BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
diciptakan Allah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, tentu dengan alasan
yang sangat tepat potensi itu harus ada pada diri manusia, sebagaimana sudah
diketahui, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi Allah ini. Potensi yang dimiliki manusia tidak ada artinya kalau bukan
karena bimbingan dan hidayah Allah yang terhidang di alam ini.
Namun manusia
tidak pula begitu saja mampu menelan mentah-mentah apa yang dia lihat, kecuali
belajar dengan mengerahkan segala tenaga yang dia miliki untuk dapat memahami
tanda-tanda yang ada dalam kehidupannya. Menuntut
ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan
tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusia tidak akan mampu merubah suatu
peradaban. Bahkan dirinya juga tidak bisa menjadi lebih baik.
Ilmu menurut perspektif Islam terbahgi kepada ilmu Fardhu Ain dan
Fardhu Kifayah. Kedua–dua jenis ilmu ini adalah sama pentingnya menurut Islam,
kerana tanpa ilmu, kita tidak mampu untuk beramal atau menunaikan kewajipan
sebagai seorang Muslim yang baik. Ilmu Fardhu Ain adalah ilmu yang wajib
diketahui oleh setiap individu muslim bagi melayakkan kita menjadi Muslim yang
sempurna.
Bagi setiap
Muslim, menunaikan kewajiban seperti
sembahyang, puasa, zakat dan haji adalah kewajiban
yang mesti dilaksanakan oleh setiap individu. Oleh yang demikian ilmu bagi
memastikan segala ibadah tersebut menjadi sempurna adalah wajib diketahui oleh
setiap muslim.
Fardhu Kifayah
adalah kewajiban yang tidak dapat dinafikan
kepentingannya semua individu muslim. Contoh ilmu Fardhu Kifayah adalah seperti
ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qiraat dan lain-lain lagi. Begitu juga ilmu-ilmu
umum seperti ilmu perubatan, ilmu perundangan, ilmu kemahiran, ilmu pelayaran
dan sebagainya, perlu juga dipelajari.[2]
Suatu pekerjaan
atau amalan yang tidak berdasarkan ilmu itu seringkali menghadapi kebuntuan atau kegagalan. Sebaliknya ilmu yang tidak
diamalkan itu tidak mendatangkan faedah malah sia-sia saja. Sebuah pepatah ada menyatakan, “ilmu tanpa amal umpama pokok yang
tidak berbuah”.
Islam
meletakkan ilmu sebagai asas dalam pembangunan diri manusia dan alam
seluruhnya. Tuntutan pertama dan utama terhadap manusia ialah saran menuntut
ilmu, kerana iyanya merupakan asas pemikiran dan
pembuka minda. Ini telah diperkukuh dengan turunnya wahyu pertama yang diterima
oleh Rasulullah SAW dalam surah Al-‘Alaq ayat 1-5:
Artinya:
“(Wahai
Muhammad bacalah) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian mahkluk), Dia
menciptakan manusia dari sebuku darah beku, bacalah dan Tuhanmu yang Maha
pemurah, yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-Alaq/ 96: 1-5).[3]
Kata Iqra’ diambil
dari kata kerja qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun.
Apabila kita merangkai huruf kemudian mengucapkan rangkaian tersebut maka kita
sudah menghimpunnya yakni membacanya[4]. Dengan
demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks
tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar
oleh orang lain. Karena dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata
tersebut adalah bisa menyampaikan, menela’ah, membaca, meneliti, mendalami.[5]
Syekh “Abdul
Halim Mahmud (mantan pemimpin tinggi Al-Azhar Mesir) sebagaimana dikutip
Quraish Shihab dia menulis dalam bukunya al-Qur’an Fi Syahr al-Qur’an: “
dengan kalimat iqra’ bismi Rabbika, al-Qur’an tidak hanya sekedar
menyuruh membaca, tetapi membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan
oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam
pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah
demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu” . demikian juga ketika kita berhenti
melakukan aktifitas hendaklah didasari pada Bismi rabbika sehingga
akhirnya ayat itu berarti “jadilah seluruh kehidupanmu, Wujudmu, dalam cara dan
tujuanmu, kesemuanya demi karena Allah semata”.[6]
Di dalam ayat-ayat tersebut termuat
peringatan mengenai permulaan penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan
bahawasanya di antara kemurahan Allah adalah Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya. Dengan demikian, Dia telah memuliakannya dengan ilmu. Dan
itulah yang menjadikan bapak ummat manusia ini, Adam AS mempunyai kelebihan
atas malaikat.
Terkadang, ilmu berada di dalam akal fikiran dan terkadang juga berada
dalam lisan. Juga terkadang berada dalam tulisan. Secara akal, lisan dan
tulisan mengharuskan perolehan ilmu, dan tidak sebaliknya. Oleh kerana itu,
Allah berfirman yang bermaksud “Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah,
yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya"[7]
Imam al-Qurtubi
turut mengutarakan bahwa permulaan wahyu yang pertama ini adalah perintah Allah
yang ditujukan kepada nabi Muhammad SAW dan
umat manusia seluruhnya bahawa membaca, menulis dan mencari ilmu pengetahuan
adalah kewajiban yang wajib dilaksanakannya. Ia merupakan dasar utama yang
diperjuangkan oleh Islam bagi membangunkan modal insan. Islam yang di dalamnya
tersingkap keindahan ajarannya menggesa umatnya mencari dan mendapatkan ilmu
secara formal dan tidak formal di mana membaca adalah anak kunci kepada ilmu
pengetahuan.[8]
Membaca merupakan
suatu proses untuk memperolehi ilmu dan maklumat dengan menggunakan indra dan pikiran sama ada melalui bahan-bahan bercetak atau media elektronik
seperti komputer dan sebagainya. Deria dan minda yang dicerna dengan ilmu
pengetahuan hasil pembacaan akan menghasilkan kehidupan
manusia yang sentiasa inginkan perubahan. Sedikit ilmu yang diperolehi akan
merangsang minat dan naluri dalam diri untuk menambah ilmu pengetahuan yang
lain seterusnya akan terbentuk satu budaya membaca di kalangan masyarakat.[9]
Didalam Al-qur’an meraka yang berilmu dan tidak berilmu itu berbeda
dalam pandangan Islam. Firman
Allah di dalam surah Az-Zumar ayat 9:
Artinnya
:
“Katakanlah
(ya Muhammad), tidaklah sama orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu!
Sesungguhnya yang memiliki akal pikiranlah yang dapat menerima pelajaran” (QS.
Az-Zumar/ 39: 9).[10]
Allah
meninggikan derajat orang yang berilmu itu, Firmannya :
Artinya
:
“Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah/ 58: 11).[11]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abuth Thufail
‘Amir bin Watsilah, bahwa Nafi’ bin ‘Abdil Harits pernah bertemu dengan ‘Umar
bin al-Khaththab di Asafan. ‘Umar mengangkatnya menjadi pemimpin Makkah lalu
‘Umar berkata kepadanya: “Siapakah yang engkau angkat sebagai khalifah atas
penduduk lembah?” Ia menjawab: “Yang aku angkat sebagai khalifah atas mereka
adalah Ibnu Abdzi, salah seorang budak kami yang telah merdeka.” Maka ‘Umar
bertanya: “Benarkah engkau telah mengangkat seorang mantan budak sebagai
pemimpin mereka?” Dia pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia
adalah seorang yang ahli membaca Kitabullah (al-Quran), memahami ilmu fara-idh dan
pandai berkisah.[12]
Karena sungguh
dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai daripada mereka yang
beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu, al-‘alim daripada ahli
ibadah, al-‘abid, adalah seperti kelebihan Muhammad atas orang Islam
seluruhnya. Di kalangan kaum muslimin ramai yang beranggapan bahwa mencari ilmu
itu merupakan perkara yang wajib karena ia adalah ibadah.
Islam secara mutlaq
mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke
negeri Cina. Nabi menyatakan bahwa jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi
masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan.[13] Demikian kebesaran ilmu yang mengubah
seorang manusia biasa menjadi mulia dan bijaksana. Tidak seperti harta yang
diwarisi, ilmu bukan anugerah yang boleh diberikan kepada siapa saja yang
dikehendaki atau disayangi. Ilmu memerlukan penuntutnya berusaha dengan gigih
dan bersungguh-sungguh demi mencapai apa-apa yang dihajatinya. Ilmu bukan
maklumat genetik yang boleh dipindahkan daripada seorang bapa kepada
anak-anaknya melalui pewarisan genetik.[14]
Di dalam menuntut
ilmu terdapat sesuatu yang amat penting yang perlu diketengahkan, yaitu
adab menuntut ilmu. Adab menuntut ilmu ini adalah sangat penting bagi menjamin
kualitas ilmu yang dipelajarinya. Karena antara menuntut ilmu yang berkesan
adalah antaranya ialah dengan keredhoan dari gurunya. Adab-adab ilmu bukan seperti adab-adab
yang lainnya dari segi membuahkan hasil, namun ia memiliki tatacaranya yang
tersendiri yang mesti diketahui oleh penuntut-penuntutnya dan dijadikan
pakaiannya sepanjang hayatnya sama ada ketika sedang menjadi penuntut atau
guru. Inilah hiasan sejati yang tidak boleh lekang dan ditanggal
selama-lamanya.[15]
Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran yang luhur dan mulia. Untuk dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Quran,
seseorang membutuhkan seperangkat ilmu yang cukup sehingga ia dapat menggali
dan mengurai kandungan ayat-ayat di dalamnya. Banyak ulama’ yang telah
melakukan studi tafsir ayat-ayat Al-Quran, baik tafsir bil-ma’tsur (tafsir ayat
dengan ayat atau ayat dengan hadits) maupun birra’yi (tafsir ayat dengan akal).
Salah satu dari sekian banyak ulama yang melakukan studi tafsir itu
adalah al-Imam al-Hafidz Imaduddin Abul-Fida Ismail bin Katsir (Ibnu Katsir).
Beliau telah melakukan kajian tafsir dengan sangat teliti, dilengkapi
hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang masyhur. Kecermatan dan kepiawaiannya
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mulia menjadikan kitab tafsirnya
sebagai kitab rujukan dan kajian di hampir semua majelis kajian tafsir di
seluruh dunia Islam.[16]
Maka berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dari latar belakang
masalah ini, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut perihal “KONSEP
ETIKA MENUNTUT ILMU MENURUT TAFSIR IBNU KATSIR” (Kajian Tafsir Tematik)
B.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di
atas, maka yang menjadi pokok permasalahan
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.
Apakah
yang dimaksudkan dengan etika menuntut ilmu?
2.
