
wur
tök¤¶9$# tP#tptø:$# wur
yôolù;$#
wur
yÍ´¯»n=s)ø9$#
Iwur
(#qçRur$yès?ur
n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur
(#qçRur$yès?
n?tã ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$#
( ¨bÎ)
©!$#
ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“Dan
hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan
janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa (maksiat) dan
pencerobohan. dan bertaqwalah kepada Allah, kerana Sesungguhnya Allah Maha
berat azab seksaNya (bagi sesiapa Yang melanggar perintahNya”).
Dalam definisi syara, wakaalah menurut para ulama Mazhab Hanafi
adalah tindakan seseorang menempatkan orang lain di tempatnya untuk melakukan
tindakan hukum yang tidak mengikat dan diketahui. Atau penyerahan tindakan
hukum dan penjagaan terhadap sesuatu kepada orang lain yang menjadi wakil.
Tindakan hukum ini mencakup pembelanjaan terhadap harta, seperti jual beli, juga
hal-hal lain yang secara syara bisa di wakilkan seperti juga memberi izin
kepada orang lain untuk masuk rumah.
Para ulama Mazhab Syafi’i mengatakn bahwa wakaalah adalah
penyerahan kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa
diwakilkan kepada orang lain, untuk dilakukan oleh wakil tersebut selama
pemilik kewenangan asli masih hidup. Pembatasan dengan ketika masih hidup ini
adalah unuk membedakannya dengan wasiat[1].
Rukun Akad Wakaalah
Menurut para ulama
Mazhab Hanafi, rukun wakaalah adalah ijab dan qabul. Ijab adalah dari muwakkil
dan disebut juga al-ashiil. Ijab ini misalnya dengan berkata kepadaorang lain,
“ Saya wewakilkan kepadamu untuk melakukan hal ini”, atau “ Lakukanlah ini”,
atau “ Saya mengizinkanmu untuk melakukan ini” dan sejenisnya.
Qabul dari wakil
adalah dengan ucapan “ Saya menerimanya “ dan sejenisnya. Qabul juga terlaksana
dengan semua perbuatan yang menunjukkan adanya qabul tersebut, ia tidak
disyaratkan harus berupa perkataan, kerana wakaalah adalah pembrian izin dan
pengahapusan larangan dari orang lain untuk melakukan sesuatu, sehingga ia
menyerupai pemberian izin kepada orang lain memakan makanan si pemberi izin.
Para ulama sepakat
bahwa qabul dalam wakaalah bisa dilakukan segera setelah adanya ijab, bisa juga
dengan tidak segera. Kerana penerimaan para wakil Rasulullah terhadap wakaalah
dari beliau adalah dengan perbuatan mereka dan mereka tidak langsung melaksanakannya
setelah adanya perwakilan tersebut. Jika tidak ada ijab dan qabul, maka akad
itu tidak berlangsung. Seandainya seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk
mengambil piutangnya dari orang lain, lalu orang itu tudak mau menerima perwakilan
itu, namun kemudian setelah itu dia pergi ke tempat orang yang berutang dan
mengambil piutang itu atas nama muwakkilnya, maka orang yang berutang itu tidak
terbebas dari membayar utang. Hal ini kerana akad wakaalah ini berlaku dengan
adanya ijab dan qabul. Dan masing-masing dari pelaku akad tidak bisa melakukan
konsekuensi dari akad tersebut jika ada penolakan dari salah satunya sebelum
adanya ijab dan qabul, sebagaimana dalam jual beli dan sejenisnya.
Menurut jumhur
ulama, wakaalah mempunyai empat rukun yaitu :
1)
Orang yang mewakilkan (muwakkil)
2)
Orang yang mewakili (wakiil)
3)
Sesuatu yang diwakilkan (al-muwakkal fiih)
4)
Sighah (ucapan atau perbuatan yang menunjukkan ijab dan qabul)
Menurut para ulama Mazhab Hambali wakalaah ad-dauriyyah adalah sah.
Wakalaah dauriyyah adalah jika seseorang berkata “Saya mewakilkan hal ini
kepadamu, dan setiap kali saya mengeluarkanmu dari perwakilan ini maka saat itu
juga saya mewakilkannya kepadamu atau engkau adalah wakilku”, atau “Saya
mewakilkan hal ini kepadamu, dan setiap kali kamu keluar dari perwakilan ini
maka saat itu juga saya mewakilkannya kepadamu atau engkau adalah wakilku”.
