PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Larangan riba telah diatur secara
tegas dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Hal tersebut seperti yang diatur dalam
Al’Quran Surat Ali’Imran ayat 103 yang artinya
bahwa : “Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang berlipat
ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Selanjutnya di dalam Hadist Nabi SAW
juga terdapat beberapa penjelasan mengenai riba, antara lain :
Dari Jubair ra, Rasulullah SAW
mencela penerima dan pembayar bunga orang yang mencatat begitu pula yang
menyaksikan. Beliau bersabda, “mereka semua sama-sama berada dalam dosa” (HR.
Muslim, Tirmidzi, dan ahmad).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh bahwa
Rasulullah SAW bersabda “Tuhan
sebenarnya
berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak
mempunyai petunjuk yakni: peminum arak, pemakan riba, pemakan harta milik anak
yatim dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya.”(Muttafaqun ‘Alaihi)
Dari Ubada bin Sami ra, Rasulullah
SAW bersabda, “emas untuk emas, perak
untuk perak,
gandum untuk gandum. Barang siapa membayar lebih atau menerima lebih dia telah
berbuat riba, pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa)” (HR. Muslim dan
Ahmad).
Pengaturan riba tersebut di atas
bertujuan untuk menghilangkan praktik riba
di dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan adanya ketetapan yang mengatur secara
tegas mengenai
pelarangan riba, maka diharap pengamalan riba dapat dikurangkan seterusnya
menghapuskan riba dalam apa-apa saja bentuk muamalah sehari-hari
B. RIBA’
1. PENGERTIAN:
Riba’ secara bahasa berarti tambahan. Allah SWT berfirman
di dalam suarah Al-Hajj ayat 5:
... !#sÎ*sù $uZø9tRr& $ygøn=tæ uä!$yJø9$# ôN¨tI÷d$# ôMt/uur ôMtFt6/Rr&ur `ÏB Èe@à2 £l÷ry 8kÎgt/ ÇÎÈ
Artinya:
“… Kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya ,
hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan
tumbuhan yang indah.”
Masksudnya, bertambah.
Allah SWT berfirman di dalam surah
An-Nahl ayat 92:
... br& cqä3s? îp¨Bé& }Ïd 4n1ör& ô`ÏB >p¨Bé& 4 ... ÇÒËÈ
Artinya:
“… Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain….”
Maksudnya, jumlahnya banyak.[1]
Sedangkan pengertian riba’ dalam istilah fuqaha
(para ahli fiqh) adalah penambahan pada salah satu dari dua barang sejenis yang
dipertukarkan tanpa ada ganti atas tambahan tadi.[2]
Riba’ diharamkam berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan
ijma’.
Allah berfirman di dalam surah
Al-Baqarah ayat 275, yang bermaksud:
“Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan menghalalkan riba’.”
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud r.a.
berkata, “Rasulullah melaknat pemakan riba’, saksinya dan penulisnya.”[3]
2. MACAM-MACAM RIBA’
Menurut jumhur ulama’ riba’ ada dua
macam yaitu riba’ nasiah dan riba’ fadhl.[4]
1. Riba’ al-nasiah, yaitu jual beli - penambahan
yang dilakukan karena menangguhkan pembayaran. Contohnya, seseorang membeli 1 irdabb
gandum pada musim hujan dengan 1 setengah irdabb gandum dibayar pada musim panas
dimana kelebihan setengah irdabb harga tidak diperhitungkan dengan
barang, melainkan sekadar ganti penangguhan waktu. Itulah sebabnya disebut
riba’ al-nasiah (penambahan karena penangguhan waktu bayar). (Catatan:1
irdabb = 198 liter).[5]
Riba’ ini diambil sebagai kompensasi penangguhan pembayaran utang yang jatuh
tempo, baik utang tersebut merupakan harga barang yang belum dibayar ketika
akad maupun merupakan utang dari pinjaman.[6]
Baik pertukaran antara dua jenis barang yang sama atau tidak.[7]
2. Riba’ al-fadhl, yaitu jual beli - penambahan
pada salah satu barang yang saling ditukar. Dengan demikian, tambahan ini tanpa
disertai penangguhan penyerahan. Riba’ tidak terjadi kecuali pada dua jenis
barang sejenis, seperti satu takar gandum dengan satu setengah takar gandum
yang sama, satu gram emas dengan satu setengah gram emas. Riba’ ini terjadi
dalam jual beli enam barang, yaitu emas, perak, gandum, jelai, garam, dan
kurma.[8]
3. Riba al-yad, jual beli dengan
menunda penyerahan kedua barang atau salah satu barang tapi tanpa menyebut
waktu penangguhan. Maksudnya, akad jual beli dua barang tidak sejenis, seperti
gandum dengan jelai, tanpa penyerahan barang di majelis akad.[9]
Riba’ jenis ini adalah menurut ulama’ Syafi’iyyah.