Apakah
klasifikasi ayat-ayat tentang etika
menuntut ilmu?
3.
Bagaimanakah
penafsiran Ibnu Katsir tentang etika menuntut ilmu?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan judul yang penulis angkat,
maka bahasan yang menjadi tumpuan utama dari karya ilmiah ini agar tidak
terjadi kesalahfahaman dalam pembahasan, baik terhadap penulis sendiri maupun
para pembaca, maka penulis telah menspesifikasi pada perbahasan konsep etika menuntut
ilmu menurut Tafsir Ibnu Katsir.
D.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
a. Ingin mengetahui gambaran umum maksud etika
menuntut ilmu.
b. Ingin mengetahui klasifikasi ayat-ayat
etika menuntut ilmu.
c. Untuk mengetahui penafsiran tafsir Ibnu Katsir tentang etika menuntut ilmu.
2. Kegunaan
a. Untuk menjelaskan seputar tentang etika
menuntut ilmu dalam perspektif tafsir Ibnu Katsir.
b. Kajian ini akan dapat membentuk penulis dan para da’i bagi
meningkatkan pengetahuan serta dapat menyelesaikan pelbagai masalah masyarakat
yang berlaku pada masa ini.
c. Suatu sumbangan pemikiran dalam usaha untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan serta pemahaman mengenai isi kandungan Al-Quran.
d. Untuk menambah dan mengembangkan wawasan penulis dalam membuat dan
menyusun karya ilmiah yang baik dan benar.
E. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana yang telah disebutkan di
dalam latar belakang masalah, penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang
konsep etika menuntut ilmu menurut Tafsir Ibnu Katsir (kajian tafsir tematik).
Oleh sebab itu, dengan segala pembahasan dan pengetahuan yang penulis miliki
berusaha membahas masalah atau judul tersebut dengan mengumpulkan dan
menghimpun data-data yang ada hubungan dengan masalah ini sebagai contoh antara
bukunya ialah Pelita Penuntut karangan Al-Al’lamah As-Syeikh Burhanuddin
Az-Zanurji, dan Syarah Hilyah Thalibil Ilmi karangan Al-Allamah Dr. Bakr bin
Abdullah serta Keutamaan Ilmu Pengetahuan karangan Dr ‘Aidh Abdullah Al-Qarni.
Adapun penulis juga menggunakan Tafsir Ibnu
Katsir sebagai rujukan utama.
F. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis
menggunakan metode penelitian tafsir (Tafsir Tematik) dengan pendekatan
perpustakaan (Library Research) dengan menggunakan:
1.
Teknik
Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan penelitian kepustakaan (library research), dan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini penulis lakukan dengan mencari data-data
dari buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan, kemudian dikumpulkan dan
dipilih-pilih serta diteliti kesesuaiannya dengan penulisan skripsi ini. Data
primer merupakan perioritas utama dalam penelitian ini, dan data sekunder penulis
menjadikan pendukung, jika nanti ditemukan kesulitan dalam mencari data primer.
Proses cek dan ricek terhadap data yang diperoleh juga dilakukan untuk
ketetapan informasi.
2.
Sumber
Data
Oleh karena penulisan ini menyangkut
tentang ajaran Islam, maka sumber data primer atau sumber utamanya mestilah
kitab suci Al-Quran yang mana akan dipilih beberapa ayat Al-Quran yang
bersangkutan dengan pembahasan penulisan ini, lalu ditafsirkan menurut Tafsir
Ibnu Katsir yang dipilih oleh penulis. Dan beberapa hadis Nabi SAW juga akan
ditampilkan dan diterjemahkan sesuai dengan objek tulisan ini.
Manakala antara sumber skunder yang
dirujuk menjadi pendukung dalam menyelesaikan permasalahan konsep etika menuntut
ilmu dalam Al-Quran yaitu dengan buku-buku dan referensi lain yang mempunyai
kaitan dan releven dengan masalah yang dibahas.
3.
Analisa
Data
Data
yang telah terkumpul dianalisa melalui metodologi Tafsir Ibnu Katsir dan metode mawdhu’i.
Metodologi Tafsir Ibnu Katsir:
1. Tafsir Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an sendiri
karena banyak didapati kondisi umum dalam ayat tertentu kemudian dijelaskan
detail oleh ayat lain.
2. Alternatif kedua ketika tidak dijumpai ayat
lain yang menjelaskan, mufassir harus menelisik Sunnah yang merupakan
penjelas Al-Quran. Bahkan Imam Syafi’I seperti ditulis Ibnu Katsir
mengungkapkan, “setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW merupakan hasil
pemahamannya terhadap Al-Qur’an. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang
khianat.” (QS Al-Nisa’ 4: 105)[17]
3. Selanjutnya jika tidak didapati tafsir baik
dalam Al-Qur’an dan hadits, kondisi ini menuntut kita untuk merujuk kepada
referensi sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui karena menyaksikan langsung
kondisi dan latar belakang penurunan ayat. Di samping pemahaman, keilmuan dan
amal shalih mereka. Seumpama empat khalifah yang bijak, Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Abbas, sepupu Nabi sekaligus penerjemah Al-Qur’an.
4. Referensi tabi’in kemudian menjadi
alternatif selanjutnya ketika tidak ditemukan tafsir dalam Al-Quran, hadits dan
referensi sahabat. Sahabat-sahabat yang terkenal adalah Mujahid bin Jabir,
Sa’id bin Jabir, ‘Ikrimah, sahaya Ibnu ‘Abbas, ‘Atha bin Abi Rabbah, Hasan
Al-Bashri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abi Al-‘Aliyah, Rabi’
bin Anas. Dhahhak bin Muzahim, tabi’in lain dan pengikut tabi’in yang kerap
menjadi rujukan dalam tafsir.
Menurut Ibnu
Katsir, terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka. Namun dirinya
cenderung lebih merujuk pada pendapat-pendapat tabi’in. kenyataan itu jelas
dalam ungkapannya, “memang sering dijumpai perbedaan pengungkapan dalam banyak
pernyataan mereka. Namun pada kenyataannya perbedaan tersebut bukan merupakan
perbedaan yang prinsipil. Mereka yang tidak memahami berkesimpulan tentang
adanya perbedaan. Kemudian menyatakan perbedaan-perbedaan tersebut dan mengesankannya
sebagai pendapat-pendapat yang beda. Padahal kesemua pendapat tersebut memiliki
kesamaan dalam banyak hal. Namun kesamaan yang hanya dimengerti oleh mereka
yang mampu memahami.”[18]
Ketika
menyoal tafsir bi al-ra’yi (bersumber dari pendapat) Ibnu Katsir
menyebutkan, “tentang tafsir bi al-ra’yi, kalangan salaf cenderung
melarang mereka yang tidak memeliki basik pengetahuan tentang tafsir untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Berbeda dengan mereka yang menguasai disiplin ilmu
bahasa dan syariat yang mendapat legalitas dari kalangan salaf untuk melakukan
penafsiran.” Pendapat ini jelas merupakan pendapat yang tepat bahwa mereka yang
mengusai perangkat bahasa dan syariat sah-sah saja untuk berbincang berkaitan
tafsir bi ar-ra’yi.
Metodologi
ini diterapkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Hingga kemudian memposisikan tafsir
Ibnu Katsir sebagai salah satu di antara sekian tafsir terbaik yang menjadi
rujukan para pakar. Generasi setelahnya banyak yang mengadopsi ide-idenya.
Sebutlah semisal penulis Mahasin al-Ta’wil, al-Manar dan banyak lagi
lainnya.[19]
Metodologi
Mawdhu’i:
Metode
tafsir mawdhu’i juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya
berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ada dua cara
dalam tata kerja metode tafsir mawdhu’i yaitu yang pertama, dengan cara
menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang satu masalah
(mawdhu’i/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun
turunnya berbeda dan tersebar dalam pelbagai surah Al-Qur’an. Kedua, penafsiran
yang dilakukan berdasarkan surah Al-Qur’an.[20]
Penulis
menganalisa data dengan menggunakan metodologi tafsir mawdhu’i yang dirumuskan
oleh sekian Ulama sebagai berikut:
1. Menetapkan masalah yang dibahas.
2. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang
menyangkut masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan
turunnya.
4. Memahami kolerasi ayat-ayat dan surahnya.
5. Menyusun perbahasan dalam kerangka yang
sempurna.
6. Melengkapi perbahasan dengan hadits-hadits
yang releven dengan pokok-pokok perbahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara
keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai ayat-ayat yang
sama, atau mengkompromikan antara yang am (umum) dan yang khas
(khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbadanan atau
pemaksaan.[21]
BAB
II
DINAMIKA
KEHIDUPAN IBNU KATSIR
A.
Biografi Ibnu
Katsir
Ibnu Katsir adalah seorang
as-Syaikh, al-Imam, al-Alim, al-Hafizh, al-Mufid, tokoh kaliber. Ia adalah,
Imaduddin Abu Fida Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dhau’ bin Katsir bin Dzar’
Al-Bashrawi, Ad-Dimasyqi, As-Syafi’I (bermazhab Syafi’i)[22].
Ia lahir di dusun Mijdal, termasuk bagian kota Bushra pada tahun 701[23],
dan ayahnya adalah seorang pendakwah di kota tersebut. Ayahnya wafat pada saat
ia berusia 4 tahun.[24]
Dalam usia
kanak kanak, setelah ayahnya meninggal, Ibn Katsir diboyong kakaknya (Kamal
ad-Din Abd al-Wahhab) dari desa kelahiranya ke Damaskus. Di kota inilah ia
tinggal hingga akhir hayatnya. Karena kepindahan ini, ia mendapat predikat
ad-Dimasqi (orang Damaskus).
Predikat Al-Bushrawi sering
dicantumkan di belakang namanya karena ia lahir di Basrah. Demikian pula
predikat Ad-Dimasyqi sering menghiasi namanya. Hal ini berkaitan dengan
kedudukan kota Basrah yang menjadi bagian kawasan Damaskus, atau mungkin
disebabkan kepindahannya semenjak kanak-kanak ke sana. Pendapat lain mengatakan
bahwa predikat Al-Bushry berkaitan dengan pertumbuhan dan pendidikannya. Dan
predikat Asy-Syafi’I berkaitan dengan mazhabnya.[25]
Beliau pindah ke Damaskus pada tahun
706 H. ia menimba ilmu dari syaikh Burhanudin Al Fazari dan yang lainnya. Ia
juga mendengar dari Ibnu Suwaid, Al Qasim, Ibnu Asakir, dan banyak lagi. Ia
juga menjalin hubungan keluarga (menjadi menantu) dengan al hafizh Al Mazyi,
maka ia pun banyak meriwayatkan darinya, berfatwa, menelaah, dan berdiskusi
dengannya.