Disamping itu sah juga pembatalan perwakilan kepada seorang wakil dengan
kata-kata, “Setiap kali saya mewakilkan kepadamu”, atau “Setiap kali engaku kembali
menjadi wakilku, maka saat itu juga saya telah membatalkanmu sebagai wakilku.
Pensyariatan Wakaalah
Wakaalah
dibolehkan berdasarkan Al-Quran, sunnah dan ijma. Dalil dari Al-Quran adalah
firman Allah ta’ala ketika menceritakan tentang Ashhabul Kahfi,
(#þqèWyèö/$$sù
Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/
ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYÏyJø9$# öÝàZuù=sù !$pkr&
4x.ør&
$YB$yèsÛ
Nà6Ï?ù'uù=sù 5-øÌÎ/
çm÷YÏiB
“Sekarang Utuslah salah seorang dari kamu,
membawa wang perak kamu ini ke bandar; kemudian biarlah Dia mencari dan memilih
mana-mana jenis makanan Yang lebih baik lagi halal (yang dijual di situ);
kemudian hendaklah ia membawa untuk kamu sedikit habuan daripadanya”.
Adapun dalil dari
Sunnah, maka terdapat banyak hadits tentang disyariatkannya wakaalah ini.
Diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa
Rasulullah mengutus para petugas untuk mengumpulkan.zakat. Juga riwayat lain
bahwa Rasulullah mewakilkan kepada Amr bin Umayyah adh-Dhamari dalam pernikahan
Ummu Habibah bintu Abi Sufyan. Juga riwayat tentang pewakilan beliau kepada Abu
Rafi’ untuk menerima pernikahan Maimunah bintil Haris dengan beliau[2].
Hukum Wakalah
Hukum asal wakaalah adalah dibolehkan. Namun terkadang ia
disunnahkan jika ia merupakan bantuan untuk sesuatu yang disunnahkan. Terkadang
juga ia menjadi makruh jika ia merupakan bantuan terhadap sesuatu yang
dimakruhkan. Hukumnya juga menjadi haram jika merupakan bantuan untuk perbuatan
yang haram. Dan hukumnya adalah wajib jika ia untuk menghindarkan kerugian dari
muwakkil.
Al-Wakalah juga merupakan jenis kontrak ja’iz min at-tharafain,
yakni bagi kedua pihak berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka
menghendaki. Pemberi kuasa (al-muwakkil) berhak mencabut kuasa dan menghentikan
penerima kuasa (al-wakil) dari pekerjaan yang dikuasakan. Begitu pula
sebaliknya, bagi penerima kuasa (al-wakil) berhak membatalkan dan mengundurkan
diri dari kesanggupannya menerima kuasa.
. Masyarakat Islam sejak zaman awal Islam lagi menggunakan al
wakalah dalam urusan jualbeli terutamanya yang melibatkan urusan yang jauh,
dimana tuan punya badan tidak dapat menghadirkan diri akan mewakilkan urusannya
kepada orang lain. Rasullulah s.a.w sendiri bertindak bagi pihak Siti Khadijah
dalam urusan jualbeli sebelum baginda diangkat menjadi rasul lagi.
Syarat-Syarat Perwakilan
1.
Syarat-syarat Sighah
Menurut para ulama Mazhab Syafi’i, terdapat dua syarat untuk
sighah. Akad wakaalah berlangsung dengan lafal yang menunjukkan adanya
keridhaan terhadap perwakilan itu, baik secara terang-terangan maupun secara
sindiran (tidak terang-terangan), misalnya “saya mewakilkan kepadamu untuk
menjual rumahku”, atau “saya menempatkan mu pada posisiku untuk menjual
rumahku”. Dalam qabul tidak disyaratkan adanya ucapan, melainkan cukup dengan
perbuatan, seperti mengizinkan tamu untuk makan makanan yang dihidangkan.
Menurut para ulama Syafi’i disyaratkan akad wakaalah tidak
dikaitkan dengan syarat, yaitu seperti ucapan seseorang, “jika si fulan datang
dari perjalanan, maka engaku menjadi wakilku untuk melakukan hal ini”. Akan
tetapi boleh mengaitkannya dengan sesuatu jika sesuatu tersebut terjadi setelah
wakaalah itu terlaksana, seperti, “saya mewakilkan kepadamu untuk menjual
rumahku dengan syarat penjualan itu telah terlaksana ketika kedatangan si
fulan” juga sah membatasi wakaalah dengan waktu seperti pembatasan pewakilan
itu selama satu bulan atau satu tahun.
