SILA "CLICK NEW TAB FOR DETAIL POST" JIKA MENGHADAPI MASALAH MEMBACA ENTRI SILA EMAIL KAN PADA CAKERAWALA IBTISAM TERIMA KASIH

Apr 21, 2013

mudharabah perbandingan


DEFINISI MUDHARABAH
Mudharabah adalah akad yang di dalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada ‘amil (pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Sedangkan kerugiannya hanya menjadi tanggungan pemilik modal saja. ‘Amil tidak menanggung kerugian apa pun kecuali pada usaha dan kerjanya sahaja. Pengarang kitab Kanzul ‘Ummaal mendefinisikan mudharabah sebagai kongsi dengan modal dari satu pihak dan kerja dari pihak lainnya.
Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:[1]
4 zNÎ=tæ br& ãbqä3uy Oä3ZÏB 4ÓyÌó£D   tbrãyz#uäur tbqç/ÎŽôØtƒ Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$#   tbrãyz#uäur tbqè=ÏG»s)ムÎû È@Î6y «!$# ( (#râätø%$$sù $tB uŽœ£uŠs? çm÷ZÏB 4
“ia juga mengetahui Bahawa akan ada di antara kamu orang-orang Yang sakit; dan Yang lainnya orang-orang Yang musafir di muka bumi untuk mencari rezeki dari limpah kurnia Allah; dan Yang lainnya lagi orang-orang Yang berjuang pada jalan Allah (membela ugamanya). maka bacalah mana-mana Yang sudah kamu dapat membacanya dari Al-Quran”
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari katamuqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan



تَقَارَضَ الشَاعِرَانِ
“Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,” yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni memotong. Mereka itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya.
Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan. Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.

Mudharabah adalah akad yang di dalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada a’mil (pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Sedangkan kerugiannya hanya menjadi tanggungan pemilik modal sahaja. ‘Amil tidak menanggung kerugian apa pun kecuali pada usaha dan kerjanya saja.[2]
Para imam mazhab sepakat bahawa mudharabah adalah boleh berdasarkan dengan Al-Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Hanya saja, hukum ini merupakan pengecualian dari masalah penipuan (gharar) dan ijarah yang masih belum diketahui. Dalam Surah Al-Jumaah ayat 10 iaitu,
“Apabila shalat telah dilaksanakan maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah,”
Menurut mazhab Hanafi rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafal yang menunjukkan makna ijab dan qabul itu.
Menurut mayoritas ulama, rukun mudharabah itu ada tiga yaitu pelaku akad (pemilik modal dan ‘amil), ma’quud alaih (modal, kerja dan laba) dan sighah (ijab dan qabul. Ulama syafiiyah menjadikan rukun tersebut ada lima, yaitu modal, kerja, laba, sighah dan pelaku akad.)[3]

JENIS-JENIS MUDHARABAH
Ada dua jenis
1.      Muthlaqah
2.      Muqayyadah
Mudharabah muthlaqah adalah seseorang yang memberikan modal kepada orang lain tanpa syarat tertentu.[4]
Mudharabah muqayyadah pula ialah akad mudharabah yang pemilik modal menentukan salah satu hal seperti untung dibahagikan sama rata.
Syarat dua di atas ini adalah dibolehkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad serta tidak boleh menurut Malik dan Syafii. Demikian juga boleh menyandarkan akad pada waktu yang akan datang menurut Abu Hanifah dan Ahmad dan tidak boleh menurut Malik dan Syafii.

RUKUN MUDHARABAH
Rukun mudharabah adalah ijab dan Kabul yang keluar dari mulut dua orang yang memiliki kapabilitas untuk melakukan akad. Tidak disyaratkan penggunaan lafaz tertentu, tetapi akad terlaksana dengan semua lafaz yang menunjukkan makna mudharabah karena yang menentukan dalam akad adalah tujuan, dan makna, bukan lafaz dan struktur.[5]
Menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafal yang menunjukkan makna ijab dan qabul itu. Seperti jika pemilik modal berkata, “Ambillah modal ini berdasarkan akad akad mudharabah dengan catatan bahawa keuntungan akan diberikan kepada Allah nnati adalah milik kita bersama.
Menurut mayoritas ulama, rukun mudharabah itu ada tiga, yaitu pelaku akad (pemilik modal dan amil), ma’quud ‘alaih (modal, kerja, dan laba) dan sighah (ijab dan qabul). Ulama Syafi’iyah menjadikan rukun tersebut lima, yaitu modal, kerja, laba, sighah, dan pelaku akad.[6]

