BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai (agama) wahyu dari Allah
swt. yang berdimensi rahmatan li al ‘alamin memberi pedoman hidup kepada
manusia secara menyeluruh menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan
jasmani serta untuk mengatur tata kehidupan manusia, baik sebagai individu
maupun bermasyarakat. Sebaliknya, persepsi atau konsep hukum di luar Islam semata-mata
hanya menekankan pada sisi kehidupan bermasyarakat, sementara aturan yang
berkaitan dengan sisi kehidupan individu tidak dinamakan hukum melainkan
disebut norma, budi pekerti atau susila.[1]
Secara umum tujuan penciptaan dan
penetapan hukum oleh Allah swt. adalah untuk kepentingan, kemaslahatan dan
kebahagiaan manusia seluruhnya, sebagaimana dalam firman Allah swt. :
Artinya:
Dan di antara mereka ada orang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” Mereka
itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah
Maha cepat Perhitungan-Nya.[2]
Tuntutan penerapan dan penegakan sanksi/hukuman merupakan cara efektif
untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya tindakan kriminal antaranya adalah
hukuman terhadap pelaku zina karena pada zaman kini, hal perzinaan hanya
dianggap sebagai perkara biasa. Berbagai jajak pendapat di media massa
menunjukkan gejala yang semakin memprihatinkan. Budaya permisivisme, termasuk
budaya free sex semakin menggejala.[3]
Termasuk dikalangan elite bangsa, tak tekecuali elite politik, ekonomi, sosial
dan sebagainya.
Agama telah melarang perzinaan bahkan dengan tegas melarang
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya perzinaan. Keburukan
perbuatan tersebut tidak hanya menyebabkan murka Tuhan, tapi juga akan
menjadikan martabat seorang manusia rendah dan terhina karena perzinaan adalah
perusak kehormatan paling besar dan utama yang dikategorikan perbuatan faakhisyah
yang berarti perbuatan yang tergolong hina, jijik dan tercela yang
mengakibatkan tidak hanya merugikan atau membawa mudharat pelakunya saja, tapi
membuat tercemar kehormatan orang lain.[4]
Kemampuan menjaga kehormatan farji pula menjadi tolak ukur kemampuan
seseorang dalam menjaga nama baik, harga diri, martabat dan kemuliaan dirinya
serta keimanannya di hadapan Sang Pencipta dan manusia. Dalam hadits Rasulullah
saw. menegaskan, yaitu:
ابى هريرة ان النبي صلى
الله عليه و سلم قال : لا يزني الزني حين يزني وهو مؤمن، ولا يشرب الخمر حين
يشربها وهو مؤمن، ولا يسرق السرق حين يسرق ل وهو مؤمن.
Artinya:
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa nabi saw. bersabda: “Tidak beriman (dengan
sempurna) seseorang ketika ia berzina, minum arak, atau mencuri.”[5]
Keimanan seseorang adalah bukti ketaatan dan ketakwaan seorang hamba
kepada Tuhannya dan berfungsi sebagai pengendali bagi seseorang agar tidak
tergoda melakukan perbuatan buruk, keji dan maksiat seperti halnya zina.
Sementara Imam Ahmad mengatakan, bahwa seseorang yang suka mencuri, peminum
arak, dan berzina dikatakan bukanlah orang Mukmin karena terlepas iman darinya
sehingga menyeretnya pada perbuatan melanggar tersebut.[6]
Dengan ini bahwa zina adalah satu perbuatan yang sangat keji dan diharamkan
serta termasuk dosa besar. Para agamawan dari agama mana pun bersepakat bahwa
zina hukumnya haram dan tidak satu pun agama yang memperbolehkannya. Oleh sebab
itu, sanksi zina adalah yang paling berat serta berunsurkan tindakan kriminal
terhadap kehormatan dan nasab[7].
Allah swt. berfirman:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
Artinya:
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan
suatu jalan yang buruk.[8]
Satu riwayat daripada Rasullullah saw
bahawasanya bersabda ia: takut olehmu akan berbuat zina karena bahawasanya pada
orang yang berzina itu diperoleh padanya itu enam perkara; tiga perkara dalam
dunia; dan tiga perkara di dalam akhirat. Maka adapun yang diperoleh di dalam
dunia ini bahawasanya yang berbuat dia itu mengurangkan rezekinya dan
menghilangkan berkat umurnya dan apabila keluar nyawanya, terdinding daripada
rahmat Allah swt. dan diperlihatkan akan dia kepada api neraka. Adapun yang
diperoleh di dalam akhirat, maka yaitu menilik oleh Allah swt. kepadanya dengan
tilik murkai dan dihitamkan mukanya. Yang keduanya: sungguhnya sangatlah pada
hisabnya. Dan ketiga: dihela dengan rantai ke dalam neraka.[9]
Oleh yang demikian, jelaslah bahwa hukuman
zina merupakan murni hak Allah swt., yakni hak-hak masyarakat atau publik.
Islam hanya menentukan dua jenis sanksi bagi penzina yaitu pertama, dera
100 kali bagi pezina ghairu muhsan dan dibuang selama satu tahun dan
kedua, dilempari batu sampai mati (rajam) bagi pezina muhsan[10].
Allah menjelaskan hukuman bagi pezina melalui al-Quran:
è
Artinya
: Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya
seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sebagian orang-orang yang beriman.[11]
Jadi diperintahkan Allah swt. agar dalam
melaksanakan hukuman, jangan ada rasa belas kasihan kepada pelaku zina, apalagi
sampai membatalkan pelaksanaan syariat Allah. Umumnya sifat kasihan adalah
diharuskan bahkan Allah itu Maha Pengasih namun rasa kasihan ini tidak boleh
sehingga menghalang dari menjalankan syariat Allah. Hal ini ditekankan karena
orang biasanya lebih kasihan kepada pezina daripada pencuri, perompak, pemabuk
dan sebagainya. Di samping itu penzinaan boleh dilakukan oleh siapa saja termasuk orang yang kelas atasan yang
mempunyai kedudukan tinggi yang menyebabkan orang yang menjalankan hukuman
merasa enggan dan kasihan untuk menjalankan hukuman.
Namun, kita dapat mengetahui bahwa hukum
adat telah wujud dan merupakan bentuk budaya hukum Indonesia. Hukum adat adalah
hukum asli bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia, serta
menjadi popular sejak diangkat dalam satu tulisan oleh Snouck Hurgronje dalam
bukunya De Atjehers (orang-orang aceh) yang diterjemahkan ke dalam satu
bahasa Belanda yang disebut “Adatrecth”[12].
Provinsi Jambi merupakan satu-satunya
provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melakukan hukum
adat. Adat bagi masyarakat Jambi merupakan elemen-elemen perekat dalam sendi
kemasyarakatannya yang memungkinkan masyarakat tumbuh dan berkembang secara
serasi dalam suasana kekeluargaan yang harmonis dan dinamis.
Berangkat dari latar belakang masalah di
atas, penulis merasa tertarik dan terpanggil untuk melakukan penelitian
berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan sanksi zina yang digunakan oleh
hukum adat di Jambi khususnya di Desa Tangkit Baru dalam mengatasi masalah
zina. Oleh yang demikian, penelitian skripsi diberi judul: Pelaksanaan
Sanksi Bagi Pelaku Zina (Studi Komperatif Antara Hukum Islam Dan Hukum Adat Di
Desa Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi).
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina menurut hukum Islam dan hukum adat di Desa
Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi?
2. Apakah
persamaan atau perbedaan pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina menurut hukum
Islam dan hukum adat di Desa Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi?
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan judul yang penulis angkat,
maka bahasan yang menjadi tumpuan utama dari karya ilmiah ini agar tidak
menjadi kesalahfahaman dalam perbahasan, baik terhadap penulis sendiri maupun
para pembaca. Maka dalam penulisan ini penulis hanya menfokuskan komperatif
pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina antara hukum Islam dan hukum adat di
Desa Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi.
D.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan pokok
permasalahan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah:
a.
Ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan sanksi
bagi pelaku zina menurut hukum Islam dan hukum adat di Desa Tangkit
Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi.
b.
Ingin mengetahui apakah persamaan atau
perbedaan pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina menurut hukum Islam dan hukum
adat di Desa Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Untuk
menyumbang pemikiran dalam usaha meningkatkan ilmu pengetahuan serta
memperluaskan lagi bahan bacaan bagi penulis dan masyarakat mengenai sanksi
zina.
b.
Sebagai salah
satu untuk memberikan penjelasan tentang pelaksanaan sanski zina di Desa
Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi.
c.
Sebagai salah
satu syarat untuk mencapai gelar sarjana strata (S1) dalam jurusan Perbandingan
Mazhab Dan Hukum (PMH) Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
E.
Kerangka Teori
1.
Pengertian Zina
Dalam segi bahasa ialah persetubuhan haram, dari segi istilah
perhubungan seks haram antara laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan yang
sah.[13]
Kemudian zina juga diartikan memasukkan kemaluan laki-laki sampai tekuknya ke
dalam kemaluan wanita yang diingininya di luar akad nikah atas dasar suka sama
suka dan hukumnya tidak sah secara agama.[14]
Dalam bahasa Indonesia zina diberi arti perbuatan bersanggama antara laki-laki
dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan);
perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang
perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan
dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.[15]
Ulama Hanafiyah
menyebutkan sebuah definisi zina secara panjang lebar yang menjelaskan
kriteria-kriteria zina yang mengharuskan hadd. Mereka mengatakan zina
adalah koitus yang haram pada kemaluan depan perempuan yang masih hidup dan
menggairahkan dalam kondisi atas kemauan sendiri (tidak dipaksa) dan kehendak
bebasnya di daarul ‘adl (kawasan negara Islam yang dikuasai oleh
pemerintah atau pemimpin yang sah) oleh orang yang berkewajiban menjalankan
hukum-hukum Islam, tidak mempunyai hakikat kepemilikan, tidak mempunyai hakikat
tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat kepemilikan, tidak mempunyai
unsur syubhat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat berupa kondisi
samar dan kabur pada tempat kondisi samar dan kabur pada kepemilikan maupun
tali pernikahan sekaligus.[16]
2.
Syarat-Syarat
Sanksi Zina
Sanksi zina tidak bisa
dijatuhkan kepada seorang pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan kecuali
dengan beberapa syarat, yang beberapa di antaranya sudah disepakati dan sisanya
masih dipersilisihkan.[17]
Syarat-syarat tersebut seperti berikut:
i.
Pelaku adalah
orang berakal
ii.
Pelaku
melakukan perzinaan atas kemauan sendiri, tidak dalam keadaan dipaksa
iii.
Perzinaan yang
dilakukan adalah dengan manusia
iv.
Perempuan yang
dizinai harus perempuan yang memang sudah bisa disetubuhi
v.
Perzinaan yang
dilakukan tanpa ada unsur syubhat di dalamnya
vi.
Pelaku
mengetahui hukum keharaman berzina
vii.
Perempuan yang
dizinai adalah orang hidup
3.
Dampak
perbuatan Zina
Hancurnya para generasi dan juga ummat itu disebabkan adanya
perbuatan zina, sehingga penyakit-penyakit yang sedang menjangkit di antara
para pezina itu sangatlah berbahaya sekali bagi kehidupan manusia. Di mana penyakit
itu telah menyerang anggota tubuh manusia dan sel-selnya dan juga penyakit ini
juga telah menyerang sistem pernafasan dan urat syaraf, adapun nama dari
peyakit ini adalah Sifilis dan Gonore.[18]
Akibat dari zina ini
maka telah timbul penyakit yang baru yang sangat berbahaya, penyakit tersebut
bernama HERPES, di mana penyakit ini di sebabkan dua hal yaitu:
i.
Dunia
kedokteran tidak mampu lagi untuk menangani dan juga mengusahakan penyembuhan
dari penyakit ini.
ii.
Penyakit ini
menyebabkan perubahan biologis yang menimbulkan penyakit kelamin bagi laki-laki
dan frigilitas dingin, tidak mudah terangsang serta tidak bergairah dalam hal
seks pada perempuan.
Dimana penyakit ini telah disebabkan
adanya virus yang telah menyerang pada kulit manusia dan selaput yang ada di
dalam mulut, sistem reproduksi, mata, sistem syaraf juga bagian dalam tubuh
yang lainnya, di mana penyakit ini juga dapat menular dari penderitaan kepada
orang yang sehat dengan cara bersentuhan dan juga berhubungan seks.
Ada juga penyakit lainnya yang di
timbulkan atau akibat dari perbuatan zina, di mana penyakit ini sudah lama
berkembang biak di negara-negara barat dan tak jarang juga warga Indonesia ada
yang terkena atau terjangkit dari penyakit tersebut, adapun nama dari penyakit
tersebut adalah AIDS.[19]
Selain itu, bisa berlaku Dis-harmonisasi
dalam keluarga yakni keretakan dalam keluarga dan terganggunya hubungan
silahturahim bahkan terjadinya perceraian sering terjadi akibat adanya salah
satu pasangan yang berbuat zina.
Berzina walau pun hanya dilakukan sekali
tetapi bisa berpotensi merusak keturunan. Karena seseorang tidak tahu ketika
Allah swt. menakdirkan tetesan air nutfah yang ditumpahkan ke dalam rahim akan
menjadi calon manusia. Anak hasil zina tidak dapat mengikuti nasab ayahnya
meskipun sang ayah telah menikahi ibunya agar si anak mempunyai sosok seorang
ayah. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah hubungan di luar nikah yang
terjadi dan menjadikan si anak kehilangan hak waris, hak perwalian, dan urutan
penasaban yang harus mengikuti ibunya. Itulah hukum agama mengatur demi sucinya
sebuah kehormatan dan keturunan yang terjaga dan tidak tercampur.
4.
Hukum Adat
Kata “Adat” istilah
yang telah demikian lama digunakan di kawasan nusantara, berasal dari bahasa
Arab ‘adah yang berarti “kebiasaan” atau “praktik”.[20]
Secara teoretis, ‘adah (yang juga dikenal sebagai ‘urf) tidak
pernah menjadi sumber resmi hukum Islam. Namun, dalam praktiknya, ia sering
dimasukkan ke dalam salah satu rujukan hukum. ‘adah terkadang digunakan
ketika sumber-sumber utama hukum Islam (al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas)
tidak berbicara mengenai hal yang dimaksud, meskipun ini tidak berarti bahwa
hukum yang berasal dari ‘adah bertentangan dengan spirit Islam seperti yang
tertuang di dalam al-Quran dan hadits. Selanjutnya, ‘adah sering
berperan sebagai satu-satunya rujukan terbaik yang digunakan ketika muncul
interprestasi yang beragam tentang ayat-ayat al-Quran. Dalam hal ini, rujukan
kepada hukum adat merupakan refleksi dari waktu dan tempat tertentu.
Demikian, ada beberapa
pengertian hukum adat yang dikemukan para ahli antaranya adalah:[21]
1.
Menurut
Cornelis van Vollenhoven hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku
yang berlaku bagi orang pribumi dan timur Asing pada satu pihak mempunyai
sanksi (karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak
dikondifikasikan (karena adat).
2.
Bushar Muhammad
hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam
hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan
dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan
dipertahankan oleh anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan
peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam
keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa
memberi keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan lurah,
penghulu, wali tanah, kepala adat dan hakim.
3.
Soediman
Kartohadiprodjo hukam adat adalah suatu jenis hukum tidak tertulis yang
tertentu yang memiliki dasar pemikiran yang khas yang prinsipil berbeda dari
hukum tertulis lainnya. Hukum adat bukan hukum adat karena bentuknya tidak
tetulis, melainkan hukum adat adalah hukum adat karena tersusun dengan dasar
pemikiran tertentu yang prinsipil berbeda dari dasar pemikiran hukum barat.
4.
Soerjono
Soekanto hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya
kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein-sollen). Berbeda dengan
kebiasaan belaka, kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah
perbuatan-perbuatan yang di ulang-ulang dalam bentuk yang sama yang menuju pada
“rechtsvardigeordening der samenlebing”.
Oleh itu dapat disimpulkan bahwa hukuman
adat adalah hukum Indonesia yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.
5.
Unsur Hukum
Adat Yang Menimbulkan Kewajiban Hukum
Unsur hukum adat yang dapat menimbulkan adanya kewajiban hukum (Oponio
necessitas) bagi anggota masyarakat adat disebutkan: pertama, unsur
kenyataan bahwa adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan, oleh rakyat
atau anggota masyarakat adat; kedua, unsur psikologis, bahwa terdapat adanya
keyakinan pada rakyat atau anggota masyarakat adat, bahwa adat dimaksud
memiliki kekuatan hukum.[22]
6.
Wujud Hukum
Adat
Wujud hukum adat
dapat kita ketahui antara lain dari:
a.
Hukum yang
tidak tertulis dan merupakan bagian yang terbesar berlaku di lingkungan
masyarakat adat.
b.
Hukum yang
tertulis dan merupakan bagian terkecil ditemui di lingkungan masyarakat adat
yang seperti, peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-sultan
dahulu, di Jawa disebut “ pranataan-pranataan”, di Bali disebut “peswara-peswara/titiswara-titiswara”,
di Aceh disebut “sarakata-sarakata”.
F.
Tinjauan Pustaka
Setelah penulis mengadakan tinjauan
pustaka, pembahasan mengenai masalah ini telah ditemui sejumlah buku maupun
penelitian yang meliputi dari berbagai sisi tentang zina. Antara buku atau
tulisan yang diutamakan dalam membahas permasalahan ini diantaranya adalah
Burhan Sodiq: Ya Allah Jauhkanlah Aku Dari Zina dan Azizah Ummu Sa’idah:
Terhina Karena Zina, kedua buku ini sama-sama memaparkan akibat terhadap
perbuatan zina serta upaya untuk membendung masalah zina.
Selanjutnya buku yang ditulis Wahbah
Az-Zuhaili: Fiqih Islam Wa Adilltuhu merupakan buku yang membahas tentang
aturan-aturan syariah Islamiyah yang disandarkan kepada dalil-dalil yang shahih
baik al-Quran, As-Sunnah maupun akal dan mencakup kepada materi fiqih-fiqih
mazhab.
Penulis juga menggunakan buku Fiqih
Sunnah dan Bidayatul Mujtahid untuk mengetahui perbedaan pandangan mazhab fiqih
dalam masalah sanksi zina. Selain itu, ada juga dari penelitian yaitu Hanisah
Binti Mohamed Mokhtar yang membahas mengenai Status Hukum Anak Di luar Nikah,
penelitiannya yang hanya mencakup kepada penelitian Komperatif Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam Negeri Johor dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
Penelitian penulis secara khusus
diarahkan kepada komperatif pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina antara hukum
Islam dan hukum adat di Desa Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi.
BAB II
METODE PENELITIAN
Dalam sesuatu
penelitian biasanya bahan-bahan dan data-data maklumat terdapat dalam beberapa
penelitian bagi mendapatkan sumber dan isi kandung sebagai pelengkap kepada
penelitian tersebut.
A.
Pendekatan
penelitian
Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan
metode deskriptif. Analisis data dilakukan melalui studi lapangan dengan
melakukan wawancara mendalam dengan responden yang dipilih. Dalam hal ini, data
deskriptif tentang pelaksanaan sanksi zina untuk diperoleh penjelasan
apakah Pelaksanaan sanksi bagi pelaku Zina digunakan di Desa Tangkit
Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi.
B.
Jenis Dan
Sumber Data
Dalam pembahasan penulis menggunakan data primer dan data sekunder.
a.
Data
primer yang digunakan adalah yang
berhubung langsung dengan objek yang akan diteliti. Untuk kesempurnaan
informasi diupayakan sumber dari nash al-Quran dan hadits nabi saw. dan
buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan ini serta diperoleh dari hasil
wawancara di Desa Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi.
b.
Data
sekunder yang diguna
pakai oleh penulis dalam pembahasan ini adalah buku-buku yang berkaitan dengan
pembahasan yang bersifat menunjang sumber primer dan tulisan-tulisan lain dalam
bentuk majalah ataupun artikel yang menyangkut perlaksanaan sanksi bagi pelaku
zina contohnya Buku Lembaga Adat Desa Tangkit Baru.
C.
Subjek Penelitian
Dalam penelitian
kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat
dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya
tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi di transferkan ke tempat lain pada
situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang
dipelajari. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden,
tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, teman dan guru
penelitian. Adapun sampel penelitian ini ialah Ketua Kepala Desa, Ketua Lembaga
Adat, Sekretaris Lembaga Adat, Tokoh-tokoh Agama dan informan yang terlibat.
Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukan disebut sampel statistik, tetapi
sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan
teori.
Data dari sampel
diambil dengan mengunakan cara Purposive Sampling yaitu teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa
yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai akan memudahkan peneliti
menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti.
D.
Instrumen
Pengumpulan Data
Dalam pengambilan data, penulis menggunakan penelitian pustaka (Library
research) dan penelitian lapangan (Field Research)
a.
Penelitian
Pustaka (Library Research)
Dalam
pengumpulan data ini, penulis menggunakan teknik penelitian pustaka dengan
menelaah dan mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan karya ilmiah ini.
Buku-buku tersebut bisa diperoleh dari
perpustakaan IAIN STS Jambi, perpustakaan Wilayah Jambi dan buku-buku
khusus milik pribadi penulis sendiri sebagai bahan rujukan dan acuan bagi
penyelesaian penelitian ini.
b.
Penelitian
Lapangan (Field Research)
Dalam hal yang sama
juga, penulis menggunakan teknik penelitian lapangan sebagai teknik pengumpulan
data. Untuk memudahkan dalam menghimpunkan data-data dan fakta di lapangan,
maka penulis menggunakan beberapa teknis antara lain:
i.
Dokumentasi
Dokumentasi adalah
sesuatu yang tertulis atau tercatat yang dapat dipakai sebagai bukti atau
keterangan seperti naskah, catatan dan sebagainya. Penulis mengumpulkan
bahan-bahan melalui dokumen tertulis yang berhubungan dengan penulisan dari
bahan yang bersangkutan dengan penelitian dari anggota Desa Tangkit Baru, Kab.
Muaro Jambi, Jambi serta mengambil informasi dari alamat web internet. Metode
ini digunakan bertujuan untuk memperkuatkan data-data yang sudah ada.
ii.
Wawancara
Wawancara sebagai
teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan
untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti
ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah
respondennya sedikit/kecil.[23]
Cara yang digunakan untuk memperolehi keterangan adalah secara lisan bagi
mencapai satu tujuan supaya maklumat yang diterima adalah tepat. Teknis yang
paling esensial adalah wawancara dengan pihak-pihak yang terkait seperti Ketua
Kepala Desa Dan Ketua Lembaga Adat, Tokoh-Tokoh Agama dan informan yang
terlibat.
E.
Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dan kemudian dipelajari serta difahami, maka penulis
akan menghasilkan metode seperti berikut :
1.
Metode Induktif, yaitu membahas dan menyusun fakta-fakta yang bersifat umum,
kemudian diambil satu kesimpulan yang bersifat khusus. Metode ini digunakan
untuk memperkuatkan pendapat penulis yang bersifat umum dengan teori-teori yang
dikemukakan oleh para ahli.
2.
Metode deduktif, yaitu menganalisa data yang bersifat khusus, kemudian dibahas
kepada permasalahan yang bersifat umum. Metode ini digunakan untuk mengutip
pendapat para ahli untuk menjelaskan dengan lebih luas lagi.
3. Metode
komperatif, dengan cara membandingkan antara dua data yang berlainan untuk
mengambil suatu pendapat yang logis, tepat dan kuat untuk dijadikan bahan
rujukan dan pedoman dalam menetapkan masalah yang dibahas. Penulis mengambil
sumber rujukan menurut hukum Islam dan hukum adat di Desa Tangkit Baru.
F. Sistematika
Pembahasan
Penyusunan skiripsi ini
dibagi menjadi lima bab, dan setiap babnya terdiri dari sub-sub bab.
Masing-masing bab membahas permasalahan tersendiri tetapi tetap saling
berkaitan antara satu bab dengan bab berikutnya. Adapun sistematika
pembahasannya adalah sebagai berikut:
Bab pertama, berisi
tentang pendahuluan, sebagai pengantar secara keseluruhan sehingga bab ini akan
diperoleh gambaran umum tentang pembahasan skripsi ini. Bab pertama ini terdiri
dari sub bab sebagai berikut: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Batasan
Masalah, Tujuan Dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Tinjauan Pustaka.
Bab kedua, penulis akan
memperjelaskan metode penelitian yang digunakan untuk mendapatkan dan
mengumpulkan data dalam menggarap skripsi. Kemudian, bab ketiga, membahas gambaran
umum lokasi di Desa Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi, Jambi.
Bab
keempat, yaitu bab akhir dari pembahasan masalah pokok ini yaitu mengenai komperatif pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina
antara hukum Islam dan hukum adat di Desa Tangkit Baru, Kab, Muaro Jambi, Jambi
serta persamaan dan perbedaaan pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina dan analisis
penulis. Bab terakhir yaitu bab kelima adalah penutup yang terdiri dari
kesimpulan, saran-saran dan kata penutup.
BAB
III
GAMBARAN UMUM
DESA TANGKIT BARU KAB. MUARO JAMBI, JAMBI
A. Asal
Usul Desa Tangkit Baru
Desa Tangkit menjadi desa definitif pada
tahun 1996, Desa yang merupakan salah satu desa yang berada di wilayah hukum
Kecamatan Sungai Gelam Kabupeten Muaro Jambi ini kemudian mengalami pemekaran
menjadi Desa Tangkit Lama dan Desa Tangkit Baru. Awal dirintisnya Desa Tangkit
Baru yang bermula pecahan Desa Tangkit RT.05, yang menjadi perbatasan desa
adalah parit-parit yang membelah desa. Setiap RT di Desa Tangkit Baru juga
dibatasi oleh parit.[24]
Masyarakat Desa Tangkit Baru dapat
dikatakan sebagai Masyarakat yang Homogen, dimana mayoritas Masyarakat adalah
suku Bugis dan selebihnya adalah suku
Banjar, Jawa, Selayar dan lain-lain. Aliran yang berkembang dalam masyarakat
Desa Tangkit Baru adalah aliran Tarekat Khalwatiyah.[25]
Sifat kebersamaan masih terlihat jelas pada masyarakat Desa Tangkit Baru, dalam
tiap individu yang berdomisili disana sudah dianggap sebagai satu keluarga.
Awalnya perkembangan ekonomi masyarakat desa masih tergolong sangat lambat. Hal
ini juga dipengaruhi oleh jalan menuju desa tersebut yang mengalami kerusakan.
