DEFINISI MUDHARABAH
Mudharabah adalah akad yang di dalamnya pemilik modal
memberikan modal (harta) pada ‘amil (pengelola) untuk mengelolanya, dan
keuntungannya menjadi milik bersama sesuai dengan apa yang mereka sepakati.
Sedangkan kerugiannya hanya menjadi tanggungan pemilik modal saja. ‘Amil tidak
menanggung kerugian apa pun kecuali pada usaha dan kerjanya sahaja. Pengarang
kitab Kanzul ‘Ummaal mendefinisikan mudharabah sebagai kongsi dengan modal dari
satu pihak dan kerja dari pihak lainnya.
Syarikat
Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al
Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di
kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat
ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan
perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:[1]
4
zNÎ=tæ
br&
ãbqä3uy
Oä3ZÏB
4ÓyÌó£D
tbrãyz#uäur
tbqç/ÎôØt
Îû
ÇÚöF{$#
tbqäótGö6t
`ÏB
È@ôÒsù
«!$#
tbrãyz#uäur
tbqè=ÏG»s)ã
Îû
È@Î6y
«!$#
(
(#râätø%$$sù
$tB
u£us?
çm÷ZÏB
4
“ia juga mengetahui Bahawa akan ada di antara kamu orang-orang
Yang sakit; dan Yang lainnya orang-orang Yang musafir di muka bumi untuk
mencari rezeki dari limpah kurnia Allah; dan Yang lainnya lagi orang-orang Yang
berjuang pada jalan Allah (membela ugamanya). maka bacalah mana-mana Yang sudah
kamu dapat membacanya dari Al-Quran”
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham
yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari
katamuqaaradhah yang
arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan
تَقَارَضَ الشَاعِرَانِ
“Dua orang penyair melakukan
muqaaradhah,” yakni
saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha
pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya
seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni memotong. Mereka itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya
hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk
diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan
usahanya.
Sedangkan dalam istilah para
ulama Syarikat
Mudhaarabah memiliki
pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak
pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari
keuntungan. Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua
pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar
diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan
kesepakatan. Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau
lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan
kontribusi 100% modal dari Shahib
Al Mal dan keahlian dari Mudharib.
Mudharabah
adalah akad yang di dalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada a’mil
(pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama sesuai
dengan apa yang mereka sepakati. Sedangkan kerugiannya hanya menjadi tanggungan
pemilik modal sahaja. ‘Amil tidak menanggung kerugian apa pun kecuali pada
usaha dan kerjanya saja.[2]
Para
imam mazhab sepakat bahawa mudharabah adalah boleh berdasarkan dengan Al-Quran,
Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Hanya saja, hukum ini merupakan pengecualian dari
masalah penipuan (gharar) dan ijarah yang masih belum diketahui. Dalam Surah
Al-Jumaah ayat 10 iaitu,
“Apabila
shalat telah dilaksanakan maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah
karunia Allah,”
Menurut
mazhab Hanafi rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafal yang
menunjukkan makna ijab dan qabul itu.
Menurut
mayoritas ulama, rukun mudharabah itu ada tiga yaitu pelaku akad (pemilik modal
dan ‘amil), ma’quud alaih (modal, kerja dan laba) dan sighah (ijab dan qabul.
Ulama syafiiyah menjadikan rukun tersebut ada lima, yaitu modal, kerja, laba,
sighah dan pelaku akad.)[3]
JENIS-JENIS
MUDHARABAH
Ada
dua jenis
1. Muthlaqah
2. Muqayyadah
Mudharabah
muthlaqah adalah seseorang yang memberikan modal kepada orang lain tanpa syarat
tertentu.[4]
Mudharabah
muqayyadah pula ialah akad mudharabah yang pemilik modal menentukan salah satu
hal seperti untung dibahagikan sama rata.
Syarat
dua di atas ini adalah dibolehkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad serta tidak
boleh menurut Malik dan Syafii. Demikian juga boleh menyandarkan akad pada
waktu yang akan datang menurut Abu Hanifah dan Ahmad dan tidak boleh menurut
Malik dan Syafii.
RUKUN
MUDHARABAH
Rukun
mudharabah adalah ijab dan Kabul yang keluar dari mulut dua orang yang memiliki
kapabilitas untuk melakukan akad. Tidak disyaratkan penggunaan lafaz tertentu,
tetapi akad terlaksana dengan semua lafaz yang menunjukkan makna mudharabah
karena yang menentukan dalam akad adalah tujuan, dan makna, bukan lafaz dan
struktur.[5]
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul
dengan lafal yang menunjukkan makna ijab dan qabul itu. Seperti jika pemilik modal
berkata, “Ambillah modal ini berdasarkan akad akad mudharabah dengan catatan
bahawa keuntungan akan diberikan kepada Allah nnati adalah milik kita bersama.