Dia belajar dari Ibnu Taimiyah dan
mencintainya sehingga ia mendapat cobaan karena kecintaannya kepada Ibnu
Taimiyah. Ibnu Qodi Syahbah mengatakan di dalam kitab Tabaqat-nya, Ibnu Katsir
mempunyai hubungan khusus dengan Ibnu Taimiyah dan membela pendapatnya serta
mengikuti banyak pendapatnya. Bahkan dia sering mengeluarkan fatwa berdasarkan
pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah talak yang menyebabkan dia mendapat ujian
dan disakiti karenanya.[26]
Ibnu Katsir adalah seorang ulama
yang berilmu tinggi dan mempunyai wawasan ilmiah yang cukup luas. Para ulama
semasanya menjadi saksi bagi keluasan dan kedalaman ilmu yang dimilikinya
sebagai seorang narasumber, terlebih lagi khususnya dalam tafsir, hadits, dan
sejarah (tarikh). Ibnu Hajar memberikan komentar tentang Ibnu Katsir, bahwa dia
menekuni hadis secara mutahala’ah
mengenai semua matan dan para perawinya.
Ibnu Hajar melanjutkan, bahwa Ibnu
Katsir adalah seorang yang banyak hafalannya lagi suka berseloroh. Semua karya
tulisannya di masa hidupnya telah tersebar di berbagai negeri dan menjadi ilmu
yang bermanfaat sesudah ia tiada. Metode yang ditempuhnya tidaklah seperti
layaknya metode yang dipakai oleh ulama hadis dalam meraih hadis-hadis
peringkat atas dan penyeleksian antara yang berperingkat atas dan peringkat
bawah serta hal-hal lainnya yang merupakan bagian disiplin ilmu hadis. Akan
tetapi, ia menempuh metode yang dipakai oleh ulama fiqih ahli hadis.[27]
Para ahli melekatkan beberapa gelar
keilmuan kepada Ibn Katsir, sebagain kesaksian atas kepiawaiannya dalam
beberapa bidang keilmuan yang ia geluti, yaitu :
1.
Al-Hafizh, orang yang mempunyai kapasitas hafal 100.000 Hadits, matan
maupun sanad, walaupun dari beberapa jalan mengetahui Hadits sahih,
serta tahu istilah ilmu ini.
Al-Hafizh yaitu orang yang
memiliki pengetahuan sempurna tentang keadaan gurunya dan guru-gurunya mereka
dalam setiap thabaqah-nya. Keadaan gurunya yang diketahui. Sebagian
ulama berpendapat bahwa Al-Hafizh ialah ialah orang yang hafal 100.000
hadits, matan berikut sanadnya dan sekalipun dengan jalan (sanad) yang
berbeda-beda, ia bisa menjaga (bisa hafal) dari masing-masing sanad tersebut
tentang rijalnya dengan jarh wa ta’dilnya.
Ini lah yang dimaksud dengan pengistilahan Al-Hafizh oleh
ulama-ulama terdahulu, yang penting segi kedalaman dan kecermatan . Al-Hafizh
jika bertambah pengetahuannya maka meningkat ke peringkat Al-Hujjah.[28]
2.
Al-Muhaddis, orang yang ahli mengenai Hadits riwayah dan dirayah,
imamnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya.
Al-Muhaddis ialah orang
yang memiliki tentang hadits, baik riwayah ataupun dirayah, hafal
sanad-sanadya, mengetahui keadaan rawi-rawi setiap sanad dengan
mengetahui tentang rijal dan hanya mengetahui riwayah, hafal teks
haditsnya berikut sanadnya tanpa memiliki pengetahuan riwayah dan
sanadnya maka menurut Musnid bukan Muhaddis.
Al-Allamah Al-Hazimi mensyaratkan bahwa Al-Muhaddis harus
mengetahui keadaan sanad-sanad, ilat-ilat (kecacatan) dan
nama-nama rijal. Mereka juga harus sering menghafal matan, mendengarkan
kitab-kitab hadits, kitab-kitab mushad, kitab-kitab mu’jam dengan mengetahui rawi-rawi
yang semasanya dan periwayatan mereka
untuk membedakan aqran-aqrannya (rawi secara teman) di dalam pendhabitan
dan pedalaman kritikannya. Jika pengetahuannya bertambah maka Al-Muhaddits
tersebut meningkat kepada peringkat Hafizh.[29]
3.
Al-Faqih, gelar keilmuan bagi ulama yang ahli dalam ilmu hukum Islam
(fiqh), namun tidak sampai pada tingkat mujtahid. Ia menginduk pada
suatu mazhab yang ada, tapi tidak taqlid.
Pengertian dari para ulama Imam Maliki bahwa Al-Faqih itu
ialah siapa yang menyibukkan waktu dalam mengulang kaji pelajaran, mengajar,
member fatwa, dan dia merupakan seorang mujtahid. Dan pengertian dari para
ulama Imam Hanafi pula Al-Faqih itu ialah sesiapa yang menghafal
cabang-cabang fiqah, mengetahui dalam hukum-hakam yang berkaitan dengan fiqah
dan selainnya. Pengertian dari para ulama Imam Hanbali pula, Al-Faqih
ialah mengetahui dengan hukum yang disyariatkan dalam perbuatan, seperti
perkara halal dan haram.[30]
4. Al-Muarrikh, seorang yang ahli dalam sejarah
atau sejarawan.
5. Al-Mufassir, seorang yang
ahli dalam bidang tafsir, yang menguasai perangkat-perangkatnya berupa ulum
Al-Quran dan memenuhi syarat-syarat mufassir.
Di antara lima predikat tersebut, al-hafizh
merupakan gelar yang paling sering disandangkan pada Ibn Katsir. Ini
terlihat pada penyebutan namanya pada karya-karyanya atau ketika menyebut
pemikiranya. Gelar-gelar tersebut dalam keadaan tertentu saling menunjang
misalnya, dalam tafsirnya Ibnu Katsir seakan mendemontrasikan keahlian-keahliannya
untuk menganalisis dan mengemukakan materi tafsir. Atau secara terpisah gelar
keahlian itu nampak pada karya-karya yang dihasilkan. Kelima gelar yang berhak
disandang Ibn Katsir merupakan suatu kelebihan.
Begitulah Ibnu Katsir keilmuan tidak diragukan lagi, kitab-kitabnya
terus dipelajari semua orang dari berbagai belahan dunia. Baik itu dalam bidang
tafsir, hadis maupun sejarah. Wafatnya beliau Al-Imam Ibnu Katsir ialah pada
hari khamis tanggal 26 bulan Sya’ban tahun 774 H, dan ketika itu beliau berumur
74 tahun. Mufsir kondang itu wafat di Damaskus, jenazahnya dimakamkan disamping
makam gurunya yaitu Ibnu Taimiyah di Shufiyah Damaskus. Al-Hafiz Ibnu Hajar
berkata, di akhir hidupnya, beliau kehilangan penglihatan.[31]`
B.
Karier Dan
Aktivitas Ibnu Katsir
Sejak kepindahan Ibn Katsir bersama
kakaknya ke Damaskus, 707 H, ia mulai meniti karir keilmuan. Peran yang tidak
sempat dimainkan oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh Kamal ad-Din Abd
al-Wahhab, sang kakak. Kegiatan keilmuan selanjutnya dijalani di bawah
bimbingan ulama ternama di masanya.
Hal yang sangat menguntungkan bagi
Ibn Katsir dalam pengembangan karir keilmuannya, adalah kenyataan bahwa
di masa-masa pemerintahan dinasti Mamluk pusat-pusat studi Islam seperti
madrasah-madrasah dan masjid berkembang pesat. Perhatian para penguasa pusat di
Mesir maupun penguasa daerah di Damaskus sangat besar terhadap studi Islam.
Banyak ulama ternama di masa ini, yang akhirnya menjadi tempat Ibn Katsir
menimba ilmu.
Guru utama Ibn Katsir adalah Burhan
ad-Din al-Fazari (660-729 H), seorang ulama, pemuka dan penganut mazhab Syafii
dan Kamal ad-Din ibn Qadhi Syuhbah. Kepada keduanya dia belajar Fiqh dengan
mengkaji b at-Tanbib karya asy-Syirazi, sebuah furu Syafiiyyah,
dan kitab Mukhtashar Ibn Hajib dalam bidang Ushul al-Fiqh. Berkat
keduanya, Ibn Katsir menjadi ahli Fiqh sehingga menjadi tempat berkonsultasi
para penguasa dalam persoalan-persoalan hukum.
Beliau memperdalam fikih kepada Syaikh
Burhanuddin Ibrahim bin Abdurrahman Al Fazari yang lebih dikenal dengan sebutan
Ibnu Farhah, wafat tahun 729. Ia mendengar ilmu di Damaskus dari Isa bin
Muth’im, dari Ahmad bin Abu Thalib yang mencapai usia lebih dari 100 tahun, ia
lebih tersohor dengan sebutan Ibnu Syahnah dan Hijar, wafat tahun 730. Juga,
dari Ibnu Qasim bin Asakir, Ibnu Syairazi, Ishaq bin Amidi, Muhammad bin
Zarrad.
Beliau dijadikan tempat konsultasi
oleh para penguasa, seperti dalam pengesahan keputusan yang berhubungan dengan
korupsi (761 H/1358 M), dalam mewujudkan rekonsiliasi dan perdamaian pasca
perang saudara yakni perang Pemberontakan Baydamur (763 H/361 M), serta dalam
penyeruan jihad (770-771 H/1368-1369 M)[32]
Ia menyertai syaikh Jamaluddin Yusuf
bin Zaki Al Mazyi, pemilik kitab “Tahdzib At-Tahdzib” dan “Athraf Al
Kutub As-Sittah” wafat tahun 742 H. Ia banyak mengambil manfaat (ilmu)
darinya, takhrij, dan menikahi anak perempuannya. Ia juga banyak membacakan
kitab kepada syaikh Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah wafat tahun 728 dan
konsisten mengikutinya, mencintainya, serta banyak mengambil manfaat dari
ilmunya.[33]
Dalam bidang Hadits, ia belajar
Hadits dari ulama Hijaz dan mendapat ijazah dari Alwani, serta meriwayatkannya
secara langsung dari huffadz terkemuka di masanya, seperti syeikh Najm ad-Din
ibn al-Asqalani dan Syihab ad-Din al-Hajjar (w.730) yang lebih terkenal dengan
sebutan Ibn al-Syahnah. Kepada al-Hafizh al-Mizzi (w.742 H), penulis kitab Tahdzib
al-Kamal, ia belajar bidang Rijal al- Hadits.