SYARAT-SYARAT MUDHARABAH
a)      Syarat-syarat pelaku akad
-          Hal-hal yang disyaratkan dalam pelaku akad (pemilik modal dan mudharib) adalah keharusan memenuhi kecakapan untuk melakukan wakalah. Hal itu karena mudharib bekerja atas perintah pemilik modal di mana hal itu mengandung makna mewakilkan. Tetapi, tidak disyaratkan harus beragama Islam. Mudharabah sah di lakukan antara seorang muslim dengan ahluz dzimmah (nonmuslim yang dibawah pemerintahan Islam). Atau nonmuslim yang mendapat pelindungan di Negeri Islam. Menurut ulama Malikiyah, mudharabah antara muslim dan ahlus dzimmah adalah makruh. Hal itu jika dia tidak melakukan hal-hal yang diharamkan seperti riba.

b)      Syarat-syarat modal
1.      Modal harus berupa uang yang masih berlaku
-          Adapun jika modal itu adalah hasil jualan barang, seperti seseorang memberikan barang kepada yang lain dan berkata,” Juallah barang ini dan kelolalah harganya dengan mudharabah.” Lalu orang itu menjualnya dan kemudian mengelola hasilnya.
-          Akad seperti itu menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, karena pemilik modal tidak menyebutkan barang untuk mudharabah, tetapi menyebutkan harga sementara harga adalah sah untuk dijadikan modal mudharabah.
-          Menurut imam Syafi’i, akad tersebut tidak boleh, karena pemilik modal melakukan mudharabah dengan harga barang yang dijual dan hak itu tidak diketahui, maka seakan-akan dia melakukan mudharabah dengan modal yang tidak diketahui.
-          Sebagaimana tidak boleh melakukan mudharabah dengan barang, maka tidak boleh juga melakukan mudharabah dengan emas atau perak dan potongan emas atau potongn perak.begitu juga tidak boleh dengan fulus ( uang yang dibuat dari selain emas dan perak). Menurut imam Abu Hanifah dan imam Malik, karena tidak dianggap sebagai barang berharga secara  mutlak.

2.      Besarnya modal harus diketahui
-          Jika besarnya modal tidak diketahui, maka mudharabah tidak sah, karena ketidak jelasanterhadap modal menyebabkan ketidak jelasan pada keuntungan. Sementara penentuan jumlah keuntungan merupakan syarat sah dalam mudharabah.

3.      Modal harus barang tertentu dan ada bukan utang.
-          Mudharabah tidak sah dengan utang dan modal yang tidak ada. Mudharabah yang dilakukan dengan hutang adalah mudharabah yang fasid.
-          Hal ini juga disepakati oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Menurut mereka, tidak sah melakukan mudharabah dengan hutang mudharib pada pemilik modal. Akan tetapi, terlebih dahulu utangnya harus diserahkan pada yang berpiutang (pemilik modal), kemudiannya yang berpiutang menyerahkannya lagi kepada mudharib.
4.      Menerima hutang
-          Jika seseorang berkata kepada yang lain, “Terimalah utang si fulan padaku dan kelolalah dengan mudharab,” maka hal ini boleh menurut kesepakatan ulama. Hal itu karena mudharab disini disebutkan pada hutang yang diterima yang menjadi amanah kepadanya.
-          Wadi’ah (titipan) . menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, akad mudharabah dibolehkan jika ada wadi’ah di tangan seseorang.
-          Ulama Malikiyah pula berpendapat bahwa sesuatu yang digadaikan atau ditipkan tidak boleh dijadikan modal mudharabah, karena mirip dengan hutang.

5.      Modal harus diberikan kepada ‘amil mudharib
-          Agar amil bisa bekerja dengan modal tersebut. Seain itu, karena modal tersebut adalah amanah ditangan amil, maka tidak sah kecuali dengan menyerahkannya padanya, yaitu melepaskannya seperti wadia’ah.
-          Syarat ini menjadi kesepakatan mayoritas ulama, yaitu Abu hanifah dan murid-muridnya, Malik, dan Syafi’i.
-          Ulama malikiyah membolehkan bagi ‘amil mensyaratkan pada pemilik modal bekerja dengan secara gratis dalam modal mudharabah.

c)      Syarat-syarat keuntungan
1.      Besarnya keuntungan harus diketahui
-          Ma’qud alaih (objek akad) atau tujuan dari akad adalah keuntungan sementara ketidakjelasan terhadap maa’qud alaih menyebabkan batalnya akad.
-          Menurut ulama Hanafiyah, jika terdapat syarat yang menyebabkan ketidak jelasan keuntungan maka akad mudharabah menjadi batal, kerana rusaknya tujuan dari akad tersebut, yaitu keuntungan.
-          Ulama Hanafiyah juaga, menyatakan boleh mensyaratkan dirham tertentu atas salah seorang pelaku akad, jika keuntungan tersebut melebihi dari sekian dirham. Syarat ini sah dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan mudharabah, karena syarat ini tidak menyebabkan ketidak jelasan keuntungan.
-          Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh mensyaratkan seluruh keuntungan untuk amil.
-          Alasan pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah bahwa jika tidak mungkin mengesahkan akad sebagai mudharabah, maka akad itu dijadikan akad pinjaman.