Menurut
mayoritas ulama, rukun mudharabah itu ada tiga, yaitu
pelaku akad (pemilik modal dan amil), ma’quud ‘alaih (modal, kerja, dan laba)
dan sighah (ijab dan qabul). Ulama Syafi’iyah menjadikan rukun tersebut lima,
yaitu modal, kerja, laba, sighah, dan pelaku akad.[6]
SYARAT-SYARAT
MUDHARABAH
a) Syarat-syarat
pelaku akad
-
Hal-hal yang
disyaratkan dalam pelaku akad (pemilik modal dan mudharib) adalah keharusan
memenuhi kecakapan untuk melakukan wakalah. Hal itu karena mudharib bekerja
atas perintah pemilik modal di mana hal itu mengandung makna mewakilkan.
Tetapi, tidak disyaratkan harus beragama Islam. Mudharabah sah di lakukan
antara seorang muslim dengan ahluz dzimmah (nonmuslim yang dibawah pemerintahan
Islam). Atau nonmuslim yang mendapat pelindungan di Negeri Islam. Menurut ulama
Malikiyah, mudharabah antara muslim dan ahlus dzimmah adalah makruh. Hal itu
jika dia tidak melakukan hal-hal yang diharamkan seperti riba.
b) Syarat-syarat
modal
1. Modal
harus berupa uang yang masih berlaku
-
Adapun jika
modal itu adalah hasil jualan barang, seperti seseorang memberikan barang
kepada yang lain dan berkata,” Juallah barang ini dan kelolalah harganya dengan
mudharabah.” Lalu orang itu menjualnya dan kemudian mengelola hasilnya.
-
Akad seperti itu
menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, karena pemilik modal tidak menyebutkan
barang untuk mudharabah, tetapi menyebutkan harga sementara harga adalah sah
untuk dijadikan modal mudharabah.
-
Menurut imam
Syafi’i, akad tersebut tidak boleh, karena pemilik modal melakukan mudharabah
dengan harga barang yang dijual dan hak itu tidak diketahui, maka seakan-akan
dia melakukan mudharabah dengan modal yang tidak diketahui.
-
Sebagaimana
tidak boleh melakukan mudharabah dengan barang, maka tidak boleh juga melakukan
mudharabah dengan emas atau perak dan potongan emas atau potongn perak.begitu
juga tidak boleh dengan fulus ( uang yang dibuat dari selain emas dan perak).
Menurut imam Abu Hanifah dan imam Malik, karena tidak dianggap sebagai barang
berharga secara mutlak.
2. Besarnya
modal harus diketahui
-
Jika besarnya
modal tidak diketahui, maka mudharabah tidak sah, karena ketidak jelasanterhadap
modal menyebabkan ketidak jelasan pada keuntungan. Sementara penentuan jumlah
keuntungan merupakan syarat sah dalam mudharabah.
3. Modal
harus barang tertentu dan ada bukan utang.
-
Mudharabah tidak
sah dengan utang dan modal yang tidak ada. Mudharabah yang dilakukan dengan
hutang adalah mudharabah yang fasid.
-
Hal ini juga
disepakati oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Menurut mereka,
tidak sah melakukan mudharabah dengan hutang mudharib pada pemilik modal. Akan
tetapi, terlebih dahulu utangnya harus diserahkan pada yang berpiutang (pemilik
modal), kemudiannya yang berpiutang menyerahkannya lagi kepada mudharib.
4. Menerima
hutang
-
Jika seseorang
berkata kepada yang lain, “Terimalah utang si fulan padaku dan kelolalah dengan
mudharab,” maka hal ini boleh menurut kesepakatan ulama. Hal itu karena
mudharab disini disebutkan pada hutang yang diterima yang menjadi amanah
kepadanya.
-
Wadi’ah
(titipan) . menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, akad mudharabah
dibolehkan jika ada wadi’ah di tangan seseorang.
-
Ulama Malikiyah
pula berpendapat bahwa sesuatu yang digadaikan atau ditipkan tidak boleh
dijadikan modal mudharabah, karena mirip dengan hutang.
5. Modal
harus diberikan kepada ‘amil mudharib
-
Agar amil bisa
bekerja dengan modal tersebut. Seain itu, karena modal tersebut adalah amanah
ditangan amil, maka tidak sah kecuali dengan menyerahkannya padanya, yaitu
melepaskannya seperti wadia’ah.
-
Syarat ini
menjadi kesepakatan mayoritas ulama, yaitu Abu hanifah dan murid-muridnya,
Malik, dan Syafi’i.
-
Ulama malikiyah
membolehkan bagi ‘amil mensyaratkan pada pemilik modal bekerja dengan secara
gratis dalam modal mudharabah.
c) Syarat-syarat
keuntungan
1. Besarnya
keuntungan harus diketahui
-
Ma’qud alaih
(objek akad) atau tujuan dari akad adalah keuntungan sementara ketidakjelasan
terhadap maa’qud alaih menyebabkan batalnya akad.
-
Menurut ulama
Hanafiyah, jika terdapat syarat yang menyebabkan ketidak jelasan keuntungan
maka akad mudharabah menjadi batal, kerana rusaknya tujuan dari akad tersebut,
yaitu keuntungan.