Hukum akad yang mengandungi riba’, baik
riba’ nasiah maupun riba’ fadhl adalah batil (tidak sah)
menurut jumhur ulama’ Sedangkan ulama’ Hanafiyyah, akad tersebut adalah fasid
(rusak).[10]
Hukum riba’ al-yad adalah haram.
3. MAZHAB PARA ULAMA’ DALAM ILLAT RIBA’
MAZHAB
HANAFI
Illat riba’ fadhl
Para
ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa illat riba’ fadhl (maksudnya kriteria
untuk mengetahui barang-barang ribawi) adalah barang tersebut ditakar atau
ditimbang dengan kesamaan dalam jenisnya. Jika kedua hal ini berkumpul, maka
diharamkan memberikan tambahan dan penangguhan penyerahan. Dengan demikian,
illat riba’ dalam empat hal yang disebutkan dalam nash (yaitu gandum, jelai,
kurma dan garam) adalah penakaran dan kesamaan jenis. Adapun illat riba’ dalam
emas dan perak adalah penimbangan dan dan kesamaan jenis.
Oleh karena itu, illat riba’ fadhl
tidak terealisasi kecuali jika terdapat dua criteria itu bersama-sama,
yaitu ukuran dan kesamaan jenis. Maksud ukuran di sini adalah ukuran yang
diakui syara, yaitu takaran dan timbangan serta adanya kesamaan jenis, sehingga
riba’ hanya terjadi pada barang-barang yang memiliki ukuran dan jenis yang
sama. Seperti jual beli emas dengan emas jika salah satunya memiliki tambahan
dari yang lain, tambahan itulah yang dinamakan riba’. Dengan demikian,
barang-barang yang memiliki varian serupa (mitsliyat, yaitu
barang-barang yang ditakar dan ditimbang) adalah barang yang memungkinkan
terjadi riba’ di dalamnya. Adapun barang-barang qimiyat (barang yang
dinilai karena tidak memiliki varian lain serupa), seperti hewan, rumah
berbagai jenis karpet, intan dan mutiara, maka tidak ada riba’ di dalamnya.
Sehingga dibolehkan melakukan pertukaran antara yang sedikit dengan yang banyak,
seperti seekor kambing dengan dua ekor kambing. Hal itu karena qimiyat
bukanlah barang yang dapat diukur, atau dengan kata lain barang satuannya tidak
sama ukuran dan kadarnya.
Dalil masalah ini adalah hadiths
shahih yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri dan Ubadah bin Shamit dari
Nabi saw., bahwa beliau bersabda:
“Emas
dengan emas, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan,
kelebihannnya adalah riba’. Perak dengan perak, masing-masing kadarnya sama dan
diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannya adalah riba’. Gandum dengan
gandum, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan,
kelebihannya adalah riba’. Jelai dengan jelai, masing-masing kadarnya sama dan
diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannya dalah riba’. Kurma dengan kurma,
masing-masing kadarnya sama dan diserahkan dari tangan ke tangan, kelebihannya
adalah riba’. Garam dengan garam, masing-masing kadarnya sama dan diserahkan
dari tangan ke tangan, kelebihannya adalah riba’”.
Illat riba’ nasiah
Illat riba’ naisah yang merupakan
riba’ jahiliah adalah adanya salah satu dari dua sifat riba’ fadhl,
yaitu takaran atau timbangan dan kesamaan jenis barang. Misalnya, jika seseorang
membeli satu sha’ gandum di musim dingin dengan satu setengah sha’ gandum yang
penyerahan kedua barang itu pada musim panas. Setengah sha’ yang ditambah pada
harga tidak memiliki kompensasi apa pun pada barang yang dijual, tetapi hanya
sebagai kompensasi dari penangguhan waktu pembayaran saja. Oleh karena itu,
riba’ ini dinamakan nasiah, yang berarti penangguhan salah satu barang
yang dipertukarkan.