2.
Syarat Muwakil
Disyaratkan agar muwakil adalah orang yang mewakili kekuasaan untuk
bertindak dalam apa yang diwakilkannya. Apabila dia tidak memiliki otoritas
untuk bertindak, seperti orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz, maka
penunjukan wakil oelhnya tidak sah. Imam Syafi’i berkata “Tidak sah perwakilan
dari anak kecil secara mutlak, kerana ia tidak sah untuk melakukan sendiri
semua tindakan hukum”. Ini juga merupakan pendapat para ulama Mazhab Maliki dan
Hambali.
Sedangkan Abu Hanifah hanya mensyaratkan perwakilan itu berlangsung
pada pada sesuatu yang kewenangannya bida dimiliki oleh wakil. Berdasarkan hal
ini, maka menurut Abu Hanifah boleh pewakilan muslim kepada seorang kafir
dzimmi untuk untuk membeli khamar dan babi.
Adapun anak kecil
yang telah mumayiz, penunjukan wakil olehnya sah dalam tindakan-tindakan yang
murni bermanfaat baginya, seperti mewakilkan penerimaan hibah, sedekah, dan
wasiat. Sementara dalam tindakan-tindakan yang murni merugikan baginya seperi
talak, hibah, dan sedekah, penunjukan wakil olehnya tidak sah.
3.
Syarat Wakil
Disyaratkan agar wakil adalah orang yang berakal. Apabila dia
adalah orang gila, atau anak kecil yang belum mumayyiz maka penunjukannya
sebagai wakil tidak sah menurut pandangan ulama Mazhab Syafi’i, Maliki dan
Hambali. Namun para ulama Mazhab Syafi’i dalam pendapat yang sahih berpendapat
bolehnhya mewakilkan anak kecil yang mumayyiz untuk mengizinkan orang lain
masuk rumah, menyampaikan hadiah, menunaikan haji, menyumbang, menyembelih
kurban dan mebagikan zakat.
Adapun anak kecil yang telah mumayiz, penunjukannya sebagai
wakil sah, menurut para ulama mazhab Hanafi, karena dia sama seperti orang dewasa
dalam memahami perkara-perkara dunia. Amru bin Saidah Ummu Salamah menikahkan
ibunya dengan Rasulullah saw. Ketika dia masih kecil dan belum baligh.
Para ulama Mazhab Maliki mensyaratkan tiga syarat untuk muwakkil
dan wakil, yaitu merdeka, cekap membelanjakan harta, dan baligh. Para ulama
Mazhab Syafi’i mensaratkan wakil adalah orang yang adil jika dia mewakili hakim
atau mewakili wali dalam penjualan harta orang yang ada di bawah perwaliannya.
4.
Syarat Muwakkal Fih
Muwakkal Fih bukan hal-hal ang kepemilikannya terbuka untuk umum,
tanpa adanya batasan kepemilikan. Karena seseorang tidak boleh mewakilkan
kepada orang lain untuk mencari kayu di hutan, mencari rumput di padang
terbuka, mengambil air di tempat umum dan seumpamanya. Jika terjadi perwakilan
dalam hal-hal ini, maka apa yang dihasilkan adalah milik wakil, sedangkan
muwakkil tidak mendapatkan apa-apa. Syarat ini adalah menurut ulama Mazhab
Hanafi. Sedangkan menurut jumhur ulama dan juga merupaka pendapat yang lebih
kuat dalam Mazhab Syafi’i, di bolehkan perwakilan di dalam hal-hal diatas dan
hasilnya dibagi di antara mereka sesuai dengan upah masing-masing.
Disyaratkan agar muwakkal fih diketahui oleh wakil, atau setidaknya
ketidaktahuan tentangnya tidak melampaui
batas, kecuali apabila muwakil tidak membatasi perwakilan, misalnya dengan
berkata “belilah untukku apa saja yang kamu kehendaki”. Disyaratkan juga agar
muwakkil fih bisa diwakilkan
Ini berlaku pada semua akad yang boleh diadakan sendiri oleh
seorang, seperti perjualan, pembelian, penyewaan, penetapan utang dan harta
benda, penyelesaian sengketa, penuntutan hak, perdamaian, permintaan syuf’ah,
hibah, sedekah, penggadaian, peminjaman, pernikahan, talak dan pengelolaan
harta, baik muwakil ada di tempat maupun bepergian, baik dia laki-laki maupun
perempuan.