Namun dalam perkembangan desa, jalur transpotasi tidak menjadi penghambatan
untuk masyarakat mencari nafkah dengan menjual hasil alam yang diperoleh dari
desanya tersebut. Setiap masyarakat berbondong-bondong menjajahkan dagangnya
kepasar tradisional yang ada di Kota Jambi. Kesadaran akan pentingya mata
pencaharian membuat masyarakat semakin kreatif dalam mengemas hasil alam mereka
dan memasarkannya.
Selain itu kaum wanita yang ada di Desa
Tangkit Baru juga merupakan wanita yang penuh kreatifitas, terbukti dengan
banyaknya Home Industri yang memproduksi hasil olahan buah khususnya olahan
buah nenas yang dikemas dengan apik dan menarik dan telah dipasarkan di
supermarket-supermaket atau toko penjual makanan khas yang ada di Kota Jambi.[26]
B. Peran
Adat Di Desa Tangkit Baru
Eksistensi dan peranan Lembaga Adat yang
didukung dengan Hukum/Sanksi Adat dan Budaya Desa Tangkit Baru telah berperan
aktif sebagai lembaga yang membantu pemerintah di dalam pembangunan di segala
bidang, terutama di bidang kemasyarakatannya dan bidang Budaya serta mengayomi
masyarakat secara konstitusional di tingkat pedesaan sejak Desa Tangkit Baru
dihuni oleh beberapa kepala keluarga pada tahun 1968 dibawah pimpinan (sesepuh)
Puang Syekh Muhammad Said (yang berasal dari Bugis Wanua Liu Paria Kabupaten
Wajo Sulawesi Selatan). Beliau merupakan paman kepada Ketua Adat di Desa
Tangkit Baru.[27]
Seiring dengan perjalanan pembukaan dan
pembangunan Kampung Baru Rt.05 Tangkit pada waktu itu, memang sudah dimula
ditanamkan oleh beliau tatanan kehidupan masyarakat yang disebut ADE Kampung
(Hukum Adat & Budaya) yang sepadan dengan keadaan serba darurat dan
kontemporer sangat akomodatif dan fleksibel tidak kontradiksi keadaan daerah
setempat.
Dasar-dasar konkrit yang dibudayakan
ketika itu meliputi segenap aspek kehidupan masyarakat sebagai berikut :[28]
1. Berbangsa
dan bernegara (sebagai warga Negara Republik Indonesia)
2. Kehidupan
beragama (sebagai umat Islam).
3. Kehidupan
sosial (sebagai masyarakat yang membutuhkan kebutuhan primer dan sekunder).
4. Kehidupan
ber Adat (sebagai masyarakat yang berperadaban).
Betapa pun sederhana
hukum-hukum adat dan budaya yang ditanam /diterapkan oleh Pimpinan (Sesepuh)
pada waktu itu, namun cukup bermanfaat memberikan rasa tentram kepada
masyarakat dan sangat ampuh memutuskan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai contoh pidana hukum adat yang
pernah dijatuhkan kepada orang yang melanggar ADE Kampung (Hukum Adat) sebagai
berikut:
a. Beberapa
orang yang berkasus melanggar hukum adat Tangkit Baru (Pelanggar berat)
dijatuhi hukuman sanksi adat diusir dari kampung/ Desa Tangkit Baru atas dasar
hukum adat yang berlaku ketika itu.
b. Beberapa
buah rumah hunian menyerupai rumah adat bangsawan yang memakai (Tima
Layar)/Sofi-sofi tiga susun digagalkan oleh Lembaga Adat Kampung Baru Tangkit
pada tahun 1974, karena bukan keturunan bangsawan.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa
adat istiadat mengandung ketentuan-ketentuan yang ditaati oleh seluruh anggota
masyarakat dan merupakan pedoman dalam pergaulan sehari-hari yang mencakup
ajaran agama dan Peraturan Pemerintah, di lain hal mencerminkan khasanah budaya
bangsa yang beraneka ragam di dalam se-antero nusantara. Karena budaya adalah
hasil karya cipta karsa manusia atas pemberian Tuhan atau alam untuk
kelangsungan hidupnya sesuai ruang dan waktu.[29]
Dalam rangka merespon dan mendukung
program Pemerintah sebagaimana yang telah diatur di dalam PERDA Tk. I Jambi No.
11 tahun 1991 tentang pembinaan dan pengembangan adat istiadat dan kebiasaan
masyarakat dan Lembaga Adat di
Desa/Kelurahan dalam Provinsi Tk. I Jambi yang telah disahkan MENDAGRI 21
November 1992, perlu disusun kembali kelembagaan adat, hukum dan sanksi adat
Desa Tangkit Baru sebagai alat antisipasi era globalisasi secara umum yang beraplikasi
luas terhadap masyarakat cenderung melupakan adat dan budaya sendiri yang
selama ini tidak pernah lekang.
Meskipun Desa Tangkit Baru berada di
dalam pangkuan adat daerah Jambi namun budaya yang berkembang masih melekat
pada tradisi penduduknya yang mayoritas orang Bugis Wajo, sehingga adat dan
budaya mencerminkan krateristik khusus orang Bugis yang tidak pernah kaku
terhadap pergaulan sehari-hari, dengan budaya Jambi atau daerah sekitarnya. (Falsafahnya
adalah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung).
Bertitik tolak dari pengertian ADE yang
dianut oleh masyarakat Tangkit Baru memiliki pengertian sebagai ketentuan tata
kelakuan menjalankan kebijakan sebagai pemimpin (Informal Leader/Formal
Leader) dan tata laksana serta kaidah-kaidah di dalam bertingkah laku
sebagai anggota masyarakat.[30]
Pengertian di atas agak berbeda kedegarannya dengan adat yang memiliki
pengertian secara umum bahwa kata ADAT adalah suatu ketentuan yang berisi tata
kearamah dan tata susila untuk mengatur hubungan seseorang dengan orang lain.
Sedangkan budaya menurut pengertian adalah hasil karya cipta karsa manusia atas
pemberian Tuhan atau alam untuk kelangsungan hidupnya sesuai dengan ruang dan
waktu.
Apabila dua kata tersebut dirangkai
menjadi satu adat dan budaya maka pengertiannya jauh lebih luas dan menurut
kebiasaan masyarakat Tangkit Baru, tiada adat tanpa budaya, tiada budaya tanpa
adat.
Berkenaan dengan hal
tersebut diatas, Lembaga Adat Desa Tangkit Baru mengamanatkan kepada seluruh
warganya sebagai masyarakat Jambi keturunan Sulawesi untuk membudayakan ethos
budaya leluhur orang Bugis sebagai berikut yaitu lima unsur Budaya Bugis diikat
dan dipersatukan sebagai satu totalitas oleh SIRI. Ethos kebudayaan
kelima unsur itu adalah sebagai berikut:[31]
1.
ADE :
yakni tata kelakuan dalam kekuasaan mengatur yang memerintah dan yang
diperintah dalam bertingkah laku.
2.
BICARA : yakni hukum kita
3.
RAPANG : ialah jurisperudensi kebiasaan yang baik.
4.
WARI :
adalah tata susunan kekeluargaan dan kekerabatan sangat erat hubungannya dengan
soal perkawinan dan wanita
5.
SARA’ : Hukum Islam.
Kelima unsur ini budaya Bugis tersebut
diatas tetap dipertahankan di dalam kehidupan kontemporer masa kini, sebab SIRI
merupakan Pengigat dan benteng unsur-unsur tersebut yang esensinya setiap orang
senantiasa disentuh oleh kelima unsur tersebut.
C. Mekanisme
Pelayanan Lembaga Adat Desa Tangkit Baru
Hukuman di atas diatur oleh Mekanisme
Pelayanan Lembaga Adat Desa Tangkit Baru. Di mana supaya prosuder tertentu
untuk diketahui oleh semua pihak agar tidak simpang siur pelaksanaanya, atau
masyarakat tidak mengalami kebuntuan terhadap prosuder yang harus ditempuh
apabila memerlukan Pelayanan Lembaga Adat dengan demikian diatur sebagai
berikut:[32]
Seluruh kasus yang terjadi ditengah
masyarakat baik masalah Kantibmas maupun kasus-kasus pidana/perdata dan kasus
lainnya dapat ditempuh jalur seperti dibawah ini:
1. Laporan
atau permohonan masyarakat ditujukan kepada Kepala Desa dan proses selanjutnya
tergantung keadaan dan kebijaksanaan Kepala Desa, dalam hal ini apabila Kepala
Desa tidak dapat menyelesaikan kasus tersebut maka Kepala Desa menempuh salah
satu kebijakan dari dua jalur yaitu:
§ Diserahkan
kepada yang berwajib atau
§ Diteruskan
kepada Lembaga Adat.
2. Laporan/
permohonan masyarakat dapat ditujukan kepada Lembaga Adat secara
lisan/tertulis, selanjutnya Lembaga Adat mempertimbangkan kemudian memproses
dengan pemeriksaan (apabila kasus tersebut memerlukan penyidikan) yang dilaksanakan
oleh Seksi Penyidik/Penuntut.
3. Semua
kasus yang sudah mengalami proses pemeriksaan (penyidikan) oleh Lembaga Adat
yang bersangkutan diwajibkan membayar uang pemeriksaan (penyidikan) sesuai
besar kecilnya kasus yang lakukan oleh yang bersangkutan.
Hasil pemeriksaan
tersebut dituangkan kedalam BAP dan diteruskan kepada Dewan Hakim, (Tembusannya
seperti yang telah diatur didalam bagan terlampir).
Setelah Dewan Hakim
menelaah dan mempelajari secara seksama BAP dimaksud, maka Dewan Hakim membuat
jadwal sidang, (jadwal tersebut disampaikan kepada sebagaimana yang diatur
dalam bagan).
Pada saat sidang
Lembaga adat dilaksanakan harus dihadiri oleh institusi-institusi yang
berkompoten sebagai berikut:
a. Pengurus
lembaga Adat yang terdiri:
ü Dewan
Hakim
ü Penyidik
dan Penuntut
ü Pembela
ü Panitra
ü Saksi
ü Keamanan/eksekusi
(Tomawatang)
b. Lembaga
adat yang terdiri:
ü Pemangku
Adat (Kepala Desa)
ü BPD
ü Majelis
Syara’
ü Pemuka
Masyarakat
ü Pemuda
ü Cendikiawan
ü Umum
Berdasarkan pertimbangan Dewan hakim
maka keputusan sanksi Hukum Adat diputuskan oleh Dewan Hakim dan dibacakan
untuk terdakwa dan setelah dibacakan sanksi tersebut maka Dewan Hakim menandai
dengan ketukan palu tiga kali.
Table 1
BAGAN MEKANISME
PELAYANAN LEMBAGA ADAT
DESA TANGKIT
BARU
KASUS
MASYARAKAT
|
KEPALA
DESA
(PEMANGKU
ADAT)
|
LEMBAGA ADAT
|
SEKSI
PERADILAN
DEWAN
HAKIM
|
SEKSI
PERADILAN
PENYIDIK/PENUNTUT
|
SIDANG
LEMBAGA ADAT
DEWAN
HAKIM
|
PEMANGKU
ADAT
(KEPALA
DESA)
|
PENUNTUT
|
BPD
|
PEMBELA
|
MAJELIS
SYARA’
|
PANITRA
|
TERDAKWA
|
P.
MASYARAKAT
|
SAKSI
|
PEMUDA
|
KEAMANAN
|
CENDIKIAWAN
|
UMUM
|
KEPUTUSAN SIDANG LEMBAGA ADAT
|
EKSEKUSI/DISERAHKAN
KEPADA YANG BERWAJIB
|
BAB
IV
PELAKSANAAN
SANKSI BAGI PELAKU ZINA ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT DI DESA TANGKIT BARU,
KAB. MUARO JAMBI, JAMBI
Pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina antara hukum Islam dan hukum adat di Desa
Tangkit Baru, Kab. Muaro Jambi merupakan hukum yang berbeda, akan tetapi
kedua-duanya berpandukan dan berteraskan kepada al-Quran dan as-sunnah.
Manakala cara penetapan ketentuan hukum itu dipersembahkan ada persamaan dan
perbedaannya.
A. Menurut
Hukum Islam
Islam
telah menetapkan perbedaan hukuman terhadap pelaku zina mengikut golongan
mereka yang dibagi kepada dua yaitu:
a.
Pezina Muhsan
Perbuatan zina ini yang dilakukan oleh
lelaki atau perempuan yang sudah menikah atau pernah menikah, seperti janda
atau duda yang telah bercerai dengan pasangannya. Terkecuali bila seorang
lelaki yang menikah dengan perempuan yang belum dicampurinya. Maka itu, tidak
masuk kategori muhsan. Karena disyaratkan seseorang disebut muhsan
apabila telah melakukan pernikahan secara sah dan terjadi pencampuran/persetubuhan
antara suami istri yang menimbulkan kenikmatan atas keduanya.
Para imam mazhab sepakat bahwa diantara
syarat-syarat muhsan adalah sebagai berikut:[33]
1.
Merdeka;
2.
Dewasa;
3.
Berakal;
4.
Sudah menikah
dengan suatu pernikahan yang sah;
5.
Sudah melukukan
persetubuhan dengan istrinya.
Menurut jumhur
ulama bersepakat bahwasanya hukuman bagi pezina yang berstatus muhsan
adalah rajam.[34]
Rajam yakni melemparinya dengan batu sampai meninggal dunia dan bentuk hukuman
mati yang pelaksanaannya dilakukan serta disaksikan oleh orang-orang yang beriman.
Hal ini fuqaha mendasarkan pendapat mereka dengan dalil berikut ini.
Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw.
ketika itu beliau sedang berada di dalam masjid. Rasulullah saw. Kemudian
memanggilnya. Lalu laki-laki itu berkata, “Sungguh, saya telah berzina.” Lalu
Rasulullah SAW berpaling dari laki-laki itu. Laki-laki itu pun mengulangi
pengakuannya selama empat kali. Lalu setelah dia bersumpah sebanyak empat kali
untuk menguatkan pengakuan dirinya, Rasulullah saw. memanggilnya dan bertanya,
“Apakah kamu gila?”
Laki-laki itu
menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw. bertanya lagi,
“Apakah kamu sudah menikah?” Laki-laki itu menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Bawalah dia. Lalu rajamlah.”[35]
Ibnu Syihab
meriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendengar Jabir bin Abdullah r.a berkata,
“Aku adalah salah seorang yang merajamnya. Kami merajamnya di tempat shalat.
Ketika batu mulai menghantarnya, dia melarikan diri. Lalu kami menemukannya di
sebuah tempat yang penuh bebatuan. Di sanalah kami merajamnya kembali.”
Hadits di atas
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa bagi orang yang sudah menikah (muhsan,
perbuatan zina yang dilakukannya, sesekali bisa ditetapkan oleh pengakuannya
sendiri. Begitu juga jawaban “Iya”, menujukkan sebuah pengakuan.[36]
Hukuman rajam
bagi pezina muhsan adalah kepatutan disebabkan dia telah menikah dan
sudah menikmati madunya perkawinan. Seharusnya, dia menjaga loyalitas dan nama
baik keluarganya serta besarnya bahaya perzinaan bagi rumah tangganya,
masyarakat, dan negara.
Kemudian fuqaha
berselisih pendapat tentang orang yang harus dihukum rajam, apakah sebelum
dirajam itu harus didera atau tidak? Menurut jumhur ulama, orang yang harus
dihukum rajam itu tidak didera. Sedang menurut al-Hasan al-Bashri, Ishaq,
Ahmad, dan Dawud, pezina muhsan didera, kemudian dirajam.[37]
Hukum rajam
bagi pezina menurut syariat Islam juga berlaku bagi kaum Yahudi dan Nasrani,
sebagaimana telah ditetapkan pada kitab mereka. Namun dikarenakan isi dari
kitab Injil dan Taurat telah diubah-ubah sesuka hati dari sebagian mereka, maka
seakan-akan hukuman tersebut tidak pernah diturunkan Allah swt. atas mereka.
b.
Pezina Ghairu
Muhsan
Zina yang dilakukan lelaki dan perempuan
yang belum pernah menikah secara sah. Fuqaha sepakat bahwa hukuman bagi bujang
dan perawan merdeka yang berzina adalah hukuman cambuk sebanyak seratus kali
cambukan, baik itu diberikan kepada bujang maupun perawan yang melakukan
perbuatan haram itu.[38]
Hal itu sesuai dengan firman Allah swt. :
Artinya:
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya
seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sebagian orang-orang yang beriman.[39]
Kemudian Ulama dan fuqaha
berselisih pendapat tentang hukuman diusir daerah yang dilaksanakan di samping
sebatan 100 kali seperti mana yang dijelaskan dalam Hadits. Imam Hanifah
berpendapat hukuman buang daerah itu tidak wajib. Ia boleh dilaksanakan jika
perlu dan berdasarkan pendapat serta penilaian hakim dan qadi. Imam Abu Hanifah
berpendapat demikian kerana buang daerah itu bukan termasuk dalam hukuman
hudud, tetapi adalah sebagai ta’zir sahaja.
Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi’i
berpendapat hukuman buang daerah adalah wajib dan hendaklah dilaksanakan serentak
dengan hukuman sebatan 100 kali. Mereka berpendapat demikian karena hukuman
buang daerah itu juga adalah hukuman hudud yang sama dengan hukuman sebatan.