Jika hanya terdapat jenis ukuran
sama saja, seperti pertukaran antara gandum dan jelai dengan ukuran yang sama,
atau hanya terdapat kesamaan jenis barang saja, seperti pertukaran satu buah
epal dengan dua buah epal, atau jelai dengan jelai, maka dalam pertukaran
seperti ini tidak boleh adanya penangguhan penyerahan. Demikianlah, maka
keharaman riba’ fadhl terjadi dengan dua sifat, sedangkan pengharaman
riba’ nasiah karena salah satu dari dua sifat.
Karena
kesamaan jenis barang saja telah cukup mengharamkan penundaan pembayaran, maka
ukuran menjadi tidak diperhitungkan (yaitu setengah sha’ ke atas). Jika
kesamaan jenis barang tidak ada, seperti menukarkan satu hafnah (ukuran
dua telapak penuh) gandum dengan dua hafnah jelai, maka dalam pendapat
yang terkuat hal ini dibolehkan secara
mutlak baik tunai maupun tidak, karena tidak ada illat riba’ dalam keadaan
tersebut.[11]
MAZHAB
MALIKI
Para ulama’ Malikiyah dalam pendapat
yang kuat berpendapat bahwa illat pengharaman tambahan emas dan perak adalah
nilai (naqdiyah/tsamaniyah). Adapun illat pengharaman dalam makanan maka
dibedakan antara illat riba’ fadhl dan illat riba’ nasiah.
Illat riba’ nasiah
Illat dalam pengharaman riba’ nasiah
adalah barang yang dapat dimakan untuk dan merupakan bahan pokok saja, maupun bukan
merupakan bahan pokok dan tidak dapat disimpan,seperti jenis sayur-sayuran
seperti labu, semangka, jeruk, lemon, sawi, wortel dan sebagainya. Juga
macam-macam buah-buahan, seperti ruthab (kurma basah), apel, pisang dan
sebagainya.
Illat riba’ fadhl
Illat pengharaman riba’ fadhl
adalah dua hal, yaitu bahan pokok dan dapat disimpna. Maksudnya, makanan
tersebut merupakan bahan pokok dan digunakan pada umumnya sebagai makanan pokok
untuk menopang tubuh manusia. Dengan kata lain, jika seseorang hidup dengan
makanan tersebut tanpa suatu yang lain, maka ia dapat hidup dan kesehatan
tubuhnya tetap baik. Makanan pokok tersebut seperti seluruh jenis biji-bijian,
kurma, kismis, daging, susu dan makanan turunannya. Termasuk dalam jenis
makanan pokok ini bahan makanan yang berguna untuk menambahkan nikmat makanan,
seperti garam, bumbu-bumbuan, cuka, bawang merah, bwang putih, dan minyak.
Maksud dapat disimpan adalah makanan
tersebut tidak rusak dengan penundaan pengkomsusinya (dapat tahan lama).
Menurut pendapat yang kuat, tidak ada batasan waktu dalam penundaaan ini, namun
disesuaikan dengan waktu yang biasa dipergunakan untuk memanfaatkan makanan
tersebut. Sehingga, yang menjadi ukuran adalah kebiasaan masyarakat tanpa
pembatasan waktu, sebagaimana pendapat sebagian ulama’.
Dalil
mereka mengenai illat ini adalah ketika hukum pengharaman tersebut bersifat
dapat dicerna oleh akal (ma’qulul ma’na), yaitu agar masyarakat tidak
saling menipu dan untuk menjaga harta mereka, maka hukum tersebut harus
diterapkan pada barang-barang yang menjadi pokok kehidupan.[12]
MAZHAB SYAFI’I
Para Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa illat riba dalam jenis emas dan perak adalah nilai. Adapun illat riba’
pada empat jenis barang ribawi lainnya adalah makanan. Maksudnya, barang-barang
itu termasuk barang yang dapat dimakan, yang mencakupi tiga hal.
Pertama, makanan yang digunakan
sebagai makanan pokok. Contohnya adalah gandum dan jelai, karena kedua makanan
ini pada umumnya digunakan sebagai bahan makanan pokok
Kedua, makanan yang digunakan
sebagai buah. Dalam hadits yang mengenai barang-barang ribawi disebut jenis
kurma, sehingga dimasukkan ke dalamnya makanan sejenis seperti kismis dan buah
tin.