2.      Keuntungan merupakan bagian dari milik bersama.
-          Rasio persepuluh atau bagian dari keuntungan, seperti jika keduanya sepakat dengan seprtiga, seperempat, atau setengah.
-          Ibnu madzir berkata, “Semua ulama yang kami tahu telah sepakat bahwa qiradh batal jika salah seorang pelaku akad atau keduanya mensyaratkan bagi dirinya sejumlah dirham tertentu.

Apabila mudharabah berakhir, sedangkan modal telah berbentuk barang dagangan maka pemilik modal dan mudharib boleh menjualnya atau membaginya karena itu adalah hak keduanya. Apabila mudharib menginginkan penjualan dan pemilik modal menolaknya maka pemilik modal boleh dipaksa untuk melakukan penjualan karena mudharib memiliki hak dalam keuntungan dan dia tidak bisa memperolehnya kecuali dengan penjualan. Ini adalah pendapat para ulama mazhab Syafii dan Hanbali.[7]

Dua Transaksi Jual Beli dalam Satu Jual Beli atau Dua Syarat dalam satu Jual Beli
          
           Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw.melarang dua transaksi jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi saw, melarang dua transaksi jual beli dalam satu jual beli.” Diriwayatkan pula dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi saw. Bersabda, “ Tidak boleh terjadi pinjaman bersamaan jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, keuntungan tanpa ada jaminan, dan menjual sesuatu yang kamu tidak miliki.”
           Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud dua transaksi jual beli dalam satu jual beli. Imam Syafi’I mengatakan, “ Ada dua penafsiran mengenai hal ini. Pertama, seseorang mengatakan, “ Saya jual barang ini kepadamu dengan harga seribu dengan tunai maka mana saja yang kamu mau kamu boleh pilih”. Namun jual beli dianggap lazim pada salah satu pilihan sehingga jual beli ini batal, karena terjadi pengaburan dan penggantungan jual beli. Kedua seseorang mengatakan. Saya jual kepadamu rumahku dengan syarat kamu jual kepadaku kudamu.”
           Hanafi berpendapat bahwa jual beli ini fasid karena harga barang tidak jelas dan adanya penggantungan serta ketidakjelasan, dimana harga barang tidak tentu, apakah dibayar tunai atau kredit. Jika harga barang ditetapkan dan diterima pada salah satu pilihan, maka transaksi menjadi sah.
           Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa transaksi jual beli ini batal karena dianggap mengandung gharar dengan sebab adanya ketidakjelasan didalamnya. Karena penjual tidak memutuskan  bentuk jual beli yang dia lakukan dan sama halnya kalau penjual mengatakan,” saya jual kepadamu barang ini atau itu.
           Malik berpendapat bahwa jual beli ini sah dan dianggap sama dengan jual beli yang memberi pilihan kepada pihak pembeli. Karena itu transaksi berlaku pada salah satu bentuk jual beli yang dipilih, dimana bisa dikatakan bahwa terjadi di antara kedua belah pihak seperti apa yang disepakati dalam transaksi, seperti apa halnya   seorang pembeli berkata, “saya beli barang ini dengan harga sekian kredit”. Lalu penjual menjawabnya, “Ambil!” atau, “ Saya rela,”[8]

















REFERENSI

1.      Al-Quran Al Karim
2.      Abdul Hayyie al- Kattani, Fiqih Islami Wa Adillatuhu 5/Wahbah az-Zuhaili, Jakarta,Gema Insani
3.      Sayyid Sabiq,  Fiqih Sunnah 5, Jakarta, Darul Fath
4.      Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jakarta, Pustaka Amani
5.      Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab 6, Jakarta, Darul Ulum Press
6.      Al-imam Syafii R.A, karangan Prof. Tk. H. Ismail Yakub Sh-Ma., Al-Umm Jilid 6, Kuala Lumpur, Victory Agencie



[1] Al-Quran Alkarim
[2] Fiqih Islam Wa Adilatuhu
[3] Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab 6, Jakarta, Darul Ulum Press

[4] Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jakarta, Pustaka Amani hlm 302
[5] Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, hlm 165
[6] Fiqih Islam Wa Adilatuhu
[7] Al-Imam Syafii R.A, karangan Prof. Tk. H. Ismail Yakub Sh-Ma., Al-Umm Jilid 6, Kuala Lumpur, Victory Agencie hlm 54

[8] Fiqih Islam Wa Adilatuhu

0 comments: