SILA "CLICK NEW TAB FOR DETAIL POST" JIKA MENGHADAPI MASALAH MEMBACA ENTRI SILA EMAIL KAN PADA CAKERAWALA IBTISAM TERIMA KASIH

May 23, 2014

“KONSEP ETIKA MENUNTUT ILMU MENURUT TAFSIR IBNU KATSIR” (Kajian Tafsir Tematik)

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
        Manusia diciptakan Allah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, tentu dengan alasan yang sangat tepat potensi itu harus ada pada diri manusia, sebagaimana sudah diketahui, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi Allah ini. Potensi yang dimiliki manusia tidak ada artinya kalau bukan karena bimbingan dan hidayah Allah yang terhidang di alam ini.
        Namun manusia tidak pula begitu saja mampu menelan mentah-mentah apa yang dia lihat, kecuali belajar dengan mengerahkan segala tenaga yang dia miliki untuk dapat memahami tanda-tanda yang ada dalam kehidupannya. Menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusia tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinya juga tidak bisa menjadi lebih baik.
        Ilmu menurut perspektif Islam terbahgi kepada ilmu Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah. Kedua–dua jenis ilmu ini adalah sama pentingnya menurut Islam, kerana tanpa ilmu, kita tidak mampu untuk beramal atau menunaikan kewajipan sebagai seorang Muslim yang baik. Ilmu Fardhu Ain adalah ilmu yang wajib diketahui oleh setiap individu muslim bagi melayakkan kita menjadi Muslim yang sempurna.
       Bagi setiap Muslim, menunaikan kewajiban seperti sembahyang, puasa, zakat dan haji adalah kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh setiap individu. Oleh yang demikian ilmu bagi memastikan segala ibadah tersebut menjadi sempurna adalah wajib diketahui oleh setiap muslim.
        Fardhu Kifayah adalah kewajiban yang tidak dapat dinafikan kepentingannya semua individu muslim. Contoh ilmu Fardhu Kifayah adalah seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qiraat dan lain-lain lagi. Begitu juga ilmu-ilmu umum seperti ilmu perubatan, ilmu perundangan, ilmu kemahiran, ilmu pelayaran dan sebagainya, perlu juga dipelajari.[2]
        Suatu pekerjaan atau amalan yang tidak berdasarkan ilmu itu seringkali menghadapi kebuntuan atau kegagalan. Sebaliknya ilmu yang tidak diamalkan itu tidak mendatangkan faedah malah sia-sia saja. Sebuah pepatah ada menyatakan, “ilmu tanpa amal umpama pokok yang tidak berbuah”.
        Islam meletakkan ilmu sebagai asas dalam pembangunan diri manusia dan alam seluruhnya. Tuntutan pertama dan utama terhadap manusia ialah saran menuntut ilmu, kerana iyanya merupakan asas pemikiran dan pembuka minda. Ini telah diperkukuh dengan turunnya wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW dalam surah Al-‘Alaq ayat 1-5:

Artinya:
               “(Wahai Muhammad bacalah) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian mahkluk), Dia menciptakan manusia dari sebuku darah beku, bacalah dan Tuhanmu yang Maha pemurah, yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-Alaq/ 96: 1-5).[3]
         Kata Iqra’  diambil dari kata kerja  qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila kita merangkai huruf kemudian mengucapkan rangkaian tersebut maka kita sudah menghimpunnya yakni membacanya[4]. Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karena dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut adalah bisa menyampaikan, menela’ah, membaca, meneliti, mendalami.[5]
        Syekh “Abdul Halim Mahmud (mantan pemimpin tinggi Al-Azhar Mesir) sebagaimana dikutip Quraish Shihab dia menulis dalam bukunya al-Qur’an Fi Syahr al-Qur’an: “ dengan kalimat iqra’ bismi Rabbika, al-Qur’an tidak hanya sekedar menyuruh membaca, tetapi membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu” . demikian juga ketika kita berhenti melakukan aktifitas hendaklah didasari pada Bismi rabbika sehingga akhirnya ayat itu berarti “jadilah seluruh kehidupanmu, Wujudmu, dalam cara dan tujuanmu, kesemuanya demi karena Allah semata”.[6]
        Di dalam ayat-ayat tersebut termuat peringatan mengenai permulaan penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan bahawasanya di antara kemurahan Allah adalah Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dengan demikian, Dia telah memuliakannya dengan ilmu. Dan itulah yang menjadikan bapak ummat manusia ini, Adam AS mempunyai kelebihan atas malaikat.
        Terkadang, ilmu berada di dalam akal fikiran dan terkadang juga berada dalam lisan. Juga terkadang berada dalam tulisan. Secara akal, lisan dan tulisan mengharuskan perolehan ilmu, dan tidak sebaliknya. Oleh kerana itu, Allah berfirman yang bermaksud “Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya"[7]
        Imam al-Qurtubi turut mengutarakan bahwa permulaan wahyu yang pertama ini adalah perintah Allah yang ditujukan kepada nabi Muhammad SAW dan umat manusia seluruhnya bahawa membaca, menulis dan mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban yang wajib dilaksanakannya. Ia merupakan dasar utama yang diperjuangkan oleh Islam bagi membangunkan modal insan. Islam yang di dalamnya tersingkap keindahan ajarannya menggesa umatnya mencari dan mendapatkan ilmu secara formal dan tidak formal di mana membaca adalah anak kunci kepada ilmu pengetahuan.[8]
        Membaca merupakan suatu proses untuk memperolehi ilmu dan maklumat dengan menggunakan indra dan pikiran sama ada melalui bahan-bahan bercetak atau media elektronik seperti komputer dan sebagainya. Deria dan minda yang dicerna dengan ilmu pengetahuan hasil pembacaan akan menghasilkan kehidupan manusia yang sentiasa inginkan perubahan. Sedikit ilmu yang diperolehi akan merangsang minat dan naluri dalam diri untuk menambah ilmu pengetahuan yang lain seterusnya akan terbentuk satu budaya membaca di kalangan masyarakat.[9]
        Didalam Al-qur’an meraka yang berilmu dan tidak berilmu itu berbeda dalam pandangan Islam. Firman Allah di dalam surah Az-Zumar ayat 9:

Artinnya : 
                  “Katakanlah (ya Muhammad), tidaklah sama orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu! Sesungguhnya yang memiliki akal pikiranlah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar/ 39: 9).[10]

Allah meninggikan derajat orang yang berilmu itu, Firmannya :
Artinya :
                    “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah/ 58: 11).[11]
        Imam Ahmad meriwayatkan dari Abuth Thufail ‘Amir bin Watsilah, bahwa Nafi’ bin ‘Abdil Harits pernah bertemu dengan ‘Umar bin al-Khaththab di Asafan. ‘Umar mengangkatnya menjadi pemimpin Makkah lalu ‘Umar berkata kepadanya: “Siapakah yang engkau angkat sebagai khalifah atas penduduk lembah?” Ia menjawab: “Yang aku angkat sebagai khalifah atas mereka adalah Ibnu Abdzi, salah seorang budak kami yang telah merdeka.” Maka ‘Umar bertanya: “Benarkah engkau telah mengangkat seorang mantan budak sebagai pemimpin mereka?” Dia pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia adalah seorang yang ahli membaca Kitabullah (al-Quran), memahami ilmu fara-idh dan pandai berkisah.[12]
        Karena sungguh dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai daripada mereka yang beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu, al-‘alim daripada ahli ibadah, al-‘abid, adalah seperti kelebihan Muhammad atas orang Islam seluruhnya. Di kalangan kaum muslimin ramai yang beranggapan bahwa mencari ilmu itu merupakan perkara yang wajib karena ia adalah ibadah.
        Islam secara mutlaq mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi menyatakan bahwa jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan.[13] Demikian kebesaran ilmu yang mengubah seorang manusia biasa menjadi mulia dan bijaksana. Tidak seperti harta yang diwarisi, ilmu bukan anugerah yang boleh diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki atau disayangi. Ilmu memerlukan penuntutnya berusaha dengan gigih dan bersungguh-sungguh demi mencapai apa-apa yang dihajatinya. Ilmu bukan maklumat genetik yang boleh dipindahkan daripada seorang bapa kepada anak-anaknya melalui pewarisan genetik.[14]
        Di dalam menuntut ilmu terdapat sesuatu yang amat penting yang perlu diketengahkan, yaitu adab menuntut ilmu. Adab menuntut ilmu ini adalah sangat penting bagi menjamin kualitas ilmu yang dipelajarinya. Karena antara menuntut ilmu yang berkesan adalah antaranya ialah dengan keredhoan dari gurunya. Adab-adab ilmu bukan seperti adab-adab yang lainnya dari segi membuahkan hasil, namun ia memiliki tatacaranya yang tersendiri yang mesti diketahui oleh penuntut-penuntutnya dan dijadikan pakaiannya sepanjang hayatnya sama ada ketika sedang menjadi penuntut atau guru. Inilah hiasan sejati yang tidak boleh lekang dan ditanggal selama-lamanya.[15]
        Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang luhur dan mulia. Untuk dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, seseorang membutuhkan seperangkat ilmu yang cukup sehingga ia dapat menggali dan mengurai kandungan ayat-ayat di dalamnya. Banyak ulama’ yang telah melakukan studi tafsir ayat-ayat Al-Quran, baik tafsir bil-ma’tsur (tafsir ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits) maupun birra’yi (tafsir ayat dengan akal).
        Salah satu dari sekian banyak ulama yang melakukan studi tafsir itu adalah al-Imam al-Hafidz Imaduddin Abul-Fida Ismail bin Katsir (Ibnu Katsir). Beliau telah melakukan kajian tafsir dengan sangat teliti, dilengkapi hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang masyhur. Kecermatan dan kepiawaiannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mulia menjadikan kitab tafsirnya sebagai kitab rujukan dan kajian di hampir semua majelis kajian tafsir di seluruh dunia Islam.[16]
        Maka berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dari latar belakang masalah ini, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut perihal “KONSEP ETIKA MENUNTUT ILMU MENURUT TAFSIR IBNU KATSIR” (Kajian Tafsir Tematik)
B.     Rumusan Masalah
        Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksudkan dengan etika menuntut ilmu?
2.      Apakah klasifikasi ayat-ayat tentang etika menuntut ilmu?
3.      Bagaimanakah penafsiran Ibnu Katsir tentang etika menuntut ilmu?

C.    Batasan Masalah
        Berdasarkan judul yang penulis angkat, maka bahasan yang menjadi tumpuan utama dari karya ilmiah ini agar tidak terjadi kesalahfahaman dalam pembahasan, baik terhadap penulis sendiri maupun para pembaca, maka penulis telah menspesifikasi pada perbahasan konsep etika menuntut ilmu menurut Tafsir Ibnu Katsir.
D.    Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan
a.       Ingin mengetahui gambaran umum maksud etika menuntut ilmu.
b.      Ingin mengetahui klasifikasi ayat-ayat etika menuntut ilmu.
c.       Untuk mengetahui penafsiran tafsir Ibnu Katsir tentang etika menuntut ilmu.
2.      Kegunaan
a.       Untuk menjelaskan seputar tentang etika menuntut ilmu dalam perspektif tafsir Ibnu Katsir.
b.      Kajian ini akan dapat membentuk penulis dan para da’i bagi meningkatkan pengetahuan serta dapat menyelesaikan pelbagai masalah masyarakat yang berlaku pada masa ini.
c.       Suatu sumbangan pemikiran dalam usaha untuk meningkatkan ilmu pengetahuan serta pemahaman mengenai isi kandungan Al-Quran.
d.      Untuk menambah dan mengembangkan wawasan penulis dalam membuat dan menyusun karya ilmiah yang baik dan benar.

E.     Tinjauan Pustaka
        Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam latar belakang masalah, penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang konsep etika menuntut ilmu menurut Tafsir Ibnu Katsir (kajian tafsir tematik). Oleh sebab itu, dengan segala pembahasan dan pengetahuan yang penulis miliki berusaha membahas masalah atau judul tersebut dengan mengumpulkan dan menghimpun data-data yang ada hubungan dengan masalah ini sebagai contoh antara bukunya ialah Pelita Penuntut karangan Al-Al’lamah As-Syeikh Burhanuddin Az-Zanurji, dan Syarah Hilyah Thalibil Ilmi karangan Al-Allamah Dr. Bakr bin Abdullah serta Keutamaan Ilmu Pengetahuan karangan Dr ‘Aidh Abdullah Al-Qarni. Adapun penulis juga menggunakan Tafsir Ibnu Katsir sebagai rujukan utama.

F.     Metodologi Penelitian
        Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian tafsir (Tafsir Tematik) dengan pendekatan perpustakaan (Library Research) dengan menggunakan:
1.      Teknik Pengumpulan Data
        Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research), dan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini penulis lakukan dengan mencari data-data dari buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan, kemudian dikumpulkan dan dipilih-pilih serta diteliti kesesuaiannya dengan penulisan skripsi ini. Data primer merupakan perioritas utama dalam penelitian ini, dan data sekunder penulis menjadikan pendukung, jika nanti ditemukan kesulitan dalam mencari data primer. Proses cek dan ricek terhadap data yang diperoleh juga dilakukan untuk ketetapan informasi.
2.      Sumber Data
        Oleh karena penulisan ini menyangkut tentang ajaran Islam, maka sumber data primer atau sumber utamanya mestilah kitab suci Al-Quran yang mana akan dipilih beberapa ayat Al-Quran yang bersangkutan dengan pembahasan penulisan ini, lalu ditafsirkan menurut Tafsir Ibnu Katsir yang dipilih oleh penulis. Dan beberapa hadis Nabi SAW juga akan ditampilkan dan diterjemahkan sesuai dengan objek tulisan ini.
        Manakala antara sumber skunder yang dirujuk menjadi pendukung dalam menyelesaikan permasalahan konsep etika menuntut ilmu dalam Al-Quran yaitu dengan buku-buku dan referensi lain yang mempunyai kaitan dan releven dengan masalah yang dibahas.
3.      Analisa Data
Data yang telah terkumpul dianalisa melalui metodologi Tafsir Ibnu Katsir dan metode mawdhu’i.
Metodologi Tafsir Ibnu Katsir:
1.      Tafsir Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an sendiri karena banyak didapati kondisi umum dalam ayat tertentu kemudian dijelaskan detail oleh ayat lain.
2.      Alternatif kedua ketika tidak dijumpai ayat lain yang menjelaskan, mufassir harus menelisik Sunnah yang merupakan penjelas Al-Quran. Bahkan Imam Syafi’I seperti ditulis Ibnu Katsir mengungkapkan, “setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW merupakan hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang khianat.” (QS Al-Nisa’ 4: 105)[17]
3.      Selanjutnya jika tidak didapati tafsir baik dalam Al-Qur’an dan hadits, kondisi ini menuntut kita untuk merujuk kepada referensi sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui karena menyaksikan langsung kondisi dan latar belakang penurunan ayat. Di samping pemahaman, keilmuan dan amal shalih mereka. Seumpama empat khalifah yang bijak, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, sepupu Nabi sekaligus penerjemah Al-Qur’an.
4.      Referensi tabi’in kemudian menjadi alternatif selanjutnya ketika tidak ditemukan tafsir dalam Al-Quran, hadits dan referensi sahabat. Sahabat-sahabat yang terkenal adalah Mujahid bin Jabir, Sa’id bin Jabir, ‘Ikrimah, sahaya Ibnu ‘Abbas, ‘Atha bin Abi Rabbah, Hasan Al-Bashri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abi Al-‘Aliyah, Rabi’ bin Anas. Dhahhak bin Muzahim, tabi’in lain dan pengikut tabi’in yang kerap menjadi rujukan dalam tafsir.
Menurut Ibnu Katsir, terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka. Namun dirinya cenderung lebih merujuk pada pendapat-pendapat tabi’in. kenyataan itu jelas dalam ungkapannya, “memang sering dijumpai perbedaan pengungkapan dalam banyak pernyataan mereka. Namun pada kenyataannya perbedaan tersebut bukan merupakan perbedaan yang prinsipil. Mereka yang tidak memahami berkesimpulan tentang adanya perbedaan. Kemudian menyatakan perbedaan-perbedaan tersebut dan mengesankannya sebagai pendapat-pendapat yang beda. Padahal kesemua pendapat tersebut memiliki kesamaan dalam banyak hal. Namun kesamaan yang hanya dimengerti oleh mereka yang mampu memahami.”[18]
Ketika menyoal tafsir bi al-ra’yi (bersumber dari pendapat) Ibnu Katsir menyebutkan, “tentang tafsir bi al-ra’yi, kalangan salaf cenderung melarang mereka yang tidak memeliki basik pengetahuan tentang tafsir untuk menafsirkan Al-Qur’an. Berbeda dengan mereka yang menguasai disiplin ilmu bahasa dan syariat yang mendapat legalitas dari kalangan salaf untuk melakukan penafsiran.” Pendapat ini jelas merupakan pendapat yang tepat bahwa mereka yang mengusai perangkat bahasa dan syariat sah-sah saja untuk berbincang berkaitan tafsir bi ar-ra’yi.
Metodologi ini diterapkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Hingga kemudian memposisikan tafsir Ibnu Katsir sebagai salah satu di antara sekian tafsir terbaik yang menjadi rujukan para pakar. Generasi setelahnya banyak yang mengadopsi ide-idenya. Sebutlah semisal penulis Mahasin al-Ta’wil, al-Manar dan banyak lagi lainnya.[19]
Metodologi Mawdhu’i:
Metode tafsir mawdhu’i juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir mawdhu’i yaitu yang pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang satu masalah (mawdhu’i/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya berbeda dan tersebar dalam pelbagai surah Al-Qur’an. Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan surah Al-Qur’an.[20]
Penulis menganalisa data dengan menggunakan metodologi tafsir mawdhu’i yang dirumuskan oleh sekian Ulama sebagai berikut:
1.      Menetapkan masalah yang dibahas.
2.      Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut.
3.      Menyusun runtutan ayat sesuai dengan turunnya.
4.      Memahami kolerasi ayat-ayat dan surahnya.
5.      Menyusun perbahasan dalam kerangka yang sempurna.
6.      Melengkapi perbahasan dengan hadits-hadits yang releven dengan pokok-pokok perbahasan.
7.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai ayat-ayat yang sama, atau mengkompromikan antara yang am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbadanan atau pemaksaan.[21]

 BAB II
DINAMIKA KEHIDUPAN IBNU KATSIR

A.    Biografi Ibnu Katsir
Ibnu Katsir adalah seorang as-Syaikh, al-Imam, al-Alim, al-Hafizh, al-Mufid, tokoh kaliber. Ia adalah, Imaduddin Abu Fida Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dhau’ bin Katsir bin Dzar’ Al-Bashrawi, Ad-Dimasyqi, As-Syafi’I (bermazhab Syafi’i)[22]. Ia lahir di dusun Mijdal, termasuk bagian kota Bushra pada tahun 701[23], dan ayahnya adalah seorang pendakwah di kota tersebut. Ayahnya wafat pada saat ia berusia 4 tahun.[24]
 Dalam usia kanak kanak, setelah ayahnya meninggal, Ibn Katsir diboyong kakaknya (Kamal ad-Din Abd al-Wahhab) dari desa kelahiranya ke Damaskus. Di kota inilah ia tinggal hingga akhir hayatnya. Karena kepindahan ini, ia mendapat predikat ad-Dimasqi (orang Damaskus).
Predikat Al-Bushrawi sering dicantumkan di belakang namanya karena ia lahir di Basrah. Demikian pula predikat Ad-Dimasyqi sering menghiasi namanya. Hal ini berkaitan dengan kedudukan kota Basrah yang menjadi bagian kawasan Damaskus, atau mungkin disebabkan kepindahannya semenjak kanak-kanak ke sana. Pendapat lain mengatakan bahwa predikat Al-Bushry berkaitan dengan pertumbuhan dan pendidikannya. Dan predikat Asy-Syafi’I berkaitan dengan mazhabnya.[25]
Beliau pindah ke Damaskus pada tahun 706 H. ia menimba ilmu dari syaikh Burhanudin Al Fazari dan yang lainnya. Ia juga mendengar dari Ibnu Suwaid, Al Qasim, Ibnu Asakir, dan banyak lagi. Ia juga menjalin hubungan keluarga (menjadi menantu) dengan al hafizh Al Mazyi, maka ia pun banyak meriwayatkan darinya, berfatwa, menelaah, dan berdiskusi dengannya.
Dia belajar dari Ibnu Taimiyah dan mencintainya sehingga ia mendapat cobaan karena kecintaannya kepada Ibnu Taimiyah. Ibnu Qodi Syahbah mengatakan di dalam kitab Tabaqat-nya, Ibnu Katsir mempunyai hubungan khusus dengan Ibnu Taimiyah dan membela pendapatnya serta mengikuti banyak pendapatnya. Bahkan dia sering mengeluarkan fatwa berdasarkan pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah talak yang menyebabkan dia mendapat ujian dan disakiti karenanya.[26]
Ibnu Katsir adalah seorang ulama yang berilmu tinggi dan mempunyai wawasan ilmiah yang cukup luas. Para ulama semasanya menjadi saksi bagi keluasan dan kedalaman ilmu yang dimilikinya sebagai seorang narasumber, terlebih lagi khususnya dalam tafsir, hadits, dan sejarah (tarikh). Ibnu Hajar memberikan komentar tentang Ibnu Katsir, bahwa dia menekuni hadis secara mutahala’ah  mengenai semua matan dan para perawinya.
Ibnu Hajar melanjutkan, bahwa Ibnu Katsir adalah seorang yang banyak hafalannya lagi suka berseloroh. Semua karya tulisannya di masa hidupnya telah tersebar di berbagai negeri dan menjadi ilmu yang bermanfaat sesudah ia tiada. Metode yang ditempuhnya tidaklah seperti layaknya metode yang dipakai oleh ulama hadis dalam meraih hadis-hadis peringkat atas dan penyeleksian antara yang berperingkat atas dan peringkat bawah serta hal-hal lainnya yang merupakan bagian disiplin ilmu hadis. Akan tetapi, ia menempuh metode yang dipakai oleh ulama fiqih ahli hadis.[27]
Para ahli melekatkan beberapa gelar keilmuan kepada Ibn Katsir, sebagain kesaksian atas kepiawaiannya dalam beberapa bidang keilmuan yang ia geluti, yaitu : 
1.      Al-Hafizh, orang yang mempunyai kapasitas hafal 100.000 Hadits, matan maupun sanad, walaupun dari beberapa jalan mengetahui Hadits sahih, serta tahu istilah ilmu ini.
Al-Hafizh yaitu orang yang memiliki pengetahuan sempurna tentang keadaan gurunya dan guru-gurunya mereka dalam setiap thabaqah-nya. Keadaan gurunya yang diketahui. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Hafizh ialah ialah orang yang hafal 100.000 hadits, matan berikut sanadnya dan sekalipun dengan jalan (sanad) yang berbeda-beda, ia bisa menjaga (bisa hafal) dari masing-masing sanad tersebut tentang rijalnya dengan jarh wa ta’dilnya.
Ini lah yang dimaksud dengan pengistilahan Al-Hafizh oleh ulama-ulama terdahulu, yang penting segi kedalaman dan kecermatan . Al-Hafizh jika bertambah pengetahuannya maka meningkat ke peringkat Al-Hujjah.[28]
2.      Al-Muhaddis, orang yang ahli mengenai Hadits riwayah dan dirayah, imamnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya.
Al-Muhaddis ialah orang yang memiliki tentang hadits, baik riwayah ataupun dirayah, hafal sanad-sanadya, mengetahui keadaan rawi-rawi setiap sanad dengan mengetahui tentang rijal dan hanya mengetahui riwayah, hafal teks haditsnya berikut sanadnya tanpa memiliki pengetahuan riwayah dan sanadnya maka menurut Musnid bukan Muhaddis.
Al-Allamah Al-Hazimi mensyaratkan bahwa Al-Muhaddis harus mengetahui keadaan sanad-sanad, ilat-ilat (kecacatan) dan nama-nama rijal. Mereka juga harus sering menghafal matan, mendengarkan kitab-kitab hadits, kitab-kitab mushad, kitab-kitab mu’jam dengan mengetahui rawi-rawi yang semasanya dan periwayatan  mereka untuk membedakan aqran-aqrannya (rawi secara teman) di dalam pendhabitan dan pedalaman kritikannya. Jika pengetahuannya bertambah maka Al-Muhaddits tersebut meningkat kepada peringkat Hafizh.[29]
3.      Al-Faqih, gelar keilmuan bagi ulama yang ahli dalam ilmu hukum Islam (fiqh), namun tidak sampai pada tingkat mujtahid. Ia menginduk pada suatu mazhab yang ada, tapi tidak taqlid.
Pengertian dari para ulama Imam Maliki bahwa Al-Faqih itu ialah siapa yang menyibukkan waktu dalam mengulang kaji pelajaran, mengajar, member fatwa, dan dia merupakan seorang mujtahid. Dan pengertian dari para ulama Imam Hanafi pula Al-Faqih itu ialah sesiapa yang menghafal cabang-cabang fiqah, mengetahui dalam hukum-hakam yang berkaitan dengan fiqah dan selainnya. Pengertian dari para ulama Imam Hanbali pula, Al-Faqih ialah mengetahui dengan hukum yang disyariatkan dalam perbuatan, seperti perkara halal dan haram.[30]
4.  Al-Muarrikh, seorang yang ahli dalam sejarah atau sejarawan.
5. Al-Mufassir, seorang yang ahli dalam bidang tafsir, yang menguasai perangkat-perangkatnya berupa ulum Al-Quran dan memenuhi syarat-syarat mufassir.
Di antara lima predikat tersebut, al-hafizh merupakan gelar yang paling sering disandangkan pada Ibn Katsir. Ini terlihat pada penyebutan namanya pada karya-karyanya atau ketika menyebut pemikiranya. Gelar-gelar tersebut dalam keadaan tertentu saling menunjang misalnya, dalam tafsirnya Ibnu Katsir seakan mendemontrasikan keahlian-keahliannya untuk menganalisis dan mengemukakan materi tafsir. Atau secara terpisah gelar keahlian itu nampak pada karya-karya yang dihasilkan. Kelima gelar yang berhak disandang Ibn Katsir merupakan suatu kelebihan.
Begitulah Ibnu Katsir keilmuan tidak diragukan lagi, kitab-kitabnya terus dipelajari semua orang dari berbagai belahan dunia. Baik itu dalam bidang tafsir, hadis maupun sejarah. Wafatnya beliau Al-Imam Ibnu Katsir ialah pada hari khamis tanggal 26 bulan Sya’ban tahun 774 H, dan ketika itu beliau berumur 74 tahun. Mufsir kondang itu wafat di Damaskus, jenazahnya dimakamkan disamping makam gurunya yaitu Ibnu Taimiyah di Shufiyah Damaskus. Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, di akhir hidupnya, beliau kehilangan penglihatan.[31]`
B.     Karier Dan Aktivitas Ibnu Katsir
Sejak kepindahan Ibn Katsir bersama kakaknya ke Damaskus, 707 H, ia mulai meniti karir keilmuan. Peran yang tidak sempat dimainkan oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh Kamal ad-Din Abd al-Wahhab, sang kakak. Kegiatan keilmuan selanjutnya dijalani di bawah bimbingan ulama ternama di masanya.
Hal yang sangat menguntungkan bagi Ibn Katsir dalam  pengembangan karir keilmuannya, adalah kenyataan bahwa di masa-masa pemerintahan dinasti Mamluk pusat-pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid berkembang pesat. Perhatian para penguasa pusat di Mesir maupun penguasa daerah di Damaskus sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama ternama di masa ini, yang akhirnya menjadi tempat Ibn Katsir menimba ilmu.