Mengenai tempoh pembuangan daerah itu jumhur ulama berpendapat lama masanya
ialah setahun.[40]
Sebatan dan diusir daerah merupakan hukuman terhadap pezina yang bukan muhsan
berdasarkan hadits:
عن عبادة بن الصامت قال، قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم خذوا عنى خذوا عنى
قد جعل الله لهن سبيلا البكر بالبكر جلد مائة
ونفى سنة والثيب جلد مائة والرجم
Artinya:
Dari Ubadah bin Shamit r.a., dia berkata: “ Rasulullah saw. bersabda:
“Laksanakanlah hukumku! Laksanakanlah hukumku! Sesungguhnya Allah telah
menetapkan hukum bagi mereka yang berzina. Apabila bujang dan gadis (sama-sama
belum kawin), hukumnya dera 100 kali dan penjara satu tahun. Apabila janda dan
duda (sama-sama sudah kawin) yang berzina, hukumnya dera seratus kali dan rajam
sampai mati.”[41]
Jumhur ulama sepakat
mengatakan tentang jarak pembuangan daerah terhadap penzina hendaklah dengan
kadar sekurang-kurangnya dua marhalah atau boleh dijamak dan diqasarkan
sembahyang. Ulama berselisih pendapat berkaitan dengan pezina kalangan teruna dan
dara yang seharusnya di buang daerah tersebut, yaitu:
i.
Menurut
pendapat Imam Malik dan al-Auzai’i: hukum pembuangan daerah itu hanya dikenakan
terhadap pezina teruna sahaja.
ii.
Menurut
pandangan pendapat Imam al-Asyafi’i dan Imam Ahmad hukum pembuangan daerah itu
dikenakan terhadap kedua-duanya. Iaitu teruna dan dara. Namun begitu, mereka
mensyaratkan, bagi dara hendaklah ditemani atau diiringi oleh seorang muhrimnya
yang beriman, manakala nafkah orang yang menemaninya itu hendaklah disediakan
atau ditanggung oleh pezina dara itu.
Hukum ini lebih ringan
daripada pezina muhsan, dikarenakan mereka belum berpengalaman menikmati
pernikahan karena yang melakukan kebanyakan pemuda-pemudi. Namun apa pun
alasannya perzinaan telah membawa bahaya besar, implementasi hukumnya telah
jelas dalam al-Quran maupun hadits dan wajib dilaksanakan demi tegaknya hukum
agama Allah swt. di muka bumi ini.
Para imam mazhab berbeda pendapat
tentang orang dzimmi yang berbuat zina, apakah mereka dikenai sanksi zina? Menurut
pendapat Hanafi, Syafi’i, Hanbali dikenai sanksi zina.[42]
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah mengatakan, kafir dzimmi dan kafir harbi
tidak dijatuhi hukuman zina. sebab persetubuhan yang mereka lakukan tidak
disebut sebagai zina secara syara’.
Selain itu, adapun mengenai melaksanakan
hukuman hadd terhadap pelaku zina. Imam mazhab berselisih pendapat
tentang cara dalam melakukan hukuman antaranya adalah:
1.
Keadaan Pezina
Ketika Dicambuk Dan Direjam
Mazhab Hanafi berpendapat pezina lelaki dihukum cambuk secara berdiri
manakala perempuan dihukum berkeadaan duduk. Keadaan lain juga pezina lelaki
hendaklah ditanggalkan pakaiannya kecuali sarung atau kain atau seluarnya.
Manakala perempuan pula hanya ditanggalkan pakaian luar sahaja ketika disebat
agar tidak terdedah aurat.
Menurut pendapat Malik, lelaki yang
dihukum cambuk, hendaklah ditanggalkan pakaiannya kecuali pakaian yang menutup
auratnya antara pusat dan lutut. Semua itu agar anggota yang disebat itu dapat
merasai kesan cambukan.
Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat pezina
lelaki yang dicambuk hanya ditanggalkan pakaian luar sahaja seperti jubah dan
seumpamanya. Mereka berpendapat demikian dengan berhujjah riwayat daripada
Abdullah Ibn Mas’ud.
Sedangkan bagi keadaan pezina yang muhsan
ketika menjalani hukuman dapat dijelaskan menurut pendapat mazhab Hanafi
dan al-Syafi’i sekiranya penzina itu dikalangan lelaki, ia hendaklah direjam
dalam keadaan berdiri tidak diikat, tidak digali lubang kiranya pezina itu
disabit melalui pengakuan. Hal tersebut berdasarkan amalan nabi yang merejam
Ma’iz tanpa mengikatnya, tanpa memegangnya dan tanpa menggali lubang untuknya.
Hal tersebut untuk memberi peluang kemungkinan ia menarik balik pengakuannya.
Manakala pezina itu perempuan, pemerintah atau wakilnya boleh memilih samada
menggali lubang atau tidak.
Menurut pendapat mazhab Maliki dan
Hanbali menyatakan, pezina lelaki dan perempuan direjam tanpa diikat dan tanpa
digali lubang.[43]
Hal itu karena manggali lubang atau mengikat pezina samada lelaki atau
perempuan tidak dijelaskan melalui nash dan Nabi tidak menyebut tentang perkara
itu ketika merejam Ma’iz, perempuan al-Ghamidi dari suku Juhani dan juga ketika
merejam dua orang dari kalangan Yahudi.
2.
Anggota yang
dicambuk
Ulama
Hanafiyah mengatakan agar tempat pemukulan tidak pada satu bagian dari tubuh
saja. Karena seperti itu dapat menyebabkan rusaknya anggota tubuh tertentu dan
dapat merobek kulit. Pemukulan harus diarahkan kebeberapa bagian anggota tubuh
yang berbeda-beda seperti dua bahu, dua lengan atas, dua lengan bawah, dua
betis, dan dua kaki. Pemukulan juga jangan sampai diarahkan ke anggota tubuh
yang sensitif seperti wajah, kepala, dada, perut serta alat-alat reproduktif.
Imam Malik mengatakan dalam hukuman cambuk,
yang dipukul adalah punggung dan sekitarnya. Imam Syafi’i mengatakan, pemukulan
dilakukan merata pada bagian-bagian anggota badan dengan memerhatikan agar
jangan sampai memukul wajah, alat kelamin, panggul, dan anggota-anggota tubuh
sensitif lainnya. Sementara itu Imam Ahmad mengatakan, seluruh tubuhnya harus
merasakan pukulan kecuali tiga tempat yaitu kepala, wajah, alat kelamin, baik
apakah terhukum itu laki-laki maupun perempuan. Karena selain ketiga anggota
badan tersebut, bukanlah anggota badan yang sensitif dan mematikan, sehingga
statusnya serupa dengan punggung.[44]
Dalil mereka ini adalah perkataan Ali ibnu Abi Thalib r.a. kepada sang algojo,
“Pukullah dan jadikanlah dia merasakan sakit. Namun, jangan pukul kepala dan
wajah!.
Menurut jumhur fuqaha disunatkan agar
penguasa mendatangkan orang banyak pada saat dilaksanakan hukuman, berdasarkan
firman Allah swt. :
Artinya: Dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.[45]
Mengenai waktu pelaksanaan hukuman,
jumhur fuqaha berpendapat bahwa hukuman tidak boleh dilaksanakan pada saat hari
sangat panas atau dingin. Dan tidak boleh pula dilaksanakan atas terhukum yang
sedang sakit.
Tetapi fuqaha lain berpendapat harus
dilaksanakan meski terhukum dalam keadaan sakit. Pendapat ini dikemukakan oleh
Ahmad dan Ishaq. Kedua fuqaha ini berdasarkan dengan hadits Umar r.a bahwa ia
melaksanakan hukuman atas Qudamah, padahal waktu itu ia sakit.
Silang pendapat ini disebabkan adanya
pertentangan antara lahiriyah nash dengan pengertian hadd. Yaitu hukuman
itu dilaksanakan. Jika menurut dugaan orang yang melaksanakannya tidak akan
memusnahkan (diri atau eksistensi) orang yang dijatuhi hukuman itu.[46]
Bagi fuqaha yang memandang bahwa
perintah hukuman hudud itu harus dilaksanakan secara mutlak tanpa kecuali
berpendapat bahwa orang sakit tetap dijatuhi hukuman.
Sedang bagi fuqaha yang memahami
pengertian dan tujuan sanksi untuk pengajaran berpendapat bahwa hukuman orang
sakit harus ditunda dulu sampai ia sembuh. Begitu pula dengan cuaca yang sangat
panas atau dingin.
3.
Alat Yang
Digunakan Dalam Pelaksanaan Hukuman (Tata Cara Mencambuk Dan Merejam)
Hukuman
rajam dilaksanakan dengan menggunakan madar (tanah yang sudah membatu) dan
dengan menggunakan batu yang berukuran sedang (sengenggam). Tidak dengan
menggunakan batu kecil agar rasa sakit yang diderita sang terhukum tidak
terlalu lama, dan tidak pula dengan menggunakan batu yang terlalu yang besar
yang menyebabkan sang terhukum meninggal terlalu cepat. Sehingga hukuman atau
pengajaran yang dimaksudkan tidak tercapai.
Adapun hukuman cambuk dilakukan dengan
menggunakan cemati atau cambuk yang sudah lunak ujungnya dan dengan tidak
menelentangkan si terhukum di tanah sebagaimana yang dilakukan dewasa ini,
karena cara seperti itu adalah bid’ah. Algojo tidak boleh sampai mengangkat
tangannya sampai di atas kepalanya. Karena dikhawatirkan akan menyebabkan si
terhukum meninggal atau sampai menyebabkan kulitnya terkepulas.[47]
Algojo harus mencambuk dengan cambukan
yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan, agar
tidak sampai menyebabkan sang terhukum meninggal namun pada waktu yang sama
arti memberikan efek jera juga tetap tercapai.