Salah seorang muridnya yang bernama
Ibnu Hija mengatakan bahwa dia adalah orang yang paling banyak menghafal
matan-matan hadis yang pernah dijumpainya, orang yang paling mengenal para
perawinya. Dia mengetahui hadis yang shahih dan hadis yang tidak shahih, semua
teman dan gurunya mengakui keahlian Ibnu Katsir dalam hal tersebut. Ibnu Hija
mengatakan bahwa semakin banyak ia pergi kepadanya , semakin banyak pula faedah
yang ia petik.[34]
Al Hafizh Ibnu Hajar berkomentar di
dalam “Ad-Durar Al-Kamimah”: ia senantiasa berusaha keras dan sibuk
dalam mempelajari hadits, mengenai matan, perawi, dan banyak merangkum. Ia
sangat baik dalam canda dan bersosial, buku karangannya ia terapkan dalam
kehidupannya sehari-hari, dan banyak orang merasakan manfaat sepeninggalanya,
tidak ada seorang pun yang mengklaimnya kurang baik dalam ilmu hadits, ia
cenderung disebut sebagai muhaddits yang ahli dalam fikih.
As-Suyuti mengomentari hal itu
dengan mengatakan, “ia adalah seorang
yang patut dijadikan panutan dalam pengetahuan mengenai kedudukan hadits, yang
shahih, lemah, cacat, perbedaan-perbedaan jalur dan para perawinya, serta jarh
wa ta’dil.[35]
Beliau juga pernah berguru pada Adz-Dzahabi
(Muhammad bin Muhammad 1284-1348M.) yang menjadikannya dipercaya sebagai
penggantinnya (1348 M.), di Turba Umm Shalih (Lembaga Pendidikan). Pada 756
H./1355 M. ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadits al Asyrafiyah (Lembaga
Pendidikan Hadits), setelah hakim taqiy ad-Din ash-Subhi (683-756 H.) meninggal
dunia. Berkaitan dengan studi Hadits, pada bulan Sya’ban 766 H, ditunjuk
mengorganisir pengkajian shahib al-bukhari.
Ibnu Katsir pernah menjabat sebagai
pemimpin majelis pengajian Ummu Saleh sepeninggal Adz-Dzahabi, dan sesudah
kematian As-Subuki ia pun memimpin majelis pengajian hadits Al-Asyrafiyyah
dalam waktu yang tidak lama, kemudian diambil alih orang lain.[36]
Dalam bidang sejarah, peranan
al-Hafizh al-Birzali (w.739 H), sejarawan dari kota syam, cukup besar. Dalam
mengupas peristiwa-peristiwa, Ibn Katsir mendasarkan pada kitab tarikh karya
gurunya tersebut. Berkat al-Birzali dan Tarikhnya, Ibn Katsir menjadi
sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan
sejarah Islam.
Sejarawan tersohor, Abu Al-Mahasin
Jamaludin Yusuf bin Saifudin yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Taghari
Burdi Al-Hanafi di dalam kitabnya “Al Minhal Ash-Shafi” dan “Al
Mustaufi Ba’dal Wafi”: syaikh imam Al-Allamah Imaduddin Abu Al-Fida
senantiasa menyibukkan diri dalam ilmu, konsisten, menyimpulkan dan berkarya,
ia mahir dalam fikih, tafsir, dan hadits, ia menghimpun, menulis, meneliti,
membuat disiplin ilmu yang baru, dan mengarang.
Ia sangat banyak meneliti hadits,
tafsir, fikih, bahasa Arab, dan lainny. Juga berfatwa dan senantiasa
mempelajari hal baru hingga wafat. Ia sangat terkenal dengan akuransi dan
kejeliannya, ia adalah pemuka dalam berbagai bidang ilmu, sejarah, tafsir, dan
hadits. Ia pernah berucap dalam bait syairnya:
“Hari-hari
berlalu, kita digiring menuju ajal yang telah ditentukan dengan mata yang
senantiasa mengawasi. Masa muda yang telah berlalu takkan pernah kembali, uban
yang terus tumbuh tak dapat dihindari.”[37]
Pada usia 11 tahun menyelesaikan
hafalan Al-Quran, dilanjutkan memperdalam ilmu qira’at, dari studi tafsir dan
ilmu tafsir, dari syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah (661-728 H), di samping ulama
lain. Metode penafsiran Ibn Taimiyyah menjadi bahan acuan pada penulisan Tafsir
Ibn Katsir.
Pada bulan Syawal 767 H, Ibn Katsir
dianugerahi jabatan imam dan guru besar tafsir di masjid negara (masjid Umayyah
Damaskus), oleh Gubernur Mankali Bugha.) Gelar al-mufassir yang
disandangkan kepada Ibnu Katsir tidaklah berlebihan, sebagaimana yang
disampaikan oleh al-Dawadi al-Mishri (w 945 H). Ibnu Katsir merupakan ikutan
para ulama dan hafizh, dan menjadi sandaran para ahli makna dan ahli
lafazh.
Selain di dunia keilmuan, Ibnu
Katsir juga terlibat dalam urusan kenegaraan. Tercatat aktivitasnya pada bidang
ini seperti, pada akhir tahun 741 H. ia ikut penyelidikan yang akhirnya
menjatuhkan hukuman mati atas seorang sufi zindiq yang menyatakan Tuhan
terdapat pada dirinya. Tahun 752 H, ia berhasil meninggalkan pemberontakan Amir
Baibughah Urus, masa khalifah al-Mutadid bersama ulama lainya, pada tahun 759
H, ia pernah diminta untuk mengesahkan beberapa peristiwa kenegaraan lainya.
Itulah kebesaran Ibnu Katsir, yang seumur hidupnya dipenuhi dengan
pengabdian tulus pada ilmu. Sehingga para ulama dan umarah mengakui akan
kedalaman dan keluasan ilmunya.
C.
Karakteristik
Pemikiran Ibnu Katsir
Sebagaimana umumnya kitab klasik
atau kitab kuning, Tafsir Ibnu Katsir termasuk kitab yang kaya materi. Di
dalamnya memuat bukan hanya materi tafsir Al-Quran, namun dapat dikatakan
berisi beberapa cabang ilmu keislaman lainnya, seperti Hadits, Fiqih, Sejarah
(kisah), Ilmu Qira’at dan lain-lain. Karena tafsir ma’tsur, maka hadits yang
disampaikan dilengkapi dengan ilmu selok-belok atau peringkat-peringkat keilmuan
yang berkaitan dengan hadits. Misalnya ilmu jarh wa ta’dil, kritik hadits,
rijal al-hadits dan lain-lain. Keberadaan ini tidak lepas dengan kedudukan Ibnu
Katsir sebagai ahli hadits (Al-Muhaddits).
Bagi
pembahasan Fiqih, Ibnu Katsir seringkali menguraikan secara panjang lebar. Di
sini, kendati beliau berpegang pada satu mazhab yaitu mazhab Syafi’I,
pendapat-pendapat dari mazhab lain seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab
Hambali dan pendapat-pendapat dari imam yang sudah tidak berkembang disampaikan
di antara pendapat mazhabnya. Hal ini menunjukkan keterbukan pembacanya untuk
melihat terhadap mazhab lain selain mazhab yang dipegangi agar tidak fanatik.
Bagi
pembahasan dalam tafsirnya yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat Al-Quran sesuai
susunannya dalam musyhaf Al-Quran. Ayat demi ayat dan surah demi surah dimulai
dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.[38]
Maka secara sistematika tafsir ini menempu tartib musyhafi. Ibnu Katsir menggunakan
metode penafsiran yang paling sahih yaitu penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran.
Ayat yang dimujmalkan pada suatu tempat akan dibeberkan di tempat lain.
Apabila metode itu tidak dapat dilakukan, maka
ditafsirkan dengan As-Sunnah, karena As-Sunnah merupakan penjelasan bagi
Al-Quran. As-Syafi’i r.a. berkata: “semua perkara yang ditetapkan oleh
Rasulullah SAW merupakan bagian dari apa yang dipahaminya dari Al-Quran”.[39]
Metodologi
tafsir yang digunakan Ibnu Katsir tersebut ternyata ditempuh pula oleh beberapa
penulis tafsir terkenal abad dua puluhan seperti Rasyid Ridha, Ahmad Musthapa
Al-Maragy, dan Jamal Ad-Din Al-Qasimy. Cara penyajian tafsir seperti ini,
menurut Quraish Shihab, adalah pengabungan antara metode tahlily dan maudhu’iy
(tematik).[40]
Di antara keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ialah dia memperingatkan
akan adanya kisah-kisah israiliyat yang mungkar di dalam kitab tafsir ma’sur.
Ia pun memperingatkan pembacanya agar bersikap waspada terhadap kisah seperti
itu secara global, adakalanya pula menunjuknya dengan jelas dan menerangkan
sebagian dari hal-hal mungkar yang terkandung di dalamnya.
Secara garis
besar dapat dikatakan bahwa pengetahuan Ibnu Katsir akan tampak jelas dan
gamblang bagi orang yang membaca kitab tafsir dan kitab tariknya. Kedua
kitabnya itu merupakan karya tulis yang paling baik dan suatu karya terbaik
yang disuguhkan buat semua orang. [41]
D.
Karya-Karya
Ibnu Katsir
Ibnu Katsir adalah seorang ulama
besar yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Beliau ahli disegala bidang. Ini
dapat dibuktikan dari banyaknya karangan beliau yang mencakup berbagai jenis
disiplin ilmu agama, berikut ini akan kami uraikan beberapa karangan beliau
dalam beberapa bidang yaitu:
1.
Dalam bidang
tafsir
Dalam bidang ini kitab karangan beliau adalah Tafsir Al-Quranul
Adzim atau biasa disebut Tafsir Ibnu Katsir.
Ia termasuk salah satu kitab tafsir yang banyak memberikan manfaat
mengenai riwayat, menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, kemudian dengan
hadits-hadits yang masyhur yang terdapat dalam diwan para muhadditsin
dengan berbagai sanadnya, ia banyak
mengomentari sanad-sanad itu dari sisi jarh wa ta’dil. Ia biasa
menjelaskan kejanggalan dan keanehan yang terdapat dalam sanad-sanad tersebut,
kemudian menyebutkan atsar para sahabat dan tabi’in. As-Suyuthi berkomentar
dalam hal ini, “Tidak pernah dikarang kitab yang sepertinya”.[42]
Mengenai tafsirnya Ibnu Katsir tidak menyebutkan judul/nama bagi
buku karangannya, padahal untuk karya-karya lainnya beliau menamainya. Meski
demikian, para penulis sejarah tafsir Al-Quran seperti Muhammad Husain Adzahabi
dan Muhammad Ali Al-Shabuni, menyebut tafsir karya Ibnu Katsir ini dengan
Tafsir Al-Quran Al-Adzim, namun ada juga yang menyebut Tafsir Ibnu Katsir.
Perbadaan nama/judul tersebut hanyalah pada namanya, sedangkan isinya sama.[43]
Dalam karya ilmiah ini penulis memilih pemakaian Tafsir Ibnu Katsir . selain
lebih populer, hal ini juga untuk lebih mudah untuk membedakan dengan karya
lainnya, karena langsung menunjuk kepada nama pengarangnya.
Kitab ini pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1342 H/ 1923
M, yang terdiri dari empat jilid. Dan kemudian diringkas dan diteliti ulang
oleh Muhammad Ali Al-Sobuni, guru besar tafsir pada Fakultas Hukum dan Studi
Islam Universitas King Abdul Aziz, Mekah. Ringkasan tafsir ini berjudul Mukhtasr
Tafsir Ibnu Katsir (tiga jilid). Kitab ringkasan ini telah diterjemahkan
kedalam Bahasa Indonesia oleh H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahraesy dalam
judul Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir yang terdiri dari delapan
jilid.
Mengenai pola peringkasan kitab, umumnya dilakukan pada masalah
teknis, yaitu memangkas semua sanad hadits yang dirujuk, kecuali periwayat
pertamanya, yang terdapat dalam kitab-kitab koleksi hadits standar, dan
membuang atau menyederhanakan redaksi yang dianggap tidak signifikan. Adapun
isi atau subtansi kitab mukhtasar ini, pada dasarnya sama dengan kitab aslinya.[44]
Untuk kitab tafsir ini, penulis juga menggunakan kitab Tafsir Ibnu
Katsir ini sebagai rujukan utama di dalam penulisan skripsi ini selain daripada
buku-buku yang lain sebagai sumber tambahan.
2.
Dalam bidang
hadits
Adapun dalam hadits kitab-kitab karyanya yaitu:
a.
Kitab Jami’
Al-Masanid Wa Al-Sunan ( kitab
koleksi musnad dan sunan).
Nama
lain bagi kitab ini ialah Al Huda wa Sunan fi Ahadits Al Masanid wa Sunan, dan
yang lebih dikenal dengan Jami’ Al-Masanid, ia menggabung antara Musnad
Ahmad, Al Bazzar, Abu Ya’la, Ibnu Abi Syaibah, dan kutub sittah, dua kitab
shahih dan empat sunan, dan ia menyusunnya berdasarkan bab-bab pembahasan.[45]
Kitab
ini terdiri dari delapan jilid yang terdiri dari nama-nama sahabat periwayat
hadits yang terdapat dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal, Kutub As-Sittah dan
sumber-sumber lainnya. Kitab ini disusun alpabetis.
b.
Al-Kutub
Al-Sittah. Yaitu enam kitab koleksi hadits.
c.
At-Takmilah Fi
Ma’rifat Al-Sigat Wa Ad-Duafa Wa Al-Mujahal (pelengkap
untuk mengetahui para periwayat yang terpercaya, lemah, dan kurang dikenal).
Kitab ini terdiri dari lima jilid.
Yang
mana ia menghimpun dua kitab gurunya Syaikh Al Mazyi dan Adz-Dzahabi, yakni
kitab Tahdzibul Kamal fi Asma’I Ar-Rijal dan Mizan Al I’tidal fi Naqd
Ar-Rijal dengan memberikan berbagai tambahan yang sangat baik dan berguna
dalam hal jarh wa ta’dil.[46]
d.
Al-Mukhtasar (ringkasan) dari Muqddimah Li Ulum Al-Hadits karya Ibnu
Salah (w. 642 H/ 1246 M).
e.
Abdillah
At-Tanbih Li Ulum Al-Hadits, yaitu buku
ilmu hadis yang lebih dikenal dengan nama Al-Ba’is Al-Hasis.
Ada
informasi yang mengatakan bahwa beliau mensyarahi hadits-hadits dalam Shahih
Al-Bukhori, tetapi tidak selesai. Konon kabarnya kemudian dilanjutkan oleh Ibnu
Hajar Al-Asqolani (w. 852 H/ 1449 M) dengan Fah Al-Bari-nya.
3.
Dalam bidang
fiqih
Adapun kitab-kitab karangan beliau dalam bidang fiqih yaitu:
a.
Al-Tabaqat
As-Syafi’iyah.
Buku ini
membahas tentang pengelompokan ulama’ Madzhab Syafi’i.
b.
Manaqib Al-Imam
As-Syafi’i.
Buku ini
membahas biografi Imam Syafi’i.
4.
Dalam bidang
sejarah
Adapun buku karangan beliau dalam bidang sejarah antara lain yaitu:
a.
Al-Bidayah Wa
An-Nihayah (pertama dan terakhir)
Buku
ini banyak menyebutkan tentang kisah para nabi dan umat-umat terdahulu yang
tertera dalam Al-Quran dan hadits-hadits yang shahih. Ia menjelaskan berbagai
penyimpangan, kejanggalan dan kisah-kisah israiliyat, kemudian meneliti sejarah
hidup nabi (sirah nabawiyah) dan sejarah umat islam hingga zamannya.
Kemudian
menjelaskan pula tentang bencana dan malapetaka (fitan), tanda-tanda kiamat,
malahim, dan kondisi akhirat. Ibnu Taghari Burdi berkata, “Ia sangat baik dalam
memaparkan semua itu , Al Badri Al Aini pun mengikuti jejaknya dalam sejarah”.[47]
Buku
ini dimulai pembahasanya dengan sejarah penciptaan alam raya kemudian
penciptaan manusia, sejarah para nabi-nabi, sejarah Nabi Muhammad, kemudian
Khulafaurosidin dan dinasti-dinasti sesudahnya sampai pada abad ke 14 dimana
Ibnu Katsir hidup.
Kitab
ini merupakan kitab sejarah yang penting. Dalam buku ini sejarah dibagi menjadi
dua bagian besar:
Pertama,
sejarah kuno mulai dari penciptaan alam sampai masa kenabian Muhammad S.A.W.
Kedua, Sejarah
Islam mulai dari periode Nabi Muhammad S.A.W. Di Mekah sampai pertengahan pada
abad ke-8 H. Kitab ini sering dijadikan rujukan utamanya dalam penelitian
sejarah.
b.
Qasa Al-Anbiya’
Buku ini
menceritakan tentang kisah-kisah para nabi.
BAB
III
GAMBARAN
UMUM TENTANG ETIKA MENUNTUT ILMU
A.
Dasar dan Pengertian
Etika Menuntut Ilmu
Ilmu
adalah ibadah. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Bahkan, ilmu adalah ibadah
yang paling agung, paling utama, bahkan di dalam Al-Quran, Allah telah menjadikan
menuntut ilmu sebagai salah satu bentuk berjihad di jalan Allah, jihad dengan
mengangkat senjata. Allah berfirman:
Artinya:
“Dan
tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah/ 9:
122).[48]
Dhamir dari kata “liyatafaqqahu” kembali kepada kelompok yang
tidak ikut berperang, agar mereka mendalami permasalahan agama, sehingga mereka
bisa memberikan peringatan kepada kaumnya saat kembali kepada mereka, sehingga
kaumnya merasa takut dan menjaga dirinya dari kemurkaan Allah.[49]
Dan Rasulullah SAW memberikan gambaran tentang keutamaan ilmu di dalam
hadisnya:
عن ابن عمر قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : بينما أنا
نائم أتيت بقدح لبن فشربت حتى إني لأري (يجري) يخرج في أظفاري, ثم أعطيت فضلي عمر
بن الخطاب. قالوا : فما أولته يا رسول الله؟ قال : العلم.
Artinya:
Ibnu
Umar berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ketika saya tidur
didatangkan kepada saya segelas susu, lalu saya minum, sehingga saya melihat
cairan (mengalir), keluar pada kuku-kuku saya, kemudian kelebihannya saya
berikan kepada Umar ibnul-Khathab. Mereka (para sahabat) berkata, engkau
takwilkan apakah, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ilmu.”[50]
Perlu diketahui bahwa, kewajiban
menuntut ilmu bagi muslim laki-laki dan perempuan ini tidak untuk sembarang
ilmu, tapi terbatas pada ilmu agama, dan ilmu yang menerangkan cara bertingkah
laku atau bermuamalah dengan sesama manusia. Sehingga ada yang berkata, “Ilmu
yang paling utama ialah ilmu Hal. Dan perbuatan yang paling mulia adalah
menjaga perilaku”. Yang dimaksud ilmu Hal ialah ilmu agama Islam, solat
misalnya.
Setiap orang Islam diwajibkan
menuntut ilmu yang berkaitan dengan apa yang diperlukannya saat itu, kapan
saja. Oleh karena setiap orang Islam mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat
sahnya solat, supaya dapat melaksanakan kewajipan solat dengan sempurna. Tidak
ada seorang pun yang meragukan akan pentingnya ilmu pengetahuan, karena itu
khusus dimiliki umat manusia. Adapun selain ilmu, itu bisa dimiliki manusia dan
bisa juga dimiliki binatang. Dengan ilmu pengetahuan, Allah Ta’ala mengangkat
derajat Nabi Adam AS di atas para malaikat. Oleh karena itu, malaikat
diperintah oleh Allah agar sujud kepada Nabi Adam.
Ilmu itu sangat penting karena ia
sebagai perantara (sarana) untuk bertakwa. Dengan takwa inilah manusia menerima
kedudukan terhormat di sisi Allah, dan keuntungan abadi. Sebagaimana dikatakan
Muhammad bin Al-Hasan bin Abdullah dalam syairnya:
“Berlajarlah!