-
Ulama Hanafiyah
juaga, menyatakan boleh mensyaratkan dirham tertentu atas salah seorang pelaku
akad, jika keuntungan tersebut melebihi dari sekian dirham. Syarat ini sah dan
tidak berpengaruh terhadap keabsahan mudharabah, karena syarat ini tidak
menyebabkan ketidak jelasan keuntungan.
-
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa boleh mensyaratkan seluruh keuntungan untuk amil.
-
Alasan pendapat
ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah bahwa jika tidak mungkin mengesahkan akad
sebagai mudharabah, maka akad itu dijadikan akad pinjaman.
2. Keuntungan
merupakan bagian dari milik bersama.
-
Rasio persepuluh
atau bagian dari keuntungan, seperti jika keduanya sepakat dengan seprtiga,
seperempat, atau setengah.
-
Ibnu madzir
berkata, “Semua ulama yang kami tahu telah sepakat bahwa qiradh batal jika
salah seorang pelaku akad atau keduanya mensyaratkan bagi dirinya sejumlah
dirham tertentu.
Apabila
mudharabah berakhir, sedangkan modal telah berbentuk barang dagangan maka
pemilik modal dan mudharib boleh menjualnya atau membaginya karena itu adalah
hak keduanya. Apabila mudharib menginginkan penjualan dan pemilik modal
menolaknya maka pemilik modal boleh dipaksa untuk melakukan penjualan karena
mudharib memiliki hak dalam keuntungan dan dia tidak bisa memperolehnya kecuali
dengan penjualan. Ini adalah pendapat para ulama mazhab Syafii dan Hanbali.[7]
Dua Transaksi Jual Beli
dalam Satu Jual Beli atau Dua Syarat dalam satu Jual Beli
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw.melarang
dua transaksi jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli. Diriwayatkan dari
Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi saw, melarang dua transaksi jual beli dalam
satu jual beli.” Diriwayatkan pula dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari
kakeknya bahwa Nabi saw. Bersabda, “ Tidak boleh terjadi pinjaman bersamaan
jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, keuntungan tanpa ada jaminan, dan
menjual sesuatu yang kamu tidak miliki.”
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud
dua transaksi jual beli dalam satu jual beli. Imam Syafi’I mengatakan, “ Ada
dua penafsiran mengenai hal ini. Pertama, seseorang mengatakan, “ Saya jual
barang ini kepadamu dengan harga seribu dengan tunai maka mana saja yang kamu
mau kamu boleh pilih”. Namun jual beli dianggap lazim pada salah satu pilihan
sehingga jual beli ini batal, karena terjadi pengaburan dan penggantungan jual
beli. Kedua seseorang mengatakan. Saya jual kepadamu rumahku dengan syarat kamu
jual kepadaku kudamu.”
Hanafi berpendapat bahwa jual beli ini fasid karena harga
barang tidak jelas dan adanya penggantungan serta ketidakjelasan, dimana harga
barang tidak tentu, apakah dibayar tunai atau kredit. Jika harga barang
ditetapkan dan diterima pada salah satu pilihan, maka transaksi menjadi sah.
Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa transaksi jual beli
ini batal karena dianggap mengandung gharar dengan sebab adanya ketidakjelasan
didalamnya. Karena penjual tidak memutuskan
bentuk jual beli yang dia lakukan dan sama halnya kalau penjual
mengatakan,” saya jual kepadamu barang ini atau itu.
Malik berpendapat bahwa jual beli ini sah dan dianggap
sama dengan jual beli yang memberi pilihan kepada pihak pembeli. Karena itu
transaksi berlaku pada salah satu bentuk jual beli yang dipilih, dimana bisa
dikatakan bahwa terjadi di antara kedua belah pihak seperti apa yang disepakati
dalam transaksi, seperti apa halnya seorang pembeli berkata, “saya beli barang ini
dengan harga sekian kredit”. Lalu penjual menjawabnya, “Ambil!” atau, “ Saya
rela,”[8]
REFERENSI
1. Al-Quran
Al Karim
2. Abdul
Hayyie al- Kattani, Fiqih Islami Wa Adillatuhu 5/Wahbah az-Zuhaili,
Jakarta,Gema Insani
3. Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah 5, Jakarta, Darul
Fath
4. Al-Faqih
Abul Wahid Muhammad bin Achmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
Jakarta, Pustaka Amani
5. Syeikh
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab 6, Jakarta, Darul Ulum Press
6. Al-imam
Syafii R.A, karangan Prof. Tk. H. Ismail Yakub Sh-Ma., Al-Umm Jilid 6, Kuala
Lumpur, Victory Agencie
[1]
Al-Quran Alkarim
[2]
Fiqih Islam Wa Adilatuhu
[4]
Al-Faqih
Abul Wahid Muhammad bin Achmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
Jakarta, Pustaka Amani hlm 302
[5]
Muhammad
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, hlm 165
[6]
Fiqih Islam
Wa Adilatuhu
[7]
Al-Imam
Syafii R.A, karangan Prof. Tk. H. Ismail Yakub Sh-Ma., Al-Umm Jilid 6, Kuala
Lumpur, Victory Agencie hlm 54
[8]
Fiqih Islam Wa Adilatuhu
0 comments:
Post a Comment