4.
Tempat Pelaksanaan
Eksekusi Hukuman
Ulama Hanafiyah dan ulama Hanabilah mengatakan, sebaiknya pelaksanaan eksekusi
seua bentuk hukuman dilakukan di hadapan orang bayak. Hal ini berdasarkan pada
firman Allah swt.:
Artinya: Dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.[48]
Karenakan maksud dan tujuan pelaksanaan sanksi
adalah untuk memberikan efek jera kepada manusia. Sementara itu, ulama
Syafi’iyah dan ulama Malikiyah mengatakan, disunnahkan agar pelaksanaan hukuman
disaksikan oleh banyak orang minimal empat orang.
Jumhur ulama termasuk di antaranya
termasuk diantaranya adalah ulama Hanafiyah, ulama Syaf’iiyah dan ulama Hanabilah
mengatakan hukuman tidak boleh dilaksanakan di masjid.
5.
Cara Menetapkan
Sanksi Zina
Hukuman dapat ditetapkan karena ada pengakuan dari
orang yang berzina ataupun karena ada empat orang saksi (laki-laki yang adil)
yang menyaksikan perbuatan itu.
i.
Sanksi zina yang ditetapkan berdasarkan pengakuan
Menurut
ulama, pengakuan dari pelaku zina merupakan bukti yang paling kuat. Mengenai
hal ini, para ulama tidak ada yang berbeda pendapat. Hanya saja, mereka berbeda
pendapat tentang jumlah pengakuan yang meniscayakan penegakan hukum. Malik,
Syafi’i, Dawud, Thabari, dan Abu Tsu berpendapat bahwa hukuman boleh ditegakkan
dengan adanya satu kali pengakuan. Sementara Abu Haniffiyah berpendapat bahwa
hukuman boleh dijatuhkan apabila pengakuan itu terjadi sebanyak empat kali
secara berturut-turut di tempat yang berbeda. Ahmad dan Ishak memiliki pendapat
yang sama dengan pendapat ulama Hanifiyah. Hanya saja, mereka tidak
mensyaratkan pengakuan itu harus dilakukan di tempat yang berbeda.[49]
ii. Status sanksi jika pengakuan ditarik
kembali
Jumhur
fuqaha berpendapat bahwa jika seseorang mengaku berbuat zina, kemudian ia
mencabut kembali pengakuannya, maka pencabutannya itu dapat diterima. Kecuali
Ibnu Abi Laila dan Utsman al-Batti yang menolak pencabutan itu. Dalam hal ini
Malik memilah. Jika pencabutan itu berdasarkan keragu-raguan, maka pencabutan
kembali itu dapat diterima. Tetapi jika pencabutannya itu tidak didasarkan
kepada keragu-raguan, maka ada dua riwayat dari Malik. Pertama, dapat diterima,
dan ini pendapat yang terkenal. Sedang
yang kedua, tidak dapat diterima.[50]
Ulama Syaf’iyyah, Hanafiyyah dan Ahmad berpendapat bahwa apa bila pelaku zina
menarik kembali pengakuannya , maka hal itu dapat menggugurkan hukuman.
iii. Saksi-saksi
Ulama
sepakat bahwa perbuatan zina dapat ditetapkan berdasarkan keterangan para
saksi. Berbeda dengan perkara lain, penetapan zina harus berdasarkan keterangan
empat orang saksi dan jumlah saksi yang lain.[51]
Dasarnya adalah firman Allah swt. :
t
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina),
kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi…”.[52]
Dan
disepakati pula bahwa para saksi itu disyaratkan adil. Demikian pula kesaksian
mereka harus diberikan berdasarkan penyaksian langsung terhadap alat kelamin
laki-laki (penis) masuk (penetrasi) ke dalam vagina perempuan. Kesaksian itu
harus dinyatakan dengan kata-kata yang jelas, bukan sindiran.
Jumhur
fuqaha berpendapat bahwa di antara syarat-syarat kesaksian yang lain adalah
bahwa kesaksian tersebut tidak berbeda-beda waktu maupun tempatnya. Kecuali
pendapatnya yang diriwayatkan dari Abu Hanifah tentang masalah “ sudut-sudut”
yang terkenal. Yaitu, masing-masing saksi yang empat itu harus melihat langsung
“persetubuhan” yang dilakukan oleh tertuduh zina di suatu tempat/ sudut
tertentu. Kesaksian mereka akan ditolak, jika keterangan tempat persetubuhan
itu berbeda antara saksi yang satu dengan saksi yang lain. Tetapi menurut Abu
Hanifah kesaksian perbedaan tempat itu masih dapat ditolelir.[53]
Silang
pendapat ini disebabkan, apakah kesaksian yang tempatnya persetubuhannya
berbeda-beda itu dapat digabungkan atau tidak, seperti kesaksian tentang
waktunya yang berbeda-beda? Demikian itu karena fuqaha sepakat bahwa kesaksian
yang berbeda-beda tempatnya itu tidak dapat digabungkan, padahal tempat itu
lebih mirip dengan waktu. Di sini terlihat bahwa syarak bermaksud untuk lebih
berhati-hati dalam menetapkan hukuman zina tersebut ketimbang hukuman yang akan
dijatuhkan pada perkara lain.
Oleh itu,
Islam menentukan beberapa persyaratan bagi persaksian atas perbuatan zina,
sebagaimana akan diuraikan berikut ini.[54]
a.
Hendaknya saksi berjumlah empat orang.
b.
Hendaknya para saksi tadi merupakan orang-orang yang sudah balig.
c.
Hendaknya para saksi berakal sehat.
d.
Hendaknya para saksi adalah orang-orang yang adil.
e.
Hendaknya para saksi beragama Islam.
f.
Hendaknya para saksi melihat perbuatan zina itu secara langsung.
g.
Hendaknya kesaksian dilakukan dengan keterangan yang jelas.
h.
Hendaknya kesaksian diajukan di dalam satu majelis.
i.
Hendaknya para saksi adalah laki-laki.
j.
Hendaknya jarak waktu antara perbuatan zina dan ketika persaksian
diajukan tidaklah terlalu lama.
B. Menurut
Hukum Adat
Di dalam kehidupan
pergaulan sehari-hari masyarakat di Desa Tangkit Baru, penduduknya masih
menerapkan kebudayaan Bugis sehingga Lembaga Adat Desa Tangkit Baru berpengaruh
dalam menetapkan hukum kerna penduduk Tangkit Baru senantiasa nalurinya
mengedepankan perasaan "SIRI" di dalam
segala bentuk implikasi terhadap dirinya secara individu dan didalam lingkungan
keluarga secara umum.[55]
Siri merupakan inti kebudayaan yang
mentul kesemua aspek. Siri adalah yang mencakup harga diri dan malu. Hukum adat
Desa Tangkit Baru memberi arti perzinahan adalah melakukan hubungan badaniah
tanpa diikat oleh pernikahan secara agama. Lembaga Adat Desa Tangkit Baru memberi
sanksi bagi pelaku zina di Bab. 1 Peraturan dan Hukum Adat Di Bidang HANKAMNAS
pasal 1 adalah:[56]
1) Perzinahan
atas dasar suka sama suka
a. Antara
bujang dengan gadis
Sanksi ;
1. Memanggil
wali yang bersangkutan untuk diberi tahukan agar segera menikahkan anaknya dan
segala sesuatu biaya yang timbul atas pernikahan itu ditanggung oleh
masing-masing yang bersangkutan (berdasarkan dengan kesepakatan kedua belah
pihak).
2. Setelah
dinikahkan yang bersangkutan diusir keluar dari kampung (Desa Tangkit Baru)
selama dua tahun.
3. Siapapun
diantara keluarga kedua belah pihak yang menentang dan membangkang, akan
dikenakan sanksi hukum adat yang sama yaitu diusir dari kampung selama maksimum
dua tahun juga.
b. Antara
janda dengan duda
Sanksi :
1. Dinikahkan
2. Setelah
dinikahkan yang bersangkutan diusir keluar dari kampung (Desa Tangkit Baru)
selama maksimum tiga tahun.
3. Siapa
pun diantara keluarga kedua belah pihak yang menentang dan membangkang, akan
dikenakan sanksi hukum adat yang sama yaitu diusir dari kampung selama maksimum
tiga tahun juga.
c. Antara
laki-laki yang berkeluarga dengan pasangan selingkuhnya.
Sanksi :
1. Laki-laki
yang berkeluarga dengan gadis dinikahkan dan dikenakan sanksi hukum adat diusir
dari kampung selama maksimum tiga tahun.
2. Laki-laki
berkeluarga dengan perempuan berkeluarga dikenakan sanksi hukum adat diusir
dari kampung dalam waktu maksimum lima tahun dan diserahkan kapada yang
berwajib.
2) Perzinahan
atas dasar paksaan pemerkosaan
Sanksi :
1. Pihak
pemerkosa diusir dari kampung maksimum tujuh tahun.