Sebab ilmu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikan hari-harimu untuk menambah
ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu paling berguna.” Belajarlah ilmu agama,
karena ia adalah ilmu yang paling unggul. Ilmu yang dapat membimbing menuju
kebaikan dan taqwa,ilmu paling lurus untuk dipelajari. Dialah ilmu yang
menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Ia laksana benteng
yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan. Oleh karena itu orang
yang ahli ilmu agama dan bersifat wara’ lebih berat bagi setan daripada
menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh.[51]
Jadi, para ulama sudah sepakat bahwa
sibuk menuntut ilmu itu adalah lebih baik berbanding sibuk beribadah
(mengerjakan ibadah sunat dan berwirid). Ini karena manfaat ilmu itu sentiasa
mengalir meresapi semua orang termasuk diri guru itu sendiri. Sedangkan
mengerjakan ibadah sunat, manfaatnya terhad kepada orang yang mengerjakannya
sahaja. Kesan dan manfaat ilmu juga tetap boleh dirasai meskipun orang alim itu
telah meninggal dunia. Sementara kesan ibadah boleh terputus jika yang
mengerjakannya itu sudah meninggal.[52]
Setiap orang Islam juga wajib
mengetahui atau mempelajari akhlak yang terpuji dan yang tercela, seperti watak
murah hati, kikir, penakut, lancing, sombong, rendah hati, menjaga diri dari
keburukan, israf (berlebihan), bakhil (terlalu hemat) dan sebagainya. Karena
sifat sombong, kikir, penakut, israf hukumnya haram. Dan tidak mungkin bisa
terhindar dari sifat-sifat itu tanpa mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut
serta mengetahui cara menghilangkannya. Oleh karena itu orang Islam wajib
mengetahuinya.
Asy-Syahid Nasyiruddin telah
menyusun kitab yang membahas tentang akhlak. Kitab tersebut sangat bermutu, dan
perlu dibaca. Karena setiap orang Islam wajib memelihara akhlaknya. Adapun
mempelajari amalan agama yang dikerjakan pada saat-saat tertentu seperti solat
jenazah dan lain-lain, itu hukumnya fardhu kifayah. Jika di suatu daerah sudah
ada orang yang mempelajari ilmu tersebut, maka yang lain bebas dari kewajiban.
Tapi bila di satu daerah tak ada
seorang pun yang mempelajarinya, maka semua penduduk daerah itu berdosa. Oleh
karena itu pemerintah wajib menyuruh rakyatnya supaya belajar ilmu yang
hukumnya fardhu kifayah tersebut. Pemerintah berhak memaksa mereka untuk
melaksanakannya. Dikatakan bahwa mengetahui atau mempelajari amalan ibadah yang
hukumnya fardhu ‘ain itu ibarat makanan yang dibutuhkan setiap orang .
Sedangkan mempelajari amalan yang
hukumnya fardhu kifayah, itu ibarat obat, yang mana tidak dibutuhkan oleh
setiap orang, dan penggunaannya pun pada waktu-waktu tertentu. Sedangkan
mempelajari ilmu nujum[53]
itu hukumnya haram, karena ia diibaratkan penyakit yang sangat membahayakan.
Dan mempelajari nujum itu hanyalah sia-sia belaka, karena ia tidak bisa
menyelamatkan seseorang dari takdir tuhan.
Oleh karena itu, setiap orang Islam
seyogianya mengisi seluruh waktunya dengan berzikir kepada Allah, berdoa,
memohon seraya merendahkan diri kepadaNya, membaca Al-Quran, dan bersedekah
supaya terhindar dari mara bahaya. Oleh karena itu, setiap orang Islam
hendaknya tidak melupakan hal-hal yang bermanfaat, dan yang membahayakan
dirinya di dunia dan akhirat. Maka itu dia harus belajar ilmu yang bermanfaat,
dan menjauhi ilmu yang tidak berguna, agar akal dan ilmunya tidak membahayakan
dirinya.[54]
Jadi secara umumnya, perlu kita
sedari bahawa ilmu yang dimaksudkan bukanlah terhad kepada ilmu yang berkaitan
akhirat atau biasa disebut sebagai ilmu agama. Secara sedar atau tidak, semua
ilmu yang terdapat hari ini sama ada merangkumi ilmu dunia atau akhirat,
kedua-duanya adalah sunnah kepada manusia untuk mempelajari dan menguasainya.
Seorang yang menuntut ilmu adalah
wajib beretika dengan akhlak-akhlak yang baik yang dituntut oleh syarak,
menghias diri dengan perkara-perkara kepujian dan sunnah-sunnah dalam segala
keadaannya. Zuhud daripada kepentingan dunia, tiada terpegun dengan harta benda
dunia dan ahlinya, pemurah sepanjang masa, tiada bermata pencarian yang lekeh,
menetapi warak dan khusuk, tenang dan sopan serta tetap pendirian, rendah diri
dan tunduk, berpenampilan yang kemas lagi bersih dengan membersihkan semua
objek yang dianjurkan oleh syarak.[55]
Terdapat pelbagai persoalan-persoalan
yang sering ditemui dalam menuntut ilmu, untuk mengatasi persoalan-persoalan
yang sering ditemui dalam menuntut ilmu, sama ada persoalan yang ada hubungan
dengan mereka sendiri ataupun yang berhubungan dengan persekitaran di mana mereka
sedang menuntut atau mengajarkan ilmu mereka. Antara persoalan-persoalan yang
selalunya dihadapi dalam menuntut ilmu
ialah seperti berikut:
Pertama: Ramai penuntut ilmu yang
tidak mengambil berat dengan Al-Quran, tetapi pada masa yang sama mereka sangat
bersemangat untuk mempelajari buku-buku yang selainnya. Bermacam-macam kitab
mereka ketahui, bahkan ada sesetengahnya telah mereka hafal. Bagaimanapun, bila
dihadapankan dengan Al-Quran, mereka amat bodoh dan kalaupun ada ayat Al-Quran
yang mereka hafal, maka jumlahnya amatlah sedikit.
Kedua: Ramai di kalangan penuntut
ilmu yang rendah minat membacanya, bahkan ramai juga yang tidak suka membaca
langsung. Keadaan ini berlaku di negara-negara membangun. Hal ini lazimnya
berlaku kerana beberapa sebab, antara lain karena tahap kejahilan masih tinggi
dikalangan mereka. Bahkan tidak terkecuali kalangan yang mempunyai tahap sosial
dan ekonomisnya studah stabil. Mereka menganggap kegiatan membaca sebagai
kegiatan yang tidak perlu dan sangat membosankan.
Ketiga: Di kalangan para penuntut
ilmu juga ramai yang tidak tahu dan tidak mengambil kira soal keutamaan. Mereka
tidak dapat membedakan buku mana yang sepatutnya mereka baca lebih dahulu
sebelum membaca buku yang lain padahal sebenarnya ada buku lain yang lebih penting
dari itu. Ramai orang yang lebih kurang empat jam setiap harinya sibuk dengan
membaca koran, majalah, atau bacaan-bacaan lain seumpamanya. Memang semua
bacaan itu perlu, akan tetapi tidak harus sampai menghabiskan perhatian dan
waktu yang begitu panjang, sehingga tidak ada lagi waktu untuk membaca Al-Quran
dan lain-lain.
Keempat: Kebiasaan membuang dan
menyia-nyiakan waktu. Sesungguhnya umat manusia saat ini secara keseluruhan telah
menyia-nyiakan waktu. Kita tidak mendapati mereka kecuali hanya segelintir
sahaja yang menjaga waktunya.
Kelima: Ramai di antara penuntut ilmu
itu yang suka melakukan perdebatan sengit pada masalah-masalah tertentu, yang
tidak membawa hasil sedikit pun, bahkan hanya medatangkan pertengkaran dan
permusuhan.
Keenam: Terkadang bagi penuntut ilmu
itu berlebihan dalam mengkaji satu masalah sehingga waktu dan fikiran hanya
tertumpu untuk itu dan banyak hak yang dilalaikan karena itu. Padahal,
masalah-masalah yang dihadapi bukan hanya itu sahaja.
Ketujuh: Para penuntut ilmu banyak
diserang oleh penyakit-penyakit hati, di antaranya yang terbesar adalah
penyakit sombong, dengki, riya’.[56]
Orang yang sombong akan dicabut dan
dijauhkan hidayah dari dirinya oleh Allah SWT sehingga ia hidup tidak
berpanduan, meskipun ia seorang yang pintar. Allah SWT berfirman:
ß
Artinya:
“Aku
akan memalingkan (hati) orang-orang Yang sombong takbur di muka bumi Dengan
tiada alasan Yang benar dari (memahami) ayat-ayatKu (yang menunjukkan
kekuasaanKu); dan mereka (yang bersifat demikian) jika mereka melihat sebarang
keterangan (bukti), mereka tidak beriman kepadaNya, dan jika mereka melihat
jalan Yang (membawa kepada) hidayah petunjuk, mereka tidak mengambilnya sebagai
jalan Yang dilalui. dan sebaliknya jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka
terus mengambilnya sebagai jalan Yang dilalui. Yang demikian itu, kerana mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka sentiasa lalai daripadanya.” (QS.
Al-A’raf/ 7: 146).[57]
Seorang
penyair menyebutkan di dalam matannya yaitu:
“Hiasilah
dirimu dengan adab-adab hati, seperti kehormatan, kebijaksanaan, kesabaran,
rendah hatiterhadap kebenaran, bersikap tenang, berwibawa dan sanggup menahan
semua derita saat belajar untuk kemuliaan ilmu serta tunduk pada kebenaran.”[58]
Ucapan Syaikh Bakr, “Hiasilah dirimu
dengan adab-adab hati, seperti kehormatan, kebijaksanaan, kesabaran, rendah
hati terhadap kebenaran”, karena memang keadaan mengharuskan demikian.
Hendaklah ketika menuntut ilmu menumbuhkan sikap iffah (menahan diri)
terhadap apa yang ada di tangan manusia dan iffah dari memandang hal
yang diharamkan.
Sementara kebijaksanaan berarti
tidak bersegera menjatuhkan hukuman terhadap sesorang yang berbuat buruk
kepadanya, sabar terhadap gangguan yang dia dengar dari manusia scara umum,
maupun dari rakan-rakannya seperjuangannya sendiri, atau mungkin dari gurunya
sendiri. Bersabarlah. Kemudian bersikap rendah hati terhadap kebenaran dan juga
terhadap makhluk.
Rendah hati terhadap kebenaran,
berarti kapan pun kebenaran sudah tampak jelas baginya, maka ia akan tunduk dan
tidak mencari sesuatu yang lain sebagai gantinya. Demikian pula rendah hati
terhadap makhluk, berapa banyak siswa yang justeru membuka jalan pengetahuan
bagi gurunya, padahal sebelumnya sang guru tidak menyadarinya, karena itu,
janganlah memandang remeh sesuatu apa pun.
Perkataan berikutnya, “bersikap
tenang, berwibawa dan rendah hati”. Seorang penuntut ilmu wajib menjauhkan diri
dari hal-hal yang menghancurkan harga dirinya, baik dalam cara berjalan, atau
dalam interaksinya dengan manusia. Selain itu, juga tidak banyak tertawa keras
yang mematikan hati dan menghilangkan wibawa, akan tetapi ia tetap bersikap
tenang, tawadhu dan beretika yang sesuai dengan etika pencari ilmu.