Guru utama Ibn Katsir adalah Burhan ad-Din al-Fazari (660-729 H), seorang ulama, pemuka dan penganut mazhab Syafii dan Kamal ad-Din ibn Qadhi Syuhbah. Kepada keduanya dia belajar Fiqh dengan mengkaji b at-Tanbib karya asy-Syirazi, sebuah furu Syafiiyyah, dan kitab Mukhtashar Ibn Hajib dalam bidang Ushul al-Fiqh. Berkat keduanya, Ibn Katsir menjadi ahli Fiqh sehingga menjadi tempat berkonsultasi para penguasa dalam persoalan-persoalan hukum.
Beliau memperdalam fikih kepada Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Abdurrahman Al Fazari yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Farhah, wafat tahun 729. Ia mendengar ilmu di Damaskus dari Isa bin Muth’im, dari Ahmad bin Abu Thalib yang mencapai usia lebih dari 100 tahun, ia lebih tersohor dengan sebutan Ibnu Syahnah dan Hijar, wafat tahun 730. Juga, dari Ibnu Qasim bin Asakir, Ibnu Syairazi, Ishaq bin Amidi, Muhammad bin Zarrad.
Beliau dijadikan tempat konsultasi oleh para penguasa, seperti dalam pengesahan keputusan yang berhubungan dengan korupsi (761 H/1358 M), dalam mewujudkan rekonsiliasi dan perdamaian pasca perang saudara yakni perang Pemberontakan Baydamur (763 H/361 M), serta dalam penyeruan jihad (770-771 H/1368-1369 M)[32]
Ia menyertai syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki Al Mazyi, pemilik kitab “Tahdzib At-Tahdzib” dan “Athraf Al Kutub As-Sittah” wafat tahun 742 H. Ia banyak mengambil manfaat (ilmu) darinya, takhrij, dan menikahi anak perempuannya. Ia juga banyak membacakan kitab kepada syaikh Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah wafat tahun 728 dan konsisten mengikutinya, mencintainya, serta banyak mengambil manfaat dari ilmunya.[33]
Dalam bidang Hadits, ia belajar Hadits dari ulama Hijaz dan mendapat ijazah dari Alwani, serta meriwayatkannya secara langsung dari huffadz terkemuka di masanya, seperti syeikh Najm ad-Din ibn al-Asqalani dan Syihab ad-Din al-Hajjar (w.730) yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn al-Syahnah. Kepada al-Hafizh al-Mizzi (w.742 H), penulis kitab Tahdzib al-Kamal, ia belajar bidang Rijal al- Hadits.
Salah seorang muridnya yang bernama Ibnu Hija mengatakan bahwa dia adalah orang yang paling banyak menghafal matan-matan hadis yang pernah dijumpainya, orang yang paling mengenal para perawinya. Dia mengetahui hadis yang shahih dan hadis yang tidak shahih, semua teman dan gurunya mengakui keahlian Ibnu Katsir dalam hal tersebut. Ibnu Hija mengatakan bahwa semakin banyak ia pergi kepadanya , semakin banyak pula faedah yang ia petik.[34]
Al Hafizh Ibnu Hajar berkomentar di dalam “Ad-Durar Al-Kamimah”: ia senantiasa berusaha keras dan sibuk dalam mempelajari hadits, mengenai matan, perawi, dan banyak merangkum. Ia sangat baik dalam canda dan bersosial, buku karangannya ia terapkan dalam kehidupannya sehari-hari, dan banyak orang merasakan manfaat sepeninggalanya, tidak ada seorang pun yang mengklaimnya kurang baik dalam ilmu hadits, ia cenderung disebut sebagai muhaddits yang ahli dalam fikih.
As-Suyuti mengomentari hal itu dengan mengatakan, “ia adalah  seorang yang patut dijadikan panutan dalam pengetahuan mengenai kedudukan hadits, yang shahih, lemah, cacat, perbedaan-perbedaan jalur dan para perawinya, serta jarh wa ta’dil.[35]
Beliau juga pernah berguru pada Adz-Dzahabi (Muhammad bin Muhammad 1284-1348M.) yang menjadikannya dipercaya sebagai penggantinnya (1348 M.), di Turba Umm Shalih (Lembaga Pendidikan). Pada 756 H./1355 M. ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadits al Asyrafiyah (Lembaga Pendidikan Hadits), setelah hakim taqiy ad-Din ash-Subhi (683-756 H.) meninggal dunia. Berkaitan dengan studi Hadits, pada bulan Sya’ban 766 H, ditunjuk mengorganisir pengkajian shahib al-bukhari.
Ibnu Katsir pernah menjabat sebagai pemimpin majelis pengajian Ummu Saleh sepeninggal Adz-Dzahabi, dan sesudah kematian As-Subuki ia pun memimpin majelis pengajian hadits Al-Asyrafiyyah dalam waktu yang tidak lama, kemudian diambil alih orang lain.[36]
Dalam bidang sejarah, peranan al-Hafizh al-Birzali (w.739 H), sejarawan dari kota syam, cukup besar. Dalam mengupas peristiwa-peristiwa, Ibn Katsir mendasarkan pada kitab tarikh karya gurunya tersebut. Berkat al-Birzali dan Tarikhnya, Ibn Katsir menjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam.
Sejarawan tersohor, Abu Al-Mahasin Jamaludin Yusuf bin Saifudin yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Taghari Burdi Al-Hanafi di dalam kitabnya “Al Minhal Ash-Shafi” dan “Al Mustaufi Ba’dal Wafi”: syaikh imam Al-Allamah Imaduddin Abu Al-Fida senantiasa menyibukkan diri dalam ilmu, konsisten, menyimpulkan dan berkarya, ia mahir dalam fikih, tafsir, dan hadits, ia menghimpun, menulis, meneliti, membuat disiplin ilmu yang baru, dan mengarang.
Ia sangat banyak meneliti hadits, tafsir, fikih, bahasa Arab, dan lainny. Juga berfatwa dan senantiasa mempelajari hal baru hingga wafat. Ia sangat terkenal dengan akuransi dan kejeliannya, ia adalah pemuka dalam berbagai bidang ilmu, sejarah, tafsir, dan hadits. Ia pernah berucap dalam bait syairnya:
“Hari-hari berlalu, kita digiring menuju ajal yang telah ditentukan dengan mata yang senantiasa mengawasi. Masa muda yang telah berlalu takkan pernah kembali, uban yang terus tumbuh tak dapat dihindari.”[37]
Pada usia 11 tahun menyelesaikan hafalan Al-Quran, dilanjutkan memperdalam ilmu qira’at, dari studi tafsir dan ilmu tafsir, dari syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah (661-728 H), di samping ulama lain. Metode penafsiran Ibn Taimiyyah menjadi bahan acuan pada penulisan Tafsir Ibn Katsir.
Pada bulan Syawal 767 H, Ibn Katsir dianugerahi jabatan imam dan guru besar tafsir di masjid negara (masjid Umayyah Damaskus), oleh Gubernur Mankali Bugha.) Gelar al-mufassir yang disandangkan kepada Ibnu Katsir tidaklah berlebihan, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Dawadi al-Mishri (w 945 H). Ibnu Katsir merupakan ikutan para ulama dan hafizh, dan menjadi sandaran para ahli makna dan ahli lafazh.
Selain di dunia keilmuan, Ibnu Katsir juga terlibat dalam urusan kenegaraan. Tercatat aktivitasnya pada bidang ini seperti, pada akhir tahun 741 H. ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang sufi zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada dirinya. Tahun 752 H, ia berhasil meninggalkan pemberontakan Amir Baibughah Urus, masa khalifah al-Mutadid bersama ulama lainya, pada tahun 759 H, ia pernah diminta untuk mengesahkan beberapa peristiwa kenegaraan lainya.
Itulah kebesaran Ibnu Katsir, yang seumur hidupnya dipenuhi dengan pengabdian tulus pada ilmu. Sehingga para ulama dan umarah mengakui akan kedalaman dan keluasan ilmunya.
C.    Karakteristik Pemikiran Ibnu Katsir
Sebagaimana umumnya kitab klasik atau kitab kuning, Tafsir Ibnu Katsir termasuk kitab yang kaya materi. Di dalamnya memuat bukan hanya materi tafsir Al-Quran, namun dapat dikatakan berisi beberapa cabang ilmu keislaman lainnya, seperti Hadits, Fiqih, Sejarah (kisah), Ilmu Qira’at dan lain-lain. Karena tafsir ma’tsur, maka hadits yang disampaikan dilengkapi dengan ilmu selok-belok atau peringkat-peringkat keilmuan yang berkaitan dengan hadits. Misalnya ilmu jarh wa ta’dil, kritik hadits, rijal al-hadits dan lain-lain. Keberadaan ini tidak lepas dengan kedudukan Ibnu Katsir sebagai ahli hadits (Al-Muhaddits).
Bagi pembahasan Fiqih, Ibnu Katsir seringkali menguraikan secara panjang lebar. Di sini, kendati beliau berpegang pada satu mazhab yaitu mazhab Syafi’I, pendapat-pendapat dari mazhab lain seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Hambali dan pendapat-pendapat dari imam yang sudah tidak berkembang disampaikan di antara pendapat mazhabnya. Hal ini menunjukkan keterbukan pembacanya untuk melihat terhadap mazhab lain selain mazhab yang dipegangi agar tidak fanatik.