Menurut jumhur
ulama, dibolehkan wakaalah dalam ibadah-ibadah yang mempunyai keterkaitan
dengan harta, baik berupa penerimaan, pemberian maupun penyerahan kepada orang
yang berhak, seperti zakat, kafarat, nazar, sedekah, haji dan umrah ketika
tidak mampu dan meninggal dunia, menyembelih hady, menambal kekurangan dalam
ihram haji atau umrah, juga menyembelih kurban dan sejeneisnya. Kebolehan ini
dikarenakan tujuan dari ibadah-ibadah ini adalah menyampaikannya kepada pihak
yang berhak menerimanya. Sedangkan para ulama dalam Mazhab Maliki menyatakan
tidak boleh perwakilan dalam haji
Berakhirnya Masa Wakaalah
Menurut para ulama Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, Wakaalah
berakhir dengan berakhirnya waktu yang telah ditentukan, seperti sepuluh hari
misalnya, namum menurut pendapat yang kuat dalam Mazhab Hanafi, ia tidak
berakhir karenanya. Kematian atau kegilaan juga slah satu dari dua orang yang
berakad. Di antara syarat-syarat perwakilan adalah kehidupan dan keberadaan
akal. Apabila terjadi kematian atau kegilaan maka perwakilan telah kehilangan
sesuatu yang menentukan kesahannya.
Pemecatan wakil
oleh muwakil, meskipun wakil tidak mengetahui nya. Sementara menurut para ulama
Mazhab Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan. Sebelum dia mengetahui
pemecata, tindakan-tindakannya sama dengan tindakan-tindakannya sebelum
pemecatan dalam semua hukum.
Pengunduran diri
wakil. Tidak disyaratkan agar muwakil mengetahui atau menghadiri pengunduran
diri wakil. Sementara, para ulama Mazhab Hanafi mensyaratkan hal itu agar
muwakil tidak dirugikan. Selain itu diselesaikannya pekerjaan yang dituju dalam
perwakilan. Apabila pekerjaan yang dituju telah selesai maka perwakilan tidak
lagi berarti.
Demikianlah hal-hal terpenting yang dengannya akad wakaalah
berakhir menurut para ahli fiqih, semua kondisi di atas, kecuali kondisi
pemberhentian terhadap wakil, menuru Mazhab Hanafi mengakibatkan berakhirnya
wakaalah, baik wakil mengetahuinya maupun tidak[3].
Penutup
Kesimpulan
Dari
sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah
termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat
diterima. Pengertian Wakalah adalah:
·
Perlindungan (al-hifzh)
·
Pencukupan (al-kifayah)
·
Tanggungan (al-dhamah)
·
Pendelegasian (al-tafwidh)
Dalam
akad Wakalah beberapa rukun dan syarat harus dipenuhi agar akad ini menjadi
sah:
1. Orang
yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
·
Pemberi kuasa memiliki hak untuk bertasharruf pada
bidang-bidang yang didelegasikannya.
·
Pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau
mukallaf.
Orang
yang diwakilkan. (Al-Wakil)
·
Penerima kuasa perlu cakap hukum.
·
Penerima kuasa mampu menjalankan amanah
Obyek
yang diwakilkan. (Al-Muwakkil fih)
·
Boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya.
·
Obyek yang akan diwakilkan tidak boleh melanggar
Syari’ah Islam.
Kritik
Saya
mengakui bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Saya mohon
kritik yang membangun untuk memperbaiki kesilapan-kesilapan yang tidak di
teliti secara rinci dan ini adalah demi kesempurnaan makalah saya selanjutnya
Saran
Demikianlah
uraian singkat yang dapat Saya sampaikan. Mudah-mudahan dengan uraian yang
singkat ini dapat menambah pengetahuan kita dan berguna dalam kehidupan kita
sebagai umat Islam.
.
Daftar Pusaka
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, cet. Ke-10 Jakarta : Darul Fikir, 2011
Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah. Cet. Ke-3,
Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2011
0 comments:
Post a Comment