Perkataan berikutnya, “sanggup
menahan derita saat belajar demi kemuliaan ilmu” ini sangat baik, maksudnya,
jika seorang penuntut ilmu itu menderita untuk belajar, artinya ia mencari kemuliaan
dengan ilmu. Semua penderitaan saat belajar sesungguhnya akan membuahkan hasil
yang baik.
Melihat kepada fungsi ilmu yang
merupakan ibadah hati, rahsia kehidupannya, dan sumber tenaganya, maka sudah
tentu bagi orang yang menuntutnya perlu mengetahui adab tatacaranya serta
bersungguh-sungguh untuk merealisasikan tuntutannya dengan penuh hikmah. Tetapi
sekiranya lalai dalam menghayati adab-adabnya maka kita akan berhadapan dengan
kegagalan dalam menggapai maksud. Ini karena siapa yang salah mengambil jalan
maka tidak akan mendapat perkara yang dimaksudkan.[59]
Karena itulah seorang yang ingin
menuntut ilmu terlebih dahulu hendaklah berniat mencari keredhaan Allah SWT,
kejayaan hari akhirat, mnghilangkan kejahilan dripada dirinya, menghidupkan
agama dan untuk mengenali tuntutan-tuntutan syariat-Nya. Firman Allah SWT:
Artinya:
“Pada
hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah Dengan
mengikhlaskan Ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya
mereka mendirikan sembahyang serta memberi zakat. dan Yang demikian itulah
ugama Yang benar” (QS. Al-Bayyinah/ 98: 5).[60]
Maksud ikhlas adalah mengkehendaki
dengan kerja taatnya akan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT,
bukan untuk unsur-unsur yang lainnya seperti, berlakon bagi menarik perhatian
orang lain, untuk mendapatkan pujian, kasih sayang dan sanjungan dan lain-lain
seumpamanya. Dengan kata lain, ikhlas itu hendaklah segala gerak-geri seseorang
dan duduk diamnya sama ada zahirnya mahupun batinnya semata-mata untuk Allah,
tiada dicampuri kepentingan hawa nafsu dan dunia.
Kedudukan ikhlas amat tinggi nilainya
di alam wujud ini. Ikhlas merupakan rahasia antara hamba dengan Khaliqnya.
Tanda ikhlas adalah wujudkan persamaan bagi diri seseorang antara pujian dan
celaan, tiada melihat kekuatan dirinya dalam segala amalannya menuntut pahala
akhirat. Dengan sifat ikhlas ini juga seorang penuntut ilmu akan memiliki
kesabaran dan ketabahan ketika menuntut ilmu. Karena menuntut ilmu bukanlah
perkara yang mudah, karena ia memerlukan proses yang cukup panjang serta banyak
rintangan.
Salah seorang ahli hikmah bercerita:
Suatu ketika aku duduk di bawah satu pohon, lalu aku melihat sesekor semut
sedang berusaha naik ke pohon tersebut tetapi ternyata jatuh ke bawah. Begitu
jatuh, ia langsung mengulangi lagi usahanya itu, tetapi setiap ia ulangi,
setiap itu pula ia gagal mencapai keinginannya. Namun karena kesabaran dan
kecekalannya, akhirnya pada kali yang ketujuh puluh dari usahanya itu ia
berhasil sampai di atas pohon.[61]
Dari cerita tersebut dapat kita
pelajari bahwa jika kita mempunyai sifat kesabaran dan kecekalan yang tinggi,
dengan sifat tersebut akhirnya kejayaan akan tercapai juga. Karena dalam
pahitnya perjuangan pasti ada kemanisan.
Bagi penuntut ilmu juga mereka
hendaklah bersikap rendah diri dan beradab terhadap orang yang pernah
mengajarnya sekalipun ia lebih muda, kurang terkenal, kurang baik dan
lain-lain. Bersikap rendah diri terhadap ilmu adalah sangat penting agar ilmu
itu dapat diperoleh. Kita banyak disuruh oleh syarak dalam beberapa keadaan
untuk bersikap rendah diri lebih-lebih lagi dalam hal menuntut ilmu.
Selain daripada bersikap rendah diri
dan beradab terhadap orang yang pernah mengajarnya, penuntut ilmu juga perlu
memuliakan gurunya. Oleh sebab itu, penuntut ilmu hendaklah memandang kepada
gurunya dengan pandangan penghormatan, menyakini kebolehannya, menjaga
hak-haknya dan bersungguh-sungguh menghormatinya. Hal ini kerana semua perkara
akan lebih mendekatkan dirinya, dan memudahkannya mengambil manfaat, serta
memantapkan lagi ilmu yang didengarnya dari gurunya.
Seorang penuntut ilmu itu perlulah
bersikap tidak berasa puas dalam menuntut ilmu, itu adalah karena ia sangat
penting di samping mesti tekun mengkajinya siang dan malam sama ada di rumah
ataupun ketika dalam perjalanan. Jangan sampai masanya hilang begitu saja di
luar kepentingan ilmu kecuali sekadar memenuhi keperluan harian. Tidak
cemerlang akal seseorang yang berkemampuan untuk menjadi pewaris nabi dengan
membiarkan dirinya terlepas peluang daripadanya.
Penuntut ilmu tidak patut berasa
puas dengan ilmu yang sedikit sedangkan dia mampu untuk mendapatkannya dengan
lebih banyak lagi. Jangan mensia-siakan waktu sebaliknya gunakan dengan
sebaik-baiknya keseluruhan masa malam, dan waktu sunyinya, karena masa singkat
sedangkan ilmu banyak.
Memilih guru juga merupakan suatu
perkara penting dalam menuntut ilmu. Pilih guru yang paling alim, paling warak
dan tua seperti Imam Abu Hanifah memilih Imam Hammad bin Sulaiman. Setelah
beliau memikirkannya masak-masak, kata beliau: “Aku telah mendapatkan guru
yang sopan dan tetap pendirian, penyantun dan penyabar”.[62]
Penuntut ilmu juga hendaklah pandai
memilih sahabat. Usah bergaul dengan orang yang tidak baik tingkah lakunya.
Sebaliknya, bergaullah dengan orang yang boleh memberi faedah atau kita dapat
mengambil faedah daripadanya. Biarlah dalam bersahabat itu kita memiliki
watak-watak seperti baik, berakal, kuat pegangan agamanya, bertakwa, warak,
banyak melakukan kebaikan dan sedikit keburukannya, mulia budi perkertinya,
tidak banyak berdebat, suka mengingatkan ketika kita lupa, dan sanggup pula
membantu.[63]
Jadi secara kesimpulannya tidak hairan apabila sekumpulan pelajar
yang belajar di dalam kelas yang sama dan berguru dengan guru yang sama, tetapi
hasil penerimaan ilmunya tidak sama. Antara seorang pelajar dengan pelajar yang
lain, kelihatan jelas perbedaan penerimaan mereka. Pemerhatian terhadap etika
dan akhlak-akhlak serta amalan penuntut ilmu ini juga menunjukkan perbedaan
yang ketara. Walaupun, menerima ilmu yang sama, tetapi tidak semua pelajar ini
mahu menghayati dan mengamalkannya.
B.
Klasifikasi Ayat-Ayat
Etika Menuntut Ilmu
Di sini penulis akan
mengklasifikasikan ayat-ayat tentang etika menuntut ilmu, ayat-ayat tersebut
yaitu:
1 Ayat 69 dari
surah Al-Kahfi:
Artinya:
Nabi Musa
berkata: "Engkau akan dapati aku, Insyaa Allah: orang Yang sabar; dan Aku
tidak akan membantah sebarang perintahmu" (QS. Al-Kahfi/ 18: 69).[64]
2 Ayat 70 dari
surah Al-Kahfi:
Artinya:
Ia menjawab:
"Sekiranya Engkau mengikutku, maka janganlah Engkau bertanya kepadaKu akan
sesuatupun sehingga Aku ceritakan halnya kepadamu" (QS. Al-Kahfi/ 18: 70).[65]
3)
Ayat 73 dari
surah Al-Kahfi:
Artinya:
Nabi Musa
berkata: "Janganlah Engkau marah akan daku disebabkan Aku lupa (akan
syaratmu); dan janganlah Engkau memberati daku Dengan sebarang kesukaran Dalam
urusanku (menuntut ilmu)" (QS. Al-Kahfi/ 18: 73).[66]
4 Ayat 75 dari
surah Al-Kahfi:
Artinya:
Ia menjawab:
"Bukankah, Aku telah katakan kepadaMu, Bahawa Engkau tidak sekali-kali
akan dapat bersabar bersamaku?" (QS. Al-Kahfi/ 18: 75)[67]
5 Ayat 78 dari
surah Al-Kahfi:
t
Artinya:
Ia menjawab:
"Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, Aku akan terangkan kepadamu
maksud (kejadian-kejadian Yang dimusykilkan) Yang Engkau tidak dapat bersabar
mengenainya.” (QS. Al-Kahfi/ 18: 78)[68]
6 Ayat 11 dari
surah Al-Mujadalah:
Artinya:
“Wahai
orang-orang Yang beriman! apabila diminta kepada kamu memberi lapang dari
tempat duduk kamu (untuk orang lain) maka lapangkanlah seboleh-bolehnya supaya
Allah melapangkan (segala halnya) untuk kamu. dan apabila diminta kamu bangun
maka bangunlah, supaya Allah meninggikan darjat orang-orang Yang beriman di
antara kamu, dan orang-orang Yang diberi ilmu pengetahuan ugama (dari kalangan
kamu) - beberapa darjat. dan (ingatlah), Allah Maha mendalam pengetahuannya
tentang apa Yang kamu lakukan.” (QS. Al-Mujadalah/ 58: 11)[69]
7)
Ayat 151 dari
surah Al-Baqarah:
Artinya:
“(Nikmat
berkiblatkan Kaabah Yang Kami berikan kepada kamu itu), samalah seperti
(nikmat) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (iaitu
Muhammad), Yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu
(dari amalan syirik dan maksiat), dan Yang mengajarkan kamu kandungan Kitab
(Al-Quran) serta hikmat kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa Yang belum kamu
ketahui.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 151)[70]
8 Ayat 63 dari
surah Al-Ma’idah:
Artinya:
“Alangkah
baiknya kalau ketua-ketua ugama dan pendita-pendita mereka melarang mereka dari
mengeluarkan perkataan-perkataan Yang dusta dan dari memakan Yang haram?
Sesungguhnya amatlah buruk apa Yang mereka telah kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah/ 5:
63)[71]
9 Ayat 175 dari
surah Al-A’raaf:
Artinya:
“Dan bacakanlah
kepada mereka (Wahai Muhammad), khabar berita seorang Yang Kami beri kepadanya
(pengetahuan mengenai) ayat-ayat (Kitab) kami. kemudian ia menjadikan dirinya
terkeluar dari mematuhinya, lalu ia diikuti oleh Syaitan (dengan godaannya),
maka menjadilah dari orang-orang Yang sesat.” (QS. Al-A’raaf/ 7: 175)[72]
1 Ayat 29 dari surah Al-A’raaf:
Artinya:
Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh berlaku adil (pada Segala perkara), dan (menyuruh supaya
kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) Dengan betul pada tiap-tiap
kali mengerjakan sembahyang, dan Beribadatlah Dengan mengikhlaskan amal ugama
kamu kepadanya semata-mata; (kerana) sebagaimana ia telah menjadikan kamu pada
mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepadaNya).” (QS. Al-A’raaf/ 7: 29)[73]
Penulis mengklasifikasikan ayat-ayat
tentang etika menuntut ilmu di dalam Al-Quran yaitu pada surah Al-Kahfi pada
ayat 69, ayat 70, ayat 73, ayat 75, dan ayat 78. Ayat-ayat ini menerangkan
tentang pentingnya kesabaran dalam menuntut ilmu, bersabar di dalam setiap
liku-liku kesusahan ketika menuntut ilmu. Adapun pada surah Al-Mujadalah pada
ayat 11, menerangkan bahwa setiap penuntut ilmu perlu melapangkan tempat
duduknya kepada penuntut ilmu yang lain. Sebagai contoh ketika terdapat
penuntut yang lewat hadir di dalam pembelajaran, maka diharuskan untuk
melapangkan tempat duduk bukan dengan menutupnya.
Pada surah Al-Baqarah ayat 151, dan
surah Al-Maidah ayat yang ke 63 serta surah Al-‘Araaf pada ayat 175 menerangkan
bahwa setiap orang-orang yang berilmu perlu mengamalkan ilmunya, yaitu dengan
mengajar kepada orang lain. Suatu kewajiban bagi setiap penuntut ilmu yang
mengetahui tentang sesuatu ilmu itu mengamalkannya atau menyebarkan kepada
orang lain. Dan ayat 29 dari surah Al-‘Araaf menerangkan bahwa niat yang ikhlas
beribadah hanya kerana Allah SWT. Karena menuntut ilmu itu adalah perkara
ibadah baik fardhu ‘ain atau fardhu kifayah.
C.
Asbabun Nuzul
Ayat Etika Menuntut Ilmu
Asbabun
nuzul adalah salah satu ilmu yang harus dipelajari bagi seseorang yang ingin
menafsirkan Al-Qur’an. Pemahaman terhadapnya merupakan kemestian, agar tidak
terjadi kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Asbabun nuzul artinya
sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Fungsi asbabun nuzul dalam kaitannya
dengan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an adalah menuntun kepada pemahaman makna
tafsir yang benar karena di dalamnya diterangkan latar belakang yang
menerangkan penyebab turunnya ayat-ayat suci Al-Quran dan mata rantai
peristiwa-peristiwa yang menyangkutnya.[74]
Adapun
faedah mengetahui asbabun nuzul itu sangat banyak, namun dapat disimpulkan
sebagai berikut, yaitu dapat mengetahui rahasia yang terkandung dalam hukum
suatu ayat, mengetahui hukum atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat
serta memberikan ketegasan bila terdapat keraguan dan sebagainya.
Di
sini penulis akan mencantumkan asbabun nuzul ayat yang penulis bahas pada karya
ilmiah ini:
1 Surah
Al-Mujadalah ayat 11.
Qatadah telah menceritakan bahwa kaum Muslim apabila melihat
seseorang datang kepada mereka (pada saat itu sedang berada di hadapan Nabi
SAW) dengan menghadapkan diri, mereka merapatkan tempat duduknya di hadapan
Rasulullah SAW. (sehingga orang yang baru datang itu tidak kebagian tempat
duduk). Lalu turunlah ayat tersebut.
Imam Ibnu Abu Hatim telah mengetengahkan sebuah hadis melalui
Muqatil, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Jumaat. Pada hari itu datanglah segolongan
orang-orang yang pernah ikut perang Badar, tetapi tempat duduk yang ada sangat
terbatas lagi sempit, dan mereka yang hadir tidak mau melapangkan tempat
duduknya buat orang-orang yang baru datang itu.
Akhirnya orang-orang yang baru datang itu berdiri. Lalu Rasulullah
SAW menyuruh berdiri beberapa orang yang jumlahnya sama dengan mereka, lalu
beliau mempersilakan Ahli Badar yang baru datang itu menempati tempat duduk
mereka yang disuruh berdiri. Maka orang-orang yang disuruh berdiri itu mereasa
tidak senang akan hal tersebut, lalu turunlah ayat ini.[75]
2)
Surah Al-Maidah
ayat 63.
Abusy Syekh dan Ibnu Hibban telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
telah mengatakan, bahwa Rifa’ah Ibnu Zaid Ibnu Tabut dan Suwaid Ibnul Haris
telah menampakkan keislamannya, akan tetapi keduanya menjadi munafik. Dan
tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari kalangan kaum Muslim, bersahabat
dengan sangat intimnya dengan mereka. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi walimu, orang-orang
yang membuat agamamu jadi buah ejekan…. sampai dengan firman-Nya: Allah
lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan” (Surah Al-Maidah ayat 57-61).
Sehubungan dengan turunnya
ayat ini Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa ada segolongan orang-orang Yahudi
datang kepada Nabi SAW yang di antaranya ialah Abu Yasir Ibnu Akhtab, Nafi Ibnu
Abi Nafi, dan Gazi Ibnu Umar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang
rasul-rasul yang diimaninya, kemudian Nabi menjawab: “Aku beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak
cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami
hanya tunduk dan patuh kepada-Nya”. Tatkala Nabi SAW menuturkan tentang perihal
Nabi Isa, mereka kontan mengingkari kenabian Isa, dan mengatakan: “Kami tidak
beriman kepada Isa dan juga kepada orang-orang yang beriman kepadanya”.[76]
3)
Surah Al-Kahfi
ayat 69, ayat 70, ayat 73 ayat 75 dan ayat 78. Surah Al-Baqarah ayat 151. Surah
Al-A’raaf ayat 29 dan ayat 175.
Pada ayat-ayat tersebut penulis tidak menemukan asbabun nuzulnya,
jadi penulis tidak mencantumkan asbabun nuzul dari ayat tersebut. Menurut
keterangan yang penulis dapatkan bahwa sebahagian besar dari ayat Al-Quran
tidak mempunyai asbabun nuzul.
[50] M.
Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari Jilid 1, (Jakarta: Gema
Insani, 2003), 57-58
[51]
Az-Zanurji,
Terjemah Ta’lim Muta’alim, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), 7.
[53]
Ilmu
nujum dalam arti ilmu astrologi, yakni ilmu perbintangan yang dihubungkan
dengan nasib manusia. Sedangkan dalam ilmu astronomi, yaitu ilmu perbintangan
yang digunakan untuk mengetahui arah posisi bintang, untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, ilmu astronomi boleh dipelajari, bahkan sangat dianjurkan.
[54]
Az-Zanurji,
Terjemah Ta’lim Muta’alim, 12.
[56]
‘Aidh
Abdullah Al-Qarni, Bacalah Dengan Nama Tuhanmu Keutamaan Ilmu Dan
Pengetahuan, (Kuala Lumpur: Jasmin Enterprise, 2007), 122-124.
[57]
Departement
Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, 225.
[60]
Departement
Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, 907.
[61]
‘Aidh
Abdullah Al-Qarni, Bacalah Dengan Nama Tuhanmu Keutamaan Ilmu Dan
Pengetahuan , (Kuala
Lumpur: Jasmin Enterprise, 2007), 153.
[62]
Mohammad Subki, Martabat Ilmu & Ulama’, 127.
[64] Departement Agama RI, Al-Quran
Dan Terjemahannya, 412.
[65]
Ibid
[67]
Ibid
[68]
Ibid
[74]
Jalaluddin
Al-Mahali, Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2011), viii
[22] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Derajat Hadits-Hadits dalam
Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 7. Ada juga yang
mengatakan nama beliau ialah Abu Muhammad Abdullah bin Katsir Ad-Dary Al-Makky.
Lihat: Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir
Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 69.
Dan ada juga yang mengatakan nama beliau ialah Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin
Amr bin Katsir Al-Quraisyi Ad-Dimisyqi. Lihat: Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar
Ulumul Quran Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), 313.
[23] Ada yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan pada 705 H. Lihat:
Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2012), 527. Ada juga yang menyatakan beliau lahir pada tahun 45 H. LIhat: Rosihon
Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir
Ibnu Katsir, 69. Dan ada juga yang menyatakan bahwa beliau lahir tahun 700
H. Lihat: Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2001), 313.
[24]
Ada
pendapat yang mengatakan saat bapanya meninggal beliau berusia tujuh tahun. Ada
juga yang mengatakan beliau berumur tiga tahun. Lihat: Rosihan Anwar, Melacak
Unsur-unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir Ibnu Katsir, 69
[28]
A.
Zarkasyi Chumaidy, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 1998), 97-98.
[30]
Sa’di
Abu Jaib, Al-Kamus Al-Fiqhiyah Lughatan wa Isthilahan, (Damsyiq, Syria:
Darul Fikr, 2003), 289-290.
[31]Abdul
Rachman Saleh Siregar, Peringatan Bagi Seluruh Alam Kisah-Kisah Dalam Al-Quran,
(Selangor: Al-Hidayah Publication, 2012), 5
[32]Dosen
Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), 132-133
[35] Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas mengenai para perawi,
sekitar masalah yang membuat mereka tercelah atau bersih dalam menggunakan
lafadz-lafadz tertentu. Lihat Subhi As-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits,
Pustaka Firdaus.
[38]
Rosihan,
Melacak Unsur-Unsur Israiliyat Dalam Tafsir Ibnu Ath-Thabari Dan Tafsir Ibnu
Katsir, 71.
[39]
Muhammad
Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1,
(Jakarta: Gema Insan, 2012), 39.
[40] Rosihan, Melacak Unsur-Unsur
Israiliyat Dalam Tafsir Ibnu Ath-Thabari Dan Tafsir Ibnu Katsir, 72.
[47]
Ibid.
[4] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an,
(lentera Hati, 2002. Volume 15), 392.
[7] ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 10, (Pustaka Imam Syafie, 2008), 319.
[12] ‘Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9, 341-342
[13] Abdurrahman
Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta, Gema
Media, 2002),
24-27.
[18] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006), 61.
[21] Abdul Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I dan cara penerapannya,
(Bandung: Pustaka Setia, 2002), 51.
0 comments:
Post a Comment