Bagi pembahasan dalam tafsirnya yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat Al-Quran sesuai susunannya dalam musyhaf Al-Quran. Ayat demi ayat dan surah demi surah dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.[38] Maka secara sistematika tafsir ini menempu tartib musyhafi. Ibnu Katsir menggunakan metode penafsiran yang paling sahih yaitu penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran. Ayat yang dimujmalkan pada suatu tempat akan dibeberkan di tempat lain.
 Apabila metode itu tidak dapat dilakukan, maka ditafsirkan dengan As-Sunnah, karena As-Sunnah merupakan penjelasan bagi Al-Quran. As-Syafi’i r.a. berkata: “semua perkara yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW merupakan bagian dari apa yang dipahaminya dari Al-Quran”.[39]
Metodologi tafsir yang digunakan Ibnu Katsir tersebut ternyata ditempuh pula oleh beberapa penulis tafsir terkenal abad dua puluhan seperti Rasyid Ridha, Ahmad Musthapa Al-Maragy, dan Jamal Ad-Din Al-Qasimy. Cara penyajian tafsir seperti ini, menurut Quraish Shihab, adalah pengabungan antara metode tahlily dan maudhu’iy (tematik).[40]
Di antara keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ialah dia memperingatkan akan adanya kisah-kisah israiliyat yang mungkar di dalam kitab tafsir ma’sur. Ia pun memperingatkan pembacanya agar bersikap waspada terhadap kisah seperti itu secara global, adakalanya pula menunjuknya dengan jelas dan menerangkan sebagian dari hal-hal mungkar yang terkandung di dalamnya.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pengetahuan Ibnu Katsir akan tampak jelas dan gamblang bagi orang yang membaca kitab tafsir dan kitab tariknya. Kedua kitabnya itu merupakan karya tulis yang paling baik dan suatu karya terbaik yang disuguhkan buat semua orang. [41]
D.    Karya-Karya Ibnu Katsir
Ibnu Katsir adalah seorang ulama besar yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Beliau ahli disegala bidang. Ini dapat dibuktikan dari banyaknya karangan beliau yang mencakup berbagai jenis disiplin ilmu agama, berikut ini akan kami uraikan beberapa karangan beliau dalam beberapa bidang yaitu:  
1.      Dalam bidang tafsir
Dalam bidang ini kitab karangan beliau adalah Tafsir Al-Quranul Adzim atau biasa disebut Tafsir Ibnu Katsir.
Ia termasuk salah satu kitab tafsir yang banyak memberikan manfaat mengenai riwayat, menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, kemudian dengan hadits-hadits yang masyhur yang terdapat dalam diwan para muhadditsin dengan berbagai sanadnya, ia banyak  mengomentari sanad-sanad itu dari sisi jarh wa ta’dil. Ia biasa menjelaskan kejanggalan dan keanehan yang terdapat dalam sanad-sanad tersebut, kemudian menyebutkan atsar para sahabat dan tabi’in. As-Suyuthi berkomentar dalam hal ini, “Tidak pernah dikarang kitab yang sepertinya”.[42]
Mengenai tafsirnya Ibnu Katsir tidak menyebutkan judul/nama bagi buku karangannya, padahal untuk karya-karya lainnya beliau menamainya. Meski demikian, para penulis sejarah tafsir Al-Quran seperti Muhammad Husain Adzahabi dan Muhammad Ali Al-Shabuni, menyebut tafsir karya Ibnu Katsir ini dengan Tafsir Al-Quran Al-Adzim, namun ada juga yang menyebut Tafsir Ibnu Katsir. Perbadaan nama/judul tersebut hanyalah pada namanya, sedangkan isinya sama.[43] Dalam karya ilmiah ini penulis memilih pemakaian Tafsir Ibnu Katsir . selain lebih populer, hal ini juga untuk lebih mudah untuk membedakan dengan karya lainnya, karena langsung menunjuk kepada nama pengarangnya.
Kitab ini pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1342 H/ 1923 M, yang terdiri dari empat jilid. Dan kemudian diringkas dan diteliti ulang oleh Muhammad Ali Al-Sobuni, guru besar tafsir pada Fakultas Hukum dan Studi Islam Universitas King Abdul Aziz, Mekah. Ringkasan tafsir ini berjudul Mukhtasr Tafsir Ibnu Katsir (tiga jilid). Kitab ringkasan ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahraesy dalam judul Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir yang terdiri dari delapan jilid.   
Mengenai pola peringkasan kitab, umumnya dilakukan pada masalah teknis, yaitu memangkas semua sanad hadits yang dirujuk, kecuali periwayat pertamanya, yang terdapat dalam kitab-kitab koleksi hadits standar, dan membuang atau menyederhanakan redaksi yang dianggap tidak signifikan. Adapun isi atau subtansi kitab mukhtasar ini, pada dasarnya sama dengan kitab aslinya.[44]
Untuk kitab tafsir ini, penulis juga menggunakan kitab Tafsir Ibnu Katsir ini sebagai rujukan utama di dalam penulisan skripsi ini selain daripada buku-buku yang lain sebagai sumber tambahan.
2.      Dalam bidang hadits
Adapun dalam hadits kitab-kitab karyanya yaitu:
a.       Kitab Jami’ Al-Masanid Wa Al-Sunan ( kitab koleksi musnad dan sunan).
Nama lain bagi kitab ini ialah Al Huda wa Sunan fi Ahadits Al Masanid wa Sunan, dan yang lebih dikenal dengan Jami’ Al-Masanid, ia menggabung antara Musnad Ahmad, Al Bazzar, Abu Ya’la, Ibnu Abi Syaibah, dan kutub sittah, dua kitab shahih dan empat sunan, dan ia menyusunnya berdasarkan bab-bab pembahasan.[45]
Kitab ini terdiri dari delapan jilid yang terdiri dari nama-nama sahabat periwayat hadits yang terdapat dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal, Kutub As-Sittah dan sumber-sumber lainnya. Kitab ini disusun alpabetis.
b.      Al-Kutub Al-Sittah. Yaitu enam kitab koleksi hadits.
c.       At-Takmilah Fi Ma’rifat Al-Sigat Wa Ad-Duafa Wa Al-Mujahal (pelengkap untuk mengetahui para periwayat yang terpercaya, lemah, dan kurang dikenal). Kitab ini terdiri dari lima jilid.
Yang mana ia menghimpun dua kitab gurunya Syaikh Al Mazyi dan Adz-Dzahabi, yakni kitab Tahdzibul Kamal fi Asma’I Ar-Rijal dan Mizan Al I’tidal fi Naqd Ar-Rijal dengan memberikan berbagai tambahan yang sangat baik dan berguna dalam hal jarh wa ta’dil.[46]
d.      Al-Mukhtasar (ringkasan) dari Muqddimah Li Ulum Al-Hadits karya Ibnu Salah (w. 642 H/ 1246 M).
e.       Abdillah At-Tanbih Li Ulum Al-Hadits, yaitu buku ilmu hadis yang lebih dikenal dengan nama Al-Ba’is Al-Hasis.
Ada informasi yang mengatakan bahwa beliau mensyarahi hadits-hadits dalam Shahih Al-Bukhori, tetapi tidak selesai. Konon kabarnya kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani (w. 852 H/ 1449 M) dengan Fah Al-Bari-nya.
3.      Dalam bidang fiqih
Adapun kitab-kitab karangan beliau dalam bidang fiqih yaitu:
a.      Al-Tabaqat As-Syafi’iyah.
Buku ini membahas tentang pengelompokan ulama’ Madzhab Syafi’i.
b.      Manaqib Al-Imam As-Syafi’i.
Buku ini membahas biografi Imam Syafi’i.
4.      Dalam bidang sejarah
Adapun buku karangan beliau dalam bidang sejarah antara lain yaitu:
a.       Al-Bidayah Wa An-Nihayah (pertama dan terakhir)
Buku ini banyak menyebutkan tentang kisah para nabi dan umat-umat terdahulu yang tertera dalam Al-Quran dan hadits-hadits yang shahih. Ia menjelaskan berbagai penyimpangan, kejanggalan dan kisah-kisah israiliyat, kemudian meneliti sejarah hidup nabi (sirah nabawiyah) dan sejarah umat islam hingga zamannya.
Kemudian menjelaskan pula tentang bencana dan malapetaka (fitan), tanda-tanda kiamat, malahim, dan kondisi akhirat. Ibnu Taghari Burdi berkata, “Ia sangat baik dalam memaparkan semua itu , Al Badri Al Aini pun mengikuti jejaknya dalam sejarah”.[47]
Buku ini dimulai pembahasanya dengan sejarah penciptaan alam raya kemudian penciptaan manusia, sejarah para nabi-nabi, sejarah Nabi Muhammad, kemudian Khulafaurosidin dan dinasti-dinasti sesudahnya sampai pada abad ke 14 dimana Ibnu Katsir hidup.
Kitab ini merupakan kitab sejarah yang penting. Dalam buku ini sejarah dibagi menjadi dua bagian besar:
Pertama, sejarah kuno mulai dari penciptaan alam sampai masa kenabian Muhammad S.A.W.
Kedua, Sejarah Islam mulai dari periode Nabi Muhammad S.A.W. Di Mekah sampai pertengahan pada abad ke-8 H. Kitab ini sering dijadikan rujukan utamanya dalam penelitian sejarah.
b.      Qasa Al-Anbiya’
Buku ini menceritakan tentang kisah-kisah para nabi.

 BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG ETIKA MENUNTUT ILMU

A.    Dasar dan Pengertian Etika Menuntut Ilmu
Ilmu adalah ibadah. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Bahkan, ilmu adalah ibadah yang paling agung, paling utama, bahkan di dalam Al-Quran, Allah telah menjadikan menuntut ilmu sebagai salah satu bentuk berjihad di jalan Allah, jihad dengan mengangkat senjata. Allah berfirman:

Artinya:
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah/ 9: 122).[48]
Dhamir dari kata “liyatafaqqahu” kembali kepada kelompok yang tidak ikut berperang, agar mereka mendalami permasalahan agama, sehingga mereka bisa memberikan peringatan kepada kaumnya saat kembali kepada mereka, sehingga kaumnya merasa takut dan menjaga dirinya dari kemurkaan Allah.[49] Dan Rasulullah SAW memberikan gambaran tentang keutamaan ilmu di dalam hadisnya:
عن ابن عمر قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : بينما أنا نائم أتيت بقدح لبن فشربت حتى إني لأري (يجري) يخرج في أظفاري, ثم أعطيت فضلي عمر بن الخطاب. قالوا : فما أولته يا رسول الله؟ قال : العلم.
Artinya:
Ibnu Umar berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ketika saya tidur didatangkan kepada saya segelas susu, lalu saya minum, sehingga saya melihat cairan (mengalir), keluar pada kuku-kuku saya, kemudian kelebihannya saya berikan kepada Umar ibnul-Khathab. Mereka (para sahabat) berkata, engkau takwilkan apakah, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ilmu.”[50]
Perlu diketahui bahwa, kewajiban menuntut ilmu bagi muslim laki-laki dan perempuan ini tidak untuk sembarang ilmu, tapi terbatas pada ilmu agama, dan ilmu yang menerangkan cara bertingkah laku atau bermuamalah dengan sesama manusia. Sehingga ada yang berkata, “Ilmu yang paling utama ialah ilmu Hal. Dan perbuatan yang paling mulia adalah menjaga perilaku”. Yang dimaksud ilmu Hal ialah ilmu agama Islam, solat misalnya.
Setiap orang Islam diwajibkan menuntut ilmu yang berkaitan dengan apa yang diperlukannya saat itu, kapan saja. Oleh karena setiap orang Islam mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya solat, supaya dapat melaksanakan kewajipan solat dengan sempurna. Tidak ada seorang pun yang meragukan akan pentingnya ilmu pengetahuan, karena itu khusus dimiliki umat manusia. Adapun selain ilmu, itu bisa dimiliki manusia dan bisa juga dimiliki binatang. Dengan ilmu pengetahuan, Allah Ta’ala mengangkat derajat Nabi Adam AS di atas para malaikat. Oleh karena itu, malaikat diperintah oleh Allah agar sujud kepada Nabi Adam.
Ilmu itu sangat penting karena ia sebagai perantara (sarana) untuk bertakwa. Dengan takwa inilah manusia menerima kedudukan terhormat di sisi Allah, dan keuntungan abadi. Sebagaimana dikatakan Muhammad bin Al-Hasan bin Abdullah dalam syairnya:
“Berlajarlah! Sebab ilmu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikan hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu paling berguna.” Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul. Ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan taqwa,ilmu paling lurus untuk dipelajari. Dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Ia laksana benteng yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan. Oleh karena itu orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara’ lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh.[51]
Jadi, para ulama sudah sepakat bahwa sibuk menuntut ilmu itu adalah lebih baik berbanding sibuk beribadah (mengerjakan ibadah sunat dan berwirid). Ini karena manfaat ilmu itu sentiasa mengalir meresapi semua orang termasuk diri guru itu sendiri. Sedangkan mengerjakan ibadah sunat, manfaatnya terhad kepada orang yang mengerjakannya sahaja. Kesan dan manfaat ilmu juga tetap boleh dirasai meskipun orang alim itu telah meninggal dunia. Sementara kesan ibadah boleh terputus jika yang mengerjakannya itu sudah meninggal.[52] 
Setiap orang Islam juga wajib mengetahui atau mempelajari akhlak yang terpuji dan yang tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, lancing, sombong, rendah hati, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil (terlalu hemat) dan sebagainya. Karena sifat sombong, kikir, penakut, israf hukumnya haram. Dan tidak mungkin bisa terhindar dari sifat-sifat itu tanpa mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut serta mengetahui cara menghilangkannya. Oleh karena itu orang Islam wajib mengetahuinya.
Asy-Syahid Nasyiruddin telah menyusun kitab yang membahas tentang akhlak. Kitab tersebut sangat bermutu, dan perlu dibaca. Karena setiap orang Islam wajib memelihara akhlaknya. Adapun mempelajari amalan agama yang dikerjakan pada saat-saat tertentu seperti solat jenazah dan lain-lain, itu hukumnya fardhu kifayah. Jika di suatu daerah sudah ada orang yang mempelajari ilmu tersebut, maka yang lain bebas dari kewajiban.
Tapi bila di satu daerah tak ada seorang pun yang mempelajarinya, maka semua penduduk daerah itu berdosa. Oleh karena itu pemerintah wajib menyuruh rakyatnya supaya belajar ilmu yang hukumnya fardhu kifayah tersebut. Pemerintah berhak memaksa mereka untuk melaksanakannya. Dikatakan bahwa mengetahui atau mempelajari amalan ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain itu ibarat makanan yang dibutuhkan setiap orang .
Sedangkan mempelajari amalan yang hukumnya fardhu kifayah, itu ibarat obat, yang mana tidak dibutuhkan oleh setiap orang, dan penggunaannya pun pada waktu-waktu tertentu. Sedangkan mempelajari ilmu nujum[53] itu hukumnya haram, karena ia diibaratkan penyakit yang sangat membahayakan. Dan mempelajari nujum itu hanyalah sia-sia belaka, karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir tuhan.
Oleh karena itu, setiap orang Islam seyogianya mengisi seluruh waktunya dengan berzikir kepada Allah, berdoa, memohon seraya merendahkan diri kepadaNya, membaca Al-Quran, dan bersedekah supaya terhindar dari mara bahaya. Oleh karena itu, setiap orang Islam hendaknya tidak melupakan hal-hal yang bermanfaat, dan yang membahayakan dirinya di dunia dan akhirat. Maka itu dia harus belajar ilmu yang bermanfaat, dan menjauhi ilmu yang tidak berguna, agar akal dan ilmunya tidak membahayakan dirinya.[54]
Jadi secara umumnya, perlu kita sedari bahawa ilmu yang dimaksudkan bukanlah terhad kepada ilmu yang berkaitan akhirat atau biasa disebut sebagai ilmu agama. Secara sedar atau tidak, semua ilmu yang terdapat hari ini sama ada merangkumi ilmu dunia atau akhirat, kedua-duanya adalah sunnah kepada manusia untuk mempelajari dan menguasainya.
Seorang yang menuntut ilmu adalah wajib beretika dengan akhlak-akhlak yang baik yang dituntut oleh syarak, menghias diri dengan perkara-perkara kepujian dan sunnah-sunnah dalam segala keadaannya. Zuhud daripada kepentingan dunia, tiada terpegun dengan harta benda dunia dan ahlinya, pemurah sepanjang masa, tiada bermata pencarian yang lekeh, menetapi warak dan khusuk, tenang dan sopan serta tetap pendirian, rendah diri dan tunduk, berpenampilan yang kemas lagi bersih dengan membersihkan semua objek yang dianjurkan oleh syarak.[55]
Terdapat pelbagai persoalan-persoalan yang sering ditemui dalam menuntut ilmu, untuk mengatasi persoalan-persoalan yang sering ditemui dalam menuntut ilmu, sama ada persoalan yang ada hubungan dengan mereka sendiri ataupun yang berhubungan dengan persekitaran di mana mereka sedang menuntut atau mengajarkan ilmu mereka. Antara persoalan-persoalan yang selalunya  dihadapi dalam menuntut ilmu ialah seperti berikut:
Pertama: Ramai penuntut ilmu yang tidak mengambil berat dengan Al-Quran, tetapi pada masa yang sama mereka sangat bersemangat untuk mempelajari buku-buku yang selainnya. Bermacam-macam kitab mereka ketahui, bahkan ada sesetengahnya telah mereka hafal. Bagaimanapun, bila dihadapankan dengan Al-Quran, mereka amat bodoh dan kalaupun ada ayat Al-Quran yang mereka hafal, maka jumlahnya amatlah sedikit.
Kedua: Ramai di kalangan penuntut ilmu yang rendah minat membacanya, bahkan ramai juga yang tidak suka membaca langsung. Keadaan ini berlaku di negara-negara membangun. Hal ini lazimnya berlaku kerana beberapa sebab, antara lain karena tahap kejahilan masih tinggi dikalangan mereka. Bahkan tidak terkecuali kalangan yang mempunyai tahap sosial dan ekonomisnya studah stabil. Mereka menganggap kegiatan membaca sebagai kegiatan yang tidak perlu dan sangat membosankan.
Ketiga: Di kalangan para penuntut ilmu juga ramai yang tidak tahu dan tidak mengambil kira soal keutamaan. Mereka tidak dapat membedakan buku mana yang sepatutnya mereka baca lebih dahulu sebelum membaca buku yang lain padahal sebenarnya ada buku lain yang lebih penting dari itu. Ramai orang yang lebih kurang empat jam setiap harinya sibuk dengan membaca koran, majalah, atau bacaan-bacaan lain seumpamanya. Memang semua bacaan itu perlu, akan tetapi tidak harus sampai menghabiskan perhatian dan waktu yang begitu panjang, sehingga tidak ada lagi waktu untuk membaca Al-Quran dan lain-lain.
Keempat: Kebiasaan membuang dan menyia-nyiakan waktu. Sesungguhnya umat manusia saat ini secara keseluruhan telah menyia-nyiakan waktu. Kita tidak mendapati mereka kecuali hanya segelintir sahaja yang menjaga waktunya.
Kelima: Ramai di antara penuntut ilmu itu yang suka melakukan perdebatan sengit pada masalah-masalah tertentu, yang tidak membawa hasil sedikit pun, bahkan hanya medatangkan pertengkaran dan permusuhan.
Keenam: Terkadang bagi penuntut ilmu itu berlebihan dalam mengkaji satu masalah sehingga waktu dan fikiran hanya tertumpu untuk itu dan banyak hak yang dilalaikan karena itu. Padahal, masalah-masalah yang dihadapi bukan hanya itu sahaja.
Ketujuh: Para penuntut ilmu banyak diserang oleh penyakit-penyakit hati, di antaranya yang terbesar adalah penyakit sombong, dengki, riya’.[56] 
Orang yang sombong akan dicabut dan dijauhkan hidayah dari dirinya oleh Allah SWT sehingga ia hidup tidak berpanduan, meskipun ia seorang yang pintar. Allah SWT berfirman:  
ß
Artinya:
“Aku akan memalingkan (hati) orang-orang Yang sombong takbur di muka bumi Dengan tiada alasan Yang benar dari (memahami) ayat-ayatKu (yang menunjukkan kekuasaanKu); dan mereka (yang bersifat demikian) jika mereka melihat sebarang keterangan (bukti), mereka tidak beriman kepadaNya, dan jika mereka melihat jalan Yang (membawa kepada) hidayah petunjuk, mereka tidak mengambilnya sebagai jalan Yang dilalui. dan sebaliknya jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus mengambilnya sebagai jalan Yang dilalui. Yang demikian itu, kerana mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka sentiasa lalai daripadanya.” (QS. Al-A’raf/ 7: 146).[57]
Seorang penyair menyebutkan di dalam matannya yaitu:
“Hiasilah dirimu dengan adab-adab hati, seperti kehormatan, kebijaksanaan, kesabaran, rendah hatiterhadap kebenaran, bersikap tenang, berwibawa dan sanggup menahan semua derita saat belajar untuk kemuliaan ilmu serta tunduk pada kebenaran.”[58]
Ucapan Syaikh Bakr, “Hiasilah dirimu dengan adab-adab hati, seperti kehormatan, kebijaksanaan, kesabaran, rendah hati terhadap kebenaran”, karena memang keadaan mengharuskan demikian. Hendaklah ketika menuntut ilmu menumbuhkan sikap iffah (menahan diri) terhadap apa yang ada di tangan manusia dan iffah dari memandang hal yang diharamkan.
Sementara kebijaksanaan berarti tidak bersegera menjatuhkan hukuman terhadap sesorang yang berbuat buruk kepadanya, sabar terhadap gangguan yang dia dengar dari manusia scara umum, maupun dari rakan-rakannya seperjuangannya sendiri, atau mungkin dari gurunya sendiri. Bersabarlah. Kemudian bersikap rendah hati terhadap kebenaran dan juga terhadap makhluk.
Rendah hati terhadap kebenaran, berarti kapan pun kebenaran sudah tampak jelas baginya, maka ia akan tunduk dan tidak mencari sesuatu yang lain sebagai gantinya. Demikian pula rendah hati terhadap makhluk, berapa banyak siswa yang justeru membuka jalan pengetahuan bagi gurunya, padahal sebelumnya sang guru tidak menyadarinya, karena itu, janganlah memandang remeh sesuatu apa pun.
Perkataan berikutnya, “bersikap tenang, berwibawa dan rendah hati”. Seorang penuntut ilmu wajib menjauhkan diri dari hal-hal yang menghancurkan harga dirinya, baik dalam cara berjalan, atau dalam interaksinya dengan manusia. Selain itu, juga tidak banyak tertawa keras yang mematikan hati dan menghilangkan wibawa, akan tetapi ia tetap bersikap tenang, tawadhu dan beretika yang sesuai dengan etika pencari ilmu.
Perkataan berikutnya, “sanggup menahan derita saat belajar demi kemuliaan ilmu” ini sangat baik, maksudnya, jika seorang penuntut ilmu itu menderita untuk belajar, artinya ia mencari kemuliaan dengan ilmu. Semua penderitaan saat belajar sesungguhnya akan membuahkan hasil yang baik.
Melihat kepada fungsi ilmu yang merupakan ibadah hati, rahsia kehidupannya, dan sumber tenaganya, maka sudah tentu bagi orang yang menuntutnya perlu mengetahui adab tatacaranya serta bersungguh-sungguh untuk merealisasikan tuntutannya dengan penuh hikmah. Tetapi sekiranya lalai dalam menghayati adab-adabnya maka kita akan berhadapan dengan kegagalan dalam menggapai maksud. Ini karena siapa yang salah mengambil jalan maka tidak akan mendapat perkara yang dimaksudkan.[59]
Karena itulah seorang yang ingin menuntut ilmu terlebih dahulu hendaklah berniat mencari keredhaan Allah SWT, kejayaan hari akhirat, mnghilangkan kejahilan dripada dirinya, menghidupkan agama dan untuk mengenali tuntutan-tuntutan syariat-Nya. Firman Allah SWT:
   
Artinya:
“Pada hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah Dengan mengikhlaskan Ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya mereka mendirikan sembahyang serta memberi zakat. dan Yang demikian itulah ugama Yang benar” (QS. Al-Bayyinah/ 98: 5).[60]
Maksud ikhlas adalah mengkehendaki dengan kerja taatnya akan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, bukan untuk unsur-unsur yang lainnya seperti, berlakon bagi menarik perhatian orang lain, untuk mendapatkan pujian, kasih sayang dan sanjungan dan lain-lain seumpamanya. Dengan kata lain, ikhlas itu hendaklah segala gerak-geri seseorang dan duduk diamnya sama ada zahirnya mahupun batinnya semata-mata untuk Allah, tiada dicampuri kepentingan hawa nafsu dan dunia.
Kedudukan ikhlas amat tinggi nilainya di alam wujud ini. Ikhlas merupakan rahasia antara hamba dengan Khaliqnya. Tanda ikhlas adalah wujudkan persamaan bagi diri seseorang antara pujian dan celaan, tiada melihat kekuatan dirinya dalam segala amalannya menuntut pahala akhirat. Dengan sifat ikhlas ini juga seorang penuntut ilmu akan memiliki kesabaran dan ketabahan ketika menuntut ilmu. Karena menuntut ilmu bukanlah perkara yang mudah, karena ia memerlukan proses yang cukup panjang serta banyak rintangan.
Salah seorang ahli hikmah bercerita: Suatu ketika aku duduk di bawah satu pohon, lalu aku melihat sesekor semut sedang berusaha naik ke pohon tersebut tetapi ternyata jatuh ke bawah. Begitu jatuh, ia langsung mengulangi lagi usahanya itu, tetapi setiap ia ulangi, setiap itu pula ia gagal mencapai keinginannya. Namun karena kesabaran dan kecekalannya, akhirnya pada kali yang ketujuh puluh dari usahanya itu ia berhasil sampai di atas pohon.[61]
Dari cerita tersebut dapat kita pelajari bahwa jika kita mempunyai sifat kesabaran dan kecekalan yang tinggi, dengan sifat tersebut akhirnya kejayaan akan tercapai juga. Karena dalam pahitnya perjuangan pasti ada kemanisan.
Bagi penuntut ilmu juga mereka hendaklah bersikap rendah diri dan beradab terhadap orang yang pernah mengajarnya sekalipun ia lebih muda, kurang terkenal, kurang baik dan lain-lain. Bersikap rendah diri terhadap ilmu adalah sangat penting agar ilmu itu dapat diperoleh. Kita banyak disuruh oleh syarak dalam beberapa keadaan untuk bersikap rendah diri lebih-lebih lagi dalam hal menuntut ilmu.
Selain daripada bersikap rendah diri dan beradab terhadap orang yang pernah mengajarnya, penuntut ilmu juga perlu memuliakan gurunya. Oleh sebab itu, penuntut ilmu hendaklah memandang kepada gurunya dengan pandangan penghormatan, menyakini kebolehannya, menjaga hak-haknya dan bersungguh-sungguh menghormatinya. Hal ini kerana semua perkara akan lebih mendekatkan dirinya, dan memudahkannya mengambil manfaat, serta memantapkan lagi ilmu yang didengarnya dari gurunya.
Seorang penuntut ilmu itu perlulah bersikap tidak berasa puas dalam menuntut ilmu, itu adalah karena ia sangat penting di samping mesti tekun mengkajinya siang dan malam sama ada di rumah ataupun ketika dalam perjalanan. Jangan sampai masanya hilang begitu saja di luar kepentingan ilmu kecuali sekadar memenuhi keperluan harian. Tidak cemerlang akal seseorang yang berkemampuan untuk menjadi pewaris nabi dengan membiarkan dirinya terlepas peluang daripadanya.
Penuntut ilmu tidak patut berasa puas dengan ilmu yang sedikit sedangkan dia mampu untuk mendapatkannya dengan lebih banyak lagi. Jangan mensia-siakan waktu sebaliknya gunakan dengan sebaik-baiknya keseluruhan masa malam, dan waktu sunyinya, karena masa singkat sedangkan ilmu banyak.
Memilih guru juga merupakan suatu perkara penting dalam menuntut ilmu. Pilih guru yang paling alim, paling warak dan tua seperti Imam Abu Hanifah memilih Imam Hammad bin Sulaiman. Setelah beliau memikirkannya masak-masak, kata beliau: “Aku telah mendapatkan guru yang sopan dan tetap pendirian, penyantun dan penyabar”.[62]
Penuntut ilmu juga hendaklah pandai memilih sahabat. Usah bergaul dengan orang yang tidak baik tingkah lakunya. Sebaliknya, bergaullah dengan orang yang boleh memberi faedah atau kita dapat mengambil faedah daripadanya. Biarlah dalam bersahabat itu kita memiliki watak-watak seperti baik, berakal, kuat pegangan agamanya, bertakwa, warak, banyak melakukan kebaikan dan sedikit keburukannya, mulia budi perkertinya, tidak banyak berdebat, suka mengingatkan ketika kita lupa, dan sanggup pula membantu.[63]
Jadi secara kesimpulannya tidak hairan apabila sekumpulan pelajar yang belajar di dalam kelas yang sama dan berguru dengan guru yang sama, tetapi hasil penerimaan ilmunya tidak sama. Antara seorang pelajar dengan pelajar yang lain, kelihatan jelas perbedaan penerimaan mereka. Pemerhatian terhadap etika dan akhlak-akhlak serta amalan penuntut ilmu ini juga menunjukkan perbedaan yang ketara. Walaupun, menerima ilmu yang sama, tetapi tidak semua pelajar ini mahu menghayati dan mengamalkannya.
B.     Klasifikasi Ayat-Ayat Etika Menuntut Ilmu
Di sini penulis akan mengklasifikasikan ayat-ayat tentang etika menuntut ilmu, ayat-ayat tersebut yaitu:
1     Ayat 69 dari surah Al-Kahfi:
   
Artinya:
Nabi Musa berkata: "Engkau akan dapati aku, Insyaa Allah: orang Yang sabar; dan Aku tidak akan membantah sebarang perintahmu" (QS. Al-Kahfi/ 18: 69).[64]

2      Ayat 70 dari surah Al-Kahfi:

Artinya:
Ia menjawab: "Sekiranya Engkau mengikutku, maka janganlah Engkau bertanya kepadaKu akan sesuatupun sehingga Aku ceritakan halnya kepadamu" (QS. Al-Kahfi/ 18: 70).[65]


3)      Ayat 73 dari surah Al-Kahfi:

Artinya:
Nabi Musa berkata: "Janganlah Engkau marah akan daku disebabkan Aku lupa (akan syaratmu); dan janganlah Engkau memberati daku Dengan sebarang kesukaran Dalam urusanku (menuntut ilmu)" (QS. Al-Kahfi/ 18: 73).[66]

4      Ayat 75 dari surah Al-Kahfi:
  
Artinya:
Ia menjawab: "Bukankah, Aku telah katakan kepadaMu, Bahawa Engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?" (QS. Al-Kahfi/ 18: 75)[67]

5     Ayat 78 dari surah Al-Kahfi:
t   
Artinya:
Ia menjawab: "Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, Aku akan terangkan kepadamu maksud (kejadian-kejadian Yang dimusykilkan) Yang Engkau tidak dapat bersabar mengenainya.” (QS. Al-Kahfi/ 18: 78)[68]





6      Ayat 11 dari surah Al-Mujadalah:

Artinya:
“Wahai orang-orang Yang beriman! apabila diminta kepada kamu memberi lapang dari tempat duduk kamu (untuk orang lain) maka lapangkanlah seboleh-bolehnya supaya Allah melapangkan (segala halnya) untuk kamu. dan apabila diminta kamu bangun maka bangunlah, supaya Allah meninggikan darjat orang-orang Yang beriman di antara kamu, dan orang-orang Yang diberi ilmu pengetahuan ugama (dari kalangan kamu) - beberapa darjat. dan (ingatlah), Allah Maha mendalam pengetahuannya tentang apa Yang kamu lakukan.” (QS. Al-Mujadalah/ 58: 11)[69]

7)      Ayat 151 dari surah Al-Baqarah:
  
Artinya:
“(Nikmat berkiblatkan Kaabah Yang Kami berikan kepada kamu itu), samalah seperti (nikmat) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (iaitu Muhammad), Yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan Yang mengajarkan kamu kandungan Kitab (Al-Quran) serta hikmat kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa Yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 151)[70]


8      Ayat 63 dari surah Al-Ma’idah:

Artinya:
“Alangkah baiknya kalau ketua-ketua ugama dan pendita-pendita mereka melarang mereka dari mengeluarkan perkataan-perkataan Yang dusta dan dari memakan Yang haram? Sesungguhnya amatlah buruk apa Yang mereka telah kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah/ 5: 63)[71]

9      Ayat 175 dari surah Al-A’raaf:

Artinya:
“Dan bacakanlah kepada mereka (Wahai Muhammad), khabar berita seorang Yang Kami beri kepadanya (pengetahuan mengenai) ayat-ayat (Kitab) kami. kemudian ia menjadikan dirinya terkeluar dari mematuhinya, lalu ia diikuti oleh Syaitan (dengan godaannya), maka menjadilah dari orang-orang Yang sesat.” (QS. Al-A’raaf/ 7: 175)[72]

1  Ayat 29 dari surah Al-A’raaf:

Artinya:
Katakanlah: "Tuhanku menyuruh berlaku adil (pada Segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) Dengan betul pada tiap-tiap kali mengerjakan sembahyang, dan Beribadatlah Dengan mengikhlaskan amal ugama kamu kepadanya semata-mata; (kerana) sebagaimana ia telah menjadikan kamu pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepadaNya).” (QS. Al-A’raaf/ 7: 29)[73]

Penulis mengklasifikasikan ayat-ayat tentang etika menuntut ilmu di dalam Al-Quran yaitu pada surah Al-Kahfi pada ayat 69, ayat 70, ayat 73, ayat 75, dan ayat 78. Ayat-ayat ini menerangkan tentang pentingnya kesabaran dalam menuntut ilmu, bersabar di dalam setiap liku-liku kesusahan ketika menuntut ilmu. Adapun pada surah Al-Mujadalah pada ayat 11, menerangkan bahwa setiap penuntut ilmu perlu melapangkan tempat duduknya kepada penuntut ilmu yang lain. Sebagai contoh ketika terdapat penuntut yang lewat hadir di dalam pembelajaran, maka diharuskan untuk melapangkan tempat duduk bukan dengan menutupnya.
Pada surah Al-Baqarah ayat 151, dan surah Al-Maidah ayat yang ke 63 serta surah Al-‘Araaf pada ayat 175 menerangkan bahwa setiap orang-orang yang berilmu perlu mengamalkan ilmunya, yaitu dengan mengajar kepada orang lain. Suatu kewajiban bagi setiap penuntut ilmu yang mengetahui tentang sesuatu ilmu itu mengamalkannya atau menyebarkan kepada orang lain. Dan ayat 29 dari surah Al-‘Araaf menerangkan bahwa niat yang ikhlas beribadah hanya kerana Allah SWT. Karena menuntut ilmu itu adalah perkara ibadah baik fardhu ‘ain atau fardhu kifayah.