2. Diserahkan
kepada yang berwajib.
C. Persamaan
dan Perbedaan
Sebagaimana yang telah
penulis sebutkan di atas, bahwa ada perbedaan dan persamaan yang terjadi pelaksanaan
sanksi bagi pelaku zina antara hukum Islam dan hukum adat di Desa Tangkit Baru
Kab. Muaro Jambi. Dalam membuat perbandingan antara hukum Islam dan hukum adat
di Desa Tangkit Baru, ianya lebih kepada perbedaan berbanding persamaan. Semuanya
memiliki dasar pandangan sehingga bisa terjadi demikian. Hukum yang
dilaksanakan tidak bercanggah dari landasan al-Quran dan as-sunnah.
Cara menetapkan sanksi zina yang
berlaku di antara hukum Islam dan hukum adat Desa Tangkit Baru mempunyai
persamaan dalam menetapkan hukuman dengan mengambil pengakuan terhadap si
pelaku zina, laporan atau penyataan dari saksi untuk mengukuhkan pembuktian.
Pihak yang melaksanakan prosuder ini diberikan kepada pihak hakim/imam
(pemerintah).
Seterusnya, dilihat persamaan
pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina antara hukum Islam dan hukum adat Desa
Tangkit Baru hanya berlaku terhadap pezina ghairu muhsan dimana hukuman
yang dilaksanakan adalah mengusir si pelaku dari daerah/kampung. Kemudian,
dilihat pula dari sudut perbedaan, berdasarkan hukum Islam menjelaskan hukuman
terhadap pezina muhsan dikenakan sanksi rajam dan pezina ghairu
muhsan di cambuk sebanyak seratus kali serta dibuang daerah selama satu
tahun.
Manakala hukum adat Desa Tangkit Baru dalam
Bab. 1 Peraturan dan Hukum Adat di Bidang HANKAMNAS Pasal 1 Nomor 1 kedua-dua
pelaku zina muhsan dan ghairu muhsan dikenakan sanksi yang sama
yakni dinikahkan terlebih dahulu terhadap
pelaku zina, kemudian di usir keluar dari desa tangkit baru selama
beberapa tahun mengikut keadaan status dan kesalahan pelaku. Jika ada keluarga
dari pihak si pelaku zina menentang dan membangkang, akan juga dikenakan sanksi
yang hukum adat yang sama yaitu diusir dari kampung selama maksimum dua tahun
juga.
Dalam hukum adat Desa Tangkit Baru
menyatakan bahwa pezina yang diusir dari kampung (Desa Tangkit Baru) hanya
tidak boleh bermukim di Desa Tangkit Baru selama masa hukum dan boleh mencari
rezeki di Desa Tangkit Baru hanya di siang hari.[57]
Tabel
2 : Contoh Kasus Perzinahan di Desa Tangkit Baru
No
|
Kasus
|
Pihak Terlibat
|
Waktu
|
Penyelesaian
|
1.
|
Perzinahan
|
Fulan bin/binti Fulan
|
28 Juli 2005
|
Di beri sanksi di usir dari kampung
(Desa Tangkit Baru) selama 15 tahun dan boleh mencari rezki di Tangkit Baru
hanya di siang hari.
|
Pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa dalam pelaksanaan sanksi bagi pelaku zina antara hukum
Islam dan hukum adat di Desa Tangkit Baru, setiap hukum mempunyai penetapan
atau ketentuan yang berlandaskan al-Quran dan as-sunnah. Di mana hal ini amat
dilarang dalam agama Islam yang demikian itu untuk menutup fitnah serta memutus
sebab-sebab terjadinya syubhat.
Dengan
demikian dapat dilihat oleh penulis bahwa kedua-dua hukum mempunyai fungsi dan
tujuan yang sama, namun ada kelebihan untuk hukum Islam dalam melaksanakan
sanksi bagi pelaku zina
kerna hukum ini telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-sunnah. Walau pun
hukum adat Desa Tangkit Baru mempunyai pelaksanaan hadd zina yang
tertentu tetapi bentuk hukumannya masih lagi berlandaskan syariat Islam, yang
mana hukum adat Desa Tangkit Baru berpegang dengan “Adat Bersendi Syara’,
Syara’ Bersendi Kitabullah.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam bab-bab dan
permasalahan-permasalahan yang terdahulu, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagaimana berikut:
1.
Pelaksanaan
sanksi bagi pelaku zina dalam hukum Islam bagi pezina muhsan yaitu
dirajam dan ghairu muhsan dikenakan sanksi dicambuk sebanyak seratus
kali dan dikeluarkan daerah selama satu tahun. Hukum adat Desa Tangkit Baru
pula sanksi hukumnya dinikahkan dahulu pelaku zina kemudian diusir dari desa
tersebut mengikut status dan kesalahan pelaku. Orang yang menjalankan sanksi
dalam hal ini untuk melaksanakan sanksi zina adalah dari pihak hakim atau
imam dengan bukti yang terkuat melalui pengakuan dari pelaku dan saksi dari
orang lain. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa di antara syarat-syarat kesaksian
yang lain adalah bahwa kesaksian tersebut tidak berbeda waktu maupun tempatnya.
2.
Persamaan pelaksanaan
sanksi zina antara hukum Islam dan hukum adat Desa Tangkit Baru adalah sanksi
bagi pezina ghairu muhsan yaitu diusir dari kampung/daerah. Perbedaannya
adalah hukuman yang ditetapkan di dalam hukum Islam mengenai pezina muhsan
adalah dirajam dengan batu sampai mati dan bentuk pelaksanaannya dilakukan
serta disaksikan oleh orang-orang yang beriman. Kemudian pezina ghairu
muhsan fuqaha sepakat hukuman bagi lelaki dan perempuan bujang adalah
hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diusir daerah. Manakala hukum adat
Desa Tangkit Baru dalam Bab. 1 Peraturan dan Hukum Adat di
Bidang HANKAMNAS Pasal 1 Nomor 1 kedua-dua pelaku zina muhsan dan ghairu
muhsan dikenakan sanksi yang sama yakni dinikahkan terlebih dahulu
terhadap pelaku zina, kemudian di usir
keluar dari desa tangkit baru selama beberapa tahun mengikut keadaan status dan
kesalahan pelaku.
B.
Saran
Untuk
memberikan suatu masukan yang positif, maka dalam kesempatan ini, penulis
memberikan beberapa saran-saran, antara lain:
1.
Bagi mereka
laki-laki atau perempuan yang bukan muhrimnya, maka dilarang untuk berdua-duaan
kerna perbuatan tersebut bisa mewujudkan naluri seksual dan bahkan juga mampu
membuahkan akibat yang tercela serta terhina.
2.
Menyadari bahwa
masyarakat Islam sering dihadapi kepada masalah-masalah sosial seperti
pergaulan laki-laki dan wanita yang membawa dampak negatif, maka perlu
diupayakan penyuluhan hukum Islam bagi para remaja, sehingga mereka mengetahui
akibat-akibat negatif dari perbuatan zina tersebut.
3.
Selain itu, bisa
juga mewujudkan bimbingan didikan agama dan didikan tentang dampak negatif seks
di luar perkawinan yang sah dari sekolah, universitas, dan institut-institut
lainnya.
C. Kata
Penutup
Segala
puji bagi Allah SWT Tuhan sekalian alam, karena di atas petunjuk serta
keredhaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segenap usaha yang
semaksimal sekali, walaupun terdapat beberapa rintangan dan hambatan yang harus
penulis hadapi tetapi rintangan dan hambatan itulah yang memotivasikan diri
penulis bagi meraih kejayaan serta kecemerlangan untuk masa akan dating dan
dianggap sebagai pembakar semangat serta tangga untuk mengorak langkah bagi
mencapai kemanisan berjuang di medan menuntut ilmu.
Dalam hal
ini, penulis amat menyedari bahwa setiap apa yang dilakukan oleh manusia tidak
semuanya sempurna begitu juga dengan penulisan skripsi ini, ianya masih jauh
lagi untuk mencapai kesempunaanya dan masih terdapat banyak lagi kekeliruan dan
kekhilafan dalam penulisan ini. Untuk itu penulis beharap kepada semua pihak
supaya dapat member kritikan yang konstuktif bagi menyempunakan lagi skripsi
ini demi mengeksistensikan kebenaran.
Demikianlah
hasil riset yang dapat penulis ungkapkan dalam karya ilmiah yang diwujudkan
berbentuk skripsi ini. Di harapkan skripsi ini senantiasa dapat member manfaat
kepada nusa, bangsa dan agama. Mudah-mudahan dengan inayah Allah SWT dan
taufiq-Nya dapat memberikan manfaat kepada pembaca yang budiman.
Akhirnya
kepada Allah SWT penulis berserah diri karena tiada daya dan upaya melainkan
atas izin dan ridha-Nya. Semoga karya ini menjadi amalan ibadah bagi penulis
dan kiranya senantiasa mendapatkan keridhaan-Nya.
0 comments:
Post a Comment