Ketiga, makanan yang berfungsi untuk
memperbaiki makanan atau badan (sebagai obat). Dalam hadits barang ribawi
disebutkan garam. Dan digabungkan ke dalam jenis ini berbagai jenis bahan
obat-obatan seperti sanmaki, saqmoniya (scammony) dan
jahe, serta berbagai jenis pil, seperti pil kering.
Maka tidak dibedakan antara barang
yang digunakan untuk memperbaiki rasa makanan ataupun memperbaiki kesehatan
badan. Makanan adalah untuk menjaga kesehatan, sedangkan obat-obatan adalah
untuk mengembalikan mengembalikan kesehatan. Dengan demikian, makanan adalah adalah
segala jenis barang yang secara umum digunakan untuk bahan makanan, baik secara
makanan pokok, buah maupun obat.
Dari penjelasan di atas, illat riba’
menurut ulama’ Syafi’iyah adalah makanan atau nilai. Dalil para ulama’
Syafi’iyah adalah bahwa jika sebuah hukum dinyatakan dalam bentuk kata turunan
(al-mustaq) maka makna yang terkandung dalam kata dasar (al-mustaq
minhu) dari kata turunan itu adalah illat dari hukum tersebut. Contohnya
adalah firman Allah, yang bermaksud:
“Laki-laki yang mencuri dan wanita
mencuri, potonglah tangan keduanya.” (al-Maidah: 38)
Dari ayat ini dipahami bahwa
pencurian adalah illat dari pemotongan tangan. Jika hal ini telah difahami,
maka dalam hadits Ma’mar bin Abdullah r.a. disebutkan bahwa ia berkata, “Saya
mendengar Rasulullah bersabda, ‘makanan dengan makanan masing-masing harus
serupa.’”
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa
makanan adalah illat dari hukum riba’. Hal itu karena kata “ath-tha’aam” (makanan)
berasal dari kata “ath-thu’m (sesuatu yang dapat dimakan), sehingga
mencakupi segala jenis barang yang dapat dimakan.[13]
MAZHAB
HAMBALI
Dalam mazhab Hambali terdapat tiga
riwayat mengenai illat riba’. Yang paling masyhur di antara tiga riwayat ini
adalah seperti mazhab Hanafi, yaitu bahwa illat riba’ adalah takaran atau
timbangan dengan kesamaan jenis barang.
Riwayat kedua serupa dengan mazhab
Syafi’i
Riwayat ketiga menyatakan bahwa
illat riba’ selain untuk jenis emas dan perak adalah makanan yang ditakar dan
ditimbang. Begitu pula, tidak terkena pada riba’ fadhl barang yang bukan
makanan, seperti za’faran, besi, timah dan sebagainya. Ini adalah pendapat Said
bin Musayyib sebagaimana telah dijelaskan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah,
“Tidak ada riba’ kecuali dalam
barang yang ditakar atau ditimbang dari barang-barang yang dimakan atau
diminum.”[14]
KESIMPULAN
Illat pengharaman ketidaksamaan ukuran dua barang yang
dipertukarkan untuk sejenis makanan: menurut ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah
adalah barang yang ditakar atau ditimbang, menurut Imam Malik adalah makanan
pokok yang dapat disimpan, sedangkan Imam Syafi’I adalah makanan.
Adapun kebolehan adanya tambahan
pada selain naqdain (emas dan perak) dan selain jenis makanan – dalam
konsep ulama’ Malikiyah dan Syafi’iyah – atau selain barang yang ditakar atau
ditimbang – dalam konsep ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah – adalah karena barang
itu tidak termasuk dalam kebutuhan primer manusia, baik sebagai bahan makanan
pokok maupun dalam kegiatan ekonomi. Hal itu karena keinginan yang tinggi untuk
mendapatkan keuntungan darinya tidak mengakibatkan kerugian yang besar bagi
orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, alih bahasa Chatibul Umam dan Abu
Hurairah, cet. ke-1 (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001)
Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie, dkk.,
cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani, 2011)
[1] Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie, dkk.,
cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani, 2011), V: 306.
[2] Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, alih bahasa Chatibul Umam dan Abu
Hurairah, cet. ke-1 (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), VI: 149.
[3] Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie, dkk.,
cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani, 2011), V: 307.
[5] Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, alih bahasa Chatibul Umam dan Abu
Hurairah, cet. ke-1 (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), VI: 150.
2 comments:
alhamdulillah posting saudara sangat membantu saya... :)
sama2 mudahan enta dapat sebarkan lagi ilmu yang enta dah pelajari ini..
Post a Comment