C.    Asbabun Nuzul Ayat Etika Menuntut Ilmu
Asbabun nuzul adalah salah satu ilmu yang harus dipelajari bagi seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an. Pemahaman terhadapnya merupakan kemestian, agar tidak terjadi kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Asbabun nuzul artinya sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Fungsi asbabun nuzul dalam kaitannya dengan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an adalah menuntun kepada pemahaman makna tafsir yang benar karena di dalamnya diterangkan latar belakang yang menerangkan penyebab turunnya ayat-ayat suci Al-Quran dan mata rantai peristiwa-peristiwa yang menyangkutnya.[74]
Adapun faedah mengetahui asbabun nuzul itu sangat banyak, namun dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu dapat mengetahui rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat, mengetahui hukum atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keraguan dan sebagainya.
Di sini penulis akan mencantumkan asbabun nuzul ayat yang penulis bahas pada karya ilmiah ini:
1      Surah Al-Mujadalah ayat 11.
Qatadah telah menceritakan bahwa kaum Muslim apabila melihat seseorang datang kepada mereka (pada saat itu sedang berada di hadapan Nabi SAW) dengan menghadapkan diri, mereka merapatkan tempat duduknya di hadapan Rasulullah SAW. (sehingga orang yang baru datang itu tidak kebagian tempat duduk). Lalu turunlah ayat tersebut.
Imam Ibnu Abu Hatim telah mengetengahkan sebuah hadis melalui Muqatil, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Jumaat. Pada hari itu datanglah segolongan orang-orang yang pernah ikut perang Badar, tetapi tempat duduk yang ada sangat terbatas lagi sempit, dan mereka yang hadir tidak mau melapangkan tempat duduknya buat orang-orang yang baru datang itu.
Akhirnya orang-orang yang baru datang itu berdiri. Lalu Rasulullah SAW menyuruh berdiri beberapa orang yang jumlahnya sama dengan mereka, lalu beliau mempersilakan Ahli Badar yang baru datang itu menempati tempat duduk mereka yang disuruh berdiri. Maka orang-orang yang disuruh berdiri itu mereasa tidak senang akan hal tersebut, lalu turunlah ayat ini.[75] 
2)      Surah Al-Maidah ayat 63.
Abusy Syekh dan Ibnu Hibban telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan, bahwa Rifa’ah Ibnu Zaid Ibnu Tabut dan Suwaid Ibnul Haris telah menampakkan keislamannya, akan tetapi keduanya menjadi munafik. Dan tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari kalangan kaum Muslim, bersahabat dengan sangat intimnya dengan mereka. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi walimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan…. sampai dengan firman-Nya: Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan” (Surah Al-Maidah ayat 57-61).
 Sehubungan dengan turunnya ayat ini Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa ada segolongan orang-orang Yahudi datang kepada Nabi SAW yang di antaranya ialah Abu Yasir Ibnu Akhtab, Nafi Ibnu Abi Nafi, dan Gazi Ibnu Umar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang rasul-rasul yang diimaninya, kemudian Nabi menjawab: “Aku beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya”. Tatkala Nabi SAW menuturkan tentang perihal Nabi Isa, mereka kontan mengingkari kenabian Isa, dan mengatakan: “Kami tidak beriman kepada Isa dan juga kepada orang-orang yang beriman kepadanya”.[76]
3)      Surah Al-Kahfi ayat 69, ayat 70, ayat 73 ayat 75 dan ayat 78. Surah Al-Baqarah ayat 151. Surah Al-A’raaf ayat 29 dan ayat 175.
Pada ayat-ayat tersebut penulis tidak menemukan asbabun nuzulnya, jadi penulis tidak mencantumkan asbabun nuzul dari ayat tersebut. Menurut keterangan yang penulis dapatkan bahwa sebahagian besar dari ayat Al-Quran tidak mempunyai asbabun nuzul.



[48] Departement Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), 277.
[49] Bakr bin Abdullah, Syarah Hilyah Thalibil Ilmi, (Jakarta Timur: Akbar Media, 2013), 13-14.
[50] M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2003), 57-58
[51] Az-Zanurji, Terjemah Ta’lim Muta’alim, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), 7.
[52] Muhammad Subki Abdul Rahman, Martabat Ilmu dan Ulama’, (Selangor: PSN Publications, 2012), 90.
[53] Ilmu nujum dalam arti ilmu astrologi, yakni ilmu perbintangan yang dihubungkan dengan nasib manusia. Sedangkan dalam ilmu astronomi, yaitu ilmu perbintangan yang digunakan untuk mengetahui arah posisi bintang, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, ilmu astronomi boleh dipelajari, bahkan sangat dianjurkan.   
[54] Az-Zanurji, Terjemah Ta’lim Muta’alim, 12.
[55]  Mohammad Subki, Martabat Ilmu & ulama’, 99.
[56] ‘Aidh Abdullah Al-Qarni, Bacalah Dengan Nama Tuhanmu Keutamaan Ilmu Dan Pengetahuan, (Kuala Lumpur: Jasmin Enterprise, 2007), 122-124.
[57] Departement Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, 225.
[58] Bakr, Syarah Hilyah Thalibil Ilmi, 38.
[59]  Mohammad Subki, Martabat Ilmu & Ulama’, 93.
[60] Departement Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, 907.
[61] ‘Aidh Abdullah Al-Qarni, Bacalah Dengan Nama Tuhanmu Keutamaan Ilmu Dan Pengetahuan , (Kuala Lumpur: Jasmin Enterprise, 2007), 153.
[62] Mohammad Subki, Martabat Ilmu & Ulama’, 127.
[63] Ibid, 129.
[64]  Departement Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, 412.
[65] Ibid
[66] Ibid,413.
[67] Ibid
[68] Ibid
[69] Ibid, 793.
[70] Ibid, 29.
[71] Ibid, 157.
[72] Ibid, 233.
[73] Ibid, 206.
[74] Jalaluddin Al-Mahali, Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), viii
[75] Ibid, 1049-1050
[76] Ibid, 498-499




[22] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 7. Ada juga yang mengatakan nama beliau ialah Abu Muhammad Abdullah bin Katsir Ad-Dary Al-Makky. Lihat: Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 69. Dan ada juga yang mengatakan nama beliau ialah Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr bin Katsir Al-Quraisyi Ad-Dimisyqi. Lihat: Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), 313.
[23] Ada yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan pada 705 H. Lihat: Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), 527. Ada juga yang menyatakan beliau lahir pada tahun 45 H. LIhat: Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, 69. Dan ada juga yang menyatakan bahwa beliau lahir tahun 700 H. Lihat: Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), 313.
[24] Ada pendapat yang mengatakan saat bapanya meninggal beliau berusia tujuh tahun. Ada juga yang mengatakan beliau berumur tiga tahun. Lihat: Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir Ibnu Katsir, 69

[25] Rosihan, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari Dan Tafsir Ibnu Katsir, 69.
[26] Bahrun Abu Bakar, Tafsir Ibnu Katsir Juz 1, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002), vii.
[27] Ibid, viii.
[28] A. Zarkasyi Chumaidy, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 97-98.
[29] Ibid, 97
[30] Sa’di Abu Jaib, Al-Kamus Al-Fiqhiyah Lughatan wa Isthilahan, (Damsyiq, Syria: Darul Fikr, 2003), 289-290.
[31]Abdul Rachman Saleh Siregar, Peringatan Bagi Seluruh Alam Kisah-Kisah Dalam Al-Quran, (Selangor: Al-Hidayah Publication, 2012), 5
[32]Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), 132-133
[33] Muhammad Nashiruddin, Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu Katsir, 9.
[34] Bahrun, Tasir Ibnu Katsir Juz 1, ix.
[35] Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercelah atau bersih dalam menggunakan lafadz-lafadz tertentu. Lihat Subhi As-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Pustaka Firdaus.
[36] Bahrun, Tafsir Ibnu Katsir Juz 1, viii.
[37] Muhammad Nashiruddin, Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu Katsir, 10.
[38] Rosihan, Melacak Unsur-Unsur Israiliyat Dalam Tafsir Ibnu Ath-Thabari Dan Tafsir Ibnu Katsir, 71.
[39] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Jakarta: Gema Insan, 2012), 39.
[40]  Rosihan, Melacak Unsur-Unsur Israiliyat Dalam Tafsir Ibnu Ath-Thabari Dan Tafsir Ibnu Katsir,  72.
[41] Bahrun, Tafsir Ibnu Katsir Juz 1, ix-x.
[42] Muhammad Nashiruddin, Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu Katsir, 11.
[43] Dosen Tafsir Hadits, Studi Kitab Tafsir, 135.
[44] Ibid, 136-137
[45] Muhammad Nashiruddin, Derajat Hadits-Hadits dalam Tafsir Ibnu Katsir, 12.
[46] Ibid, 11 
[47] Ibid.




[2] Nurhelmi B. Ikhsan, Berilmu Dan Beramal, (Kuala Lumpur: Darul Nu’man, 2001), 2.
[3] Departement Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), 904.
[4] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, (lentera Hati,  2002. Volume 15), 392.
[5] Ibid, 393.
[6] Ibid, 394.
[7] ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10, (Pustaka Imam Syafie, 2008), 319.
[8] Abdul Hadi Awang, kebangkitan ummah, (Kuala Lumpur: dewan pustaka fajar, 1992), 43.
[9] Nurhelmi b. Ikhsan, Berilmu Dan Beramal, (Kuala Lumpur: Darul Nu’man, 2001), 13.
[10]Departement Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, 659.
[11] Ibid, 793
[12] ‘Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9, 341-342
[13] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta, Gema Media, 2002), 24-27.
[14] Mohammad Subki Abdul Rahman, Martabat Ilmu & Ulama’ (Selangor, PSN Publications, 2012), 7 .
[15] Ibid, 93
[16] Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 7.

[17]  Departement Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, 125.
[18]  Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006), 61.
[19] Ibid, 62
[20] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Jakarta: Teras,2005), 47.
[21] Abdul Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I dan cara penerapannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 51.  

